Ini kisah lama, jauh sebelum ada reformasi. Kenapa saya ceritakan ini kepadamu? Tak lain agar kamu tahu bahwa kebaikan itu ada di mana saja, sebagaimana Allah hadir di dalam
setiap kehidupan manusia.
Ketika itu seorang pria datang ke kantor saya. Dia masuk tepat ketika kantor memulai aktivitas
kerja. Saya tahu pria itu sudah berada di pekarangan kantor setengah jam sebelumnya. Dia
hanya berdiri di tempat parkir motor. Saya tidak tahu siapa dia. Saya baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya sebagai petugas pajak yang mendapatkan surat perintah dari
kantornya untuk memeriksa pembukuan kantor saya.
Awalnya ada rasa khawatir tentang
pemeriksaan ini. Maklum sajalah, kamu kan tahu, mana ada petugas yang salah? Tentu dia datang untuk mencari-cari kesalahan kita. Ujung-ujungnya ya pasti uang. Tapi saya pasrah.
“Pak, apa saya dapat diberi tempat duduk di
kantor Bapak?” tanyanya dengan sopan. “Saya ingin memeriksa pembukuan Bapak di sini. Jadi, kalau ada yang kurang saya bisa
langsung minta kepada staf Bapak.”
“Oh, tentu. Tentu. Saya akan sediakan
tempat khusus untuk Anda,” kata saya, lalu membawanya ke ruang meeting. “Anda bisa kerja di sini.”
Dia tersenyum.
Saya memerintahkan staf untuk melayani petugas pajak itu sebaik mungkin, termasuk menyediakan makanan dan
minuman. Namun, sebelum semua itu disediakan, pria itu berkata “Cukup beri saya air putih, Pak, kalau berkenan.”
Saya terkejut. Betapa rendah hatinya petugas ini. Ketika minuman
terhidang di mejanya, segera dia mengucapkan terima kasih. Terdengar suaranya
seperti orang berbisik ketika dia memulai kerjanya, “Bismillah.”
Saya meninggalkannya bekerja di ruang meeting itu
dengan tumpukan dokumen. Ketika makan siang, pria itu membuka kotak makan siang
yang dia bawa dari rumah. Kelihatannya dia begitu menikmati makanan yang dibawanya dan tak ingin menikmati makan siang yang kami tawarkan dari
restoran mahal. Dua jam sebelum kantor tutup, dia sudah pergi. Alasannya, dia harus langsung ke kantor untuk membuat laporan.
Setiap hari pria itu datang lebih awal dan selalu setia
menanti di tempat parkir sampai kantor dibuka. Jarang sekali dia berbicara. Kalau ada kekurangan, dia akan menulis memo kepada saya
untuk meminta dokumen yang dia maksud. Saya pun akan memerintahkan staf untuk memberikan. Begitulah
kegiatannya selama seminggu di kantor saya. Setelah itu, dia minta waktu untuk bertemu
dengan saya. Saya menyanggupinya.
“Pak,” ucapnya dengan
suara datar, “saya telah memeriksa semua catatan pembukuan
perusahaan Bapak. Hasilnya, ada kelebihan
setor sebesar seratus ribu rupiah. Artinya, ada kesalahan dalam pencatatan
pajak dan pembukuan hingga perusahaan Bapak kelebihan pembayaran pajak. Mohon ini diurus ke kantor saya untuk Bapak ambil.”
Saya pehatikan pria ini seorang petugas yang
cerdas. Tapi lebih daripada itu, wajahnya tampak bersih. Tak terlihat emosi apa pun di balik wajah itu kecuali keikhlasannya melaksanakan tugas.
Sebuah dedikasi yang luar biasa dari seorang pejabat negara.
“Bagaimana kalau saya ikhlaskan saja seratus
ribu rupiah itu? Saya tidak minta dikembalikan. Gimana?” tanya saya sambil tersenyum.
“Tidak bisa, Pak. Bapak harus mengambil uang itu. Kalau tidak, saya dianggap tidak kerja oleh atasan saya. Mohon mengerti.”
“Oh, begitu?”
“Ya, Pak,” jawabnya tegas. Kemudian dia
memberikan formulir restitusi pajak untuk saya tanda tangani.
Keesokan harinya, dia menemui
saya dengan membawa Surat Penetapan Pajak Rampung. Ketika itulah saya terpanggil untuk memberinya sedikit uang tanda
terima kasih. Menurut saya uang itu tidak besar, hanya Rp25 juta. Tak ada artinya bagi perusahaan yang mempekerjakan buruh pabrik lebih dari 3.000 orang.
Dengan tegas dia menolak pemberian saya. “Maaf, Pak. Terima kasih untuk kebaikan Bapak. Saya hanya melaksanakan tugas saya dan untuk itu negara sudah bayar saya. Terima
kasih. Ambil kembali uang itu.”
Saya merasa malu di hadapan manusia yang begitu tulus dengan
tugasnya dan merasa tak lebih sebagai abdi negara dengan segala
keterbatasannya.
Saya tidak pernah bisa melupakan wajah tulus itu.
Kepada seluruh staf saya ceritakan semua tentang pribadi
petugas pajak itu. Ada staf saya yang tak begitu
percaya namun mereka dapat menjadikan kisah itu sebagai inspirasi agar bekerja dengan dedikasi
tinggi.
Dua tahun setelah peristiwa itu, saya berada di rumah sakit untuk menjenguk putra teman yang mengalami kecelakaan. Ketika hendak masuk
rumah sakit, saya melihat seorang pria yang tak pernah bisa saya lupakan. Pria itu sedang duduk termenung di dekat loket pembayaran. Dia adalah
petugas pajak yang pernah memeriksa pembukuan di kantor saya.
“Pak, apa kabar?” sapa saya dan langsung menyalaminya. Dia menyambut hangat jabatan tangan saya. Saya merasa pria itu
dalam keadaan bingung namun berusaha menyembunyikannya di hadapanku.
“Ada apa di sini?” tanya saya.
Dia tak menjawab.
Tak berapa lama terdengar suara dari dalam loket. “Pak, minimal jaminan sepuluh juta rupiah. Kalau tidak ada, terpaksa anak Bapak di kelas tiga sesuai Askes Bapak tapi ruang itu sekarang penuh.”
Pria itu terdiam, memalingkan wajah dari pandangan saya.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung bicara kepada petugas loket itu. “Saya akan bayar untuk Bapak ini. Tunggu sebentar, biar saya ke ATM dulu untuk ambil uang.”
Pria itu terkejut dengan sikap saya. Dengan cepat dia memegang tangan saya agar tidak
melangkah ke ATM. “Pak, terima kasih. Tidak usah, Pak. Tidak usah. Saya akan berusaha mencari tempat lain yang bisa
menampung anak saya sesuai Askes saya,” katanya dengan air mata berlinang.
“Tidak perlu Bapak bantu saya. Ada lebih tiga ribu karyawan menggantungkan
hidup di perusahaan Bapak. Cukuplah perhatikan nasib mereka. Itu lebih baik.
Insya Allah, anak saya akan baik-baik saja,” kata pria itu lagi.
Saya terenyuh dengan keteguhan hatinya. Saya lihat dia keluar dari tempat loket pembayaran itu dengan
langkah berat. Saya termangu melihat kepergiannya. Dari jauh saya lihat pria
itu bersama istrinya menggendong putra mereka naik bajaj untuk mencari rumah
sakit yang bisa menyediakan kamar sesuai Askesnya. Dia tegar. Lebih tegar lagi istrinya yang tetap tenang sambil memeluk
lengan suaminya. Karena petugas seperti itulah sebagai pengusaha saya malu untuk menghindari pajak atau
culas membayar pajak.
Tahukah kamu, ketika saya melihat ada petugas pajak golongan
IIIA hidup bergelimang harta, puluhan miliar di bank dalam bentuk uang tunai dan
emas lantakan, saya jadi berpikir. Apa
makna dari perubahan dengan menjatuhkan Soeharto? Ke manakah reformasi ini akan kita bawa? Bila seorang petugas golongan IIIA saja bisa mendapatkan suap di atas
puluhan miliar, bagaimana dengan pejabat di atasnya? Memang pengusaha
bisa saja salah tapi semua pengusaha bergelut dengan tanggung jawab untuk
menafkahi banyak orang yang terlibat di dalamnya. Namun, tetap tidak bisa dibenarkan bila petugas pajak
sebagai abdi negara memperkaya diri dengan memanfaatkan kesalahan pengusaha.
Saya rasa, bukan masalah reformasi sistem yang menjadi harapan akan sebuah kebaikan tapi reformasi attitude.
Reformasi mindset dari memuja harta menjadi memuja keikhlasan untuk
mengabdi kepada negara dan tentu saja mengabdi kepada Allah untuk
mencari rida-Nya. Inilah yang kebanyakan kita lupa. Kita telanjur berharap
banyak reformasi sistem akan membawa perubahan yang lebih baik bagi
kesejahteraan rakyat. Pada waktu bersamaan, kita lupa bahwa sebuah sistem ternyata tak mampu
menuntaskan soal keadilan, apalagi rasa keadilan. Itulah
kisah gelap dari bentuk reformasi sekuler yang melelahkan dan culas.
Semoga kamu paham.
Cuplikan Buku : Cinta yang Kuberi. Volume 2
Tersedia di toko Buku Gramedia.
Pesanan khusus dapat hubungi email ebandaro@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.