Namanya Sobari. Singkat saja nama itu. Padahal, banyak orang punya nama
yang panjang atau setidaknya dua suku kata dengan tambahan nama orang tua atau
famili atau marga. Orang bilang nama itu lambang harapan. Banyak orang tua
memberi nama anaknya nama tokoh sejarah , panglima perang, raja, intelektual,
artis. Tentu ada kebanggaan ketika orang tua melahirkan anak dan sekaligus
bermimpi kelak anaknya dapat meniru idolahnya atau sesuai apa yang mereka
inginkan.
Tapi Sobari adalah Sobari. Mungkin orang tuanya memberi nama itu hanya
mengharapkan Sobari menjadi orang sabar. Tak penting mau jadi apa, yang penting
Sabar. Cukup.
Aku mengenal Sobari sebagai seorang sahabat. Kami tak begitu akrab
karena mungkin berbeda langkah yang sulit seirama. Namun arah kami sama: menuju
satu titik karena sholat kami ke kiblat yang sama. Entah doa atau memang
keinginan orang tuanya agar Sobari menjadi orang yang sabar, maka jadilah
sobari orang yang menyelesaikan kesehariannya dengan sabar dan kesabaran.
Sebetulnya saya bosan membahas tentang Sobari. Apalagi banyak hal selama
pergaulan dengannya membuat saya pening. Banyak logika saya masuk lubang sumur.
Tapi pertemuan kemarin dengan Sobari membuat saya harus kembali melihat Sobari
tak lagi Sobari sebagai sahabat. Tapi Sobari sebagai Tao hidup.
“Udah berapa anakmu?” tanyanya
ketika kami bertemu. Maklum saja sudah hampir lima tahun tak bertemu.
“Dua.”
“ Oh….”
“Kamu gimana?”
“Dua ratus, barangkali,” jawabnya singakt sambil tersenyum.
“Yang seriuslah .”
“Kapan aku becanda dengan kamu?”
“Benarkah itu?” aku bertanya seperti orang bodoh.
“Kapan aku bohong kepadamu?”
Aku garuk-garuk kepala. Penampilan Sobari cukup necis. Safari warna
hitam. Beda dengan penampilannya yang dulu kukenal. Wah, sudah makmur sekarang
Sobari. Padahal, lima tahun lalu dia masih berkeliaran di Tanjung Priok sebagai
calo barang di pelabuhan.
“Datanglah ke rumahku.” Sobari memberikan kartu namanya. Tertera namanya
SOBARI. Tak ada jabatan tertera di bawah namannya.Tentu tak ada pula titel
karena Sobari hanya menamatkan sekolah SLA. Padahal jaman sekarang banyak orang
membeli gelar untuk mendapatkan status agar dipercaya.
“Bagaimana dengan dua ratus anakmu itu?” Aku menampakan wajah setengah
memperolok karena aku tetap yakin Sobari tidak serius dengan kata-katanya.
Apalagi lima tahun lalu aku tahu Sobari belum punyak anak walau sudah 20 tahun
berumah-tangga.
“Datanglah kerumahku,” jawabnya lagi dengan tersenyum. “Tentu kamu masih
tidak yakin, tapi tak ada salahnya untuk datang kerumahku,” sambungya seakan
menangkap kesan di wajah saya.
Di hari Minggu yang cerah, saya datang berkunjung ke rumah Sobari.
Itupun tidak ada niat untuk datang khusus ke rumahnya. Kalaulah relasi saya
yang di Pluit tidak mungkir dengan janjinya, maka hari Minggu ini tak mungkin
bertemu Sobari. Tak sulit mencari alamatnya yang baru. Ternyata semua orang di
komplek itu mengenalnya. Rumahnya ternyata yang terbesar di antara rumah yang
ada di komplek itu. Bahkan menurut ukuran saya rumahnya layak disebut gedung,
bukan rumah. Ukurannya 20 kapling yang masing masing berukuran 100 meter
dijadikannya satu. Besar, kan?
Sobari menyambut saya dengan tersenyum dengan jabatan tangan yang
lembut. Dia menuntun saya masuk ke dalam rumah. Diruang tamu itu tak ada tampak
satupun anak anak yang dua ratus itu. Juga tak tampak sepatu anak-anak di teras
rumah. Sobari memang bohong atau becanda. Saya tak mau lagi membahas soal dua
ratus anak. Saya hanya ingin bertemu dengannya dan sedikit ingin tahu kisah
suksesnya.
“Luar biasa!” kataku menatap ke seluruh ruangan yang ada di ruang tengah
rumahnya. “Apa bisnis kamu ?”
“Bangun jalan.” katanya seraya tersenyum.
“Kontraktor?”
“Ya.”
“Proyeknya di mana?”
“Di bumi.”
Saya tertawa. “ Seriuslah, setidaknya aku ingin kamu ajari aku bagaimana
dapatkan uang dengan cepat. Lima tahun terlalu cepat untuk mendapatkan semua
ini,” kataku.
“Saya serius. Dari dulu kamu kan tahu aku selalu serius. Kamu melihat
waktu lima tahun terlalu cepat untuk menghasilkan sukses. Bagiku bukan soal
waktu lima tahun atau apa karena aku tak pernah menghitung waktu.”
“Tapi kamu sukses sekarang.”
“Belum dan belum,” jawabnya tegas.
“Apakah kamu punya target untuk dicapai?”
“Tentu, tentu ada target. Selagi aku hidup target itu belum akan
tercapai.”
“Wah, kamu ambisi ya. Beda dengan dulu kamu yang aku kenal. Ada ada ?”
“Bukan soal ambisi, tapi tak ada pilihan. Dari dulu sampai sekarang aku
tidak berubah.Tidak ada ambisi apapun. Kecuali menjalani hidup apa adanya.”
“Lantas bagaimana kamu mendapatkan ini semua?”
Sobari kembali tersenyum. Mungkin dia menangkap rasa keingintahuanku.
“Kamu kan tahu. Dari dulu aku
membenci orang mengemis. Bukan karena aku tak suka dengan orang yang lemah.
Bukan. Aku sangat mencintai semua hamba ciptaan Allah.Tapi, soal mengemis itu
aku sangat benci. Dulu kalau aku menjual barang yang ada di gudang. Aku tak
pernah membuka proposal harga berapa akan kujual. Tak pernah. Kamu tahu itu.
Orang melihat barang dan aku membuka semua keterangan soal harga itu dari
gudang. Mereka tertarik, mereka membayar kepada pemilik barang. Selesai. Kalau
mereka memberi aku untung karena jasaku, maka aku terima. Kalau mereka langsung
ngoloyor ya aku tak akan mengejar untuk mereka membayar komisiku.”
“Ya, itu aku tahu. Itu konyol namanya.”
“Dan aku tetap hidup dengan caraku. Selalu ada saja cara aku mendapatkan
uang tanpa harus meminta. Kamu juga tahu itu.”
“Orang kasihan melihat kamu yang berlelah di pelabuhan mencari pembeli
barang tapi tak ada uang. Orang memberi kamu uang karena prihatin dan itu semua
datang dari sahabat-sahabat kamu,” kataku sinis.
“Rasa kasihan itu adalah nilai spiritual yang menjadi hakku. Mereka
memberi hanya menunaikan hakku yang dititipkan Allah kepada mereka. Dan mereka
tak bisa berkelit bila Allah berkehendak.”
“Ya, tapi bentuk lain dari caramu mengemis?”
“Aku tidak pernah mengemis dalam bentuk apapun.”
“Ok lah…” kataku mengakiri perdebatan ini. “Beritahu padaku bagaimana
kamu mendapatkan ini semua.”
“Karena orang memberi tanpa aku meminta. Sama seperti dulu.”
“Dengan semua yang ada sekarang kamu miliki?”
“Ya!”
“Yang benarlah, Sobari. Manapula ada di zaman sekarang orang memberi.
Apalagi dalam jumlah besar.” Kepalaku mulai pening.
“Itu pikiran kamu. Kenyataannya ada!”
“Ok lah. Lantas, apa yang diharapkan orang memberi itu kepadamu?”
“Dia tidak berharap apapun dariku. Tidak ada. Dia memberi karena
keyakinannya kepada sesuatu.”
“Sesuatu ???” Aku bengong. “Apa itu?”
“Keselamatan,” jawabnya singkat. Tetap tersenyum dan “sabar “
meladeninku.
“Ceritakan padaku,” kataku. Aku tak ingin jawaban singkat lagi sebelum
aku terjebak dengan masalah yang bikin aku pening.
“Empat tahun lalu ada orang datang ke rumahku. Dia datang karena
petunjuk dari seseorang. Akupun tak tahu siapa itu orang. Hanya pintanya agar
aku menerima semua uang yang ada di tangannya. Orang itu menyerahkan uang
kepadaku dan berharap pemberian uang itu dapat menyelamatkannya dari prahara.”
“Oh, ya?”
“Siapa orang yang memberi uang banyak itu?”
“Akupun tak tahu siapa namanya. Dia langsung pergi tanpa meninggalkan
alamat atau indentitas.”
“Kemudian?”
“Uang itu tidak aku tempatkan di bank tapi ku simpan di lemari rumah.”
“Mengapa?”
“Aku engga butuh uang untuk hidup dan aku takut dengan uang sebanyak
itu.”
“Lantas?”
“Keesokannya ada lagi teman mengabarkan bahwa ada pabrik bata press yang
akan ditutup oleh pemiliknya. Pemiliknya orang asing. Teman itu kasihan dengan
nasib buruh. Asalkan ada uang sedikit, orang asing itu mau menyerahkan
pabriknya. Kemudian aku menemui orang asing itu untuk menyanggupi membeli
pabrik itu. Tak ada negosiasi. Aku hanya menyerahkan semua uang yang ada di
tanganku kepada orang asing itu. Tanpa menghitung jumlahnya. Orang asing itu
langsung menyanggupi. Dan pabrik berpindah ke tanganku. Keesokannya lagi, ada
kontraktor besar datang ke pabrik memberi aku uang cukup besar untuk pesanan
besar. Uang itu aku berikan kepada mandor pabrik. Mereka bekerja.”
Aku mulai tertarik. Dari matanya aku melihat Sobari tidak berdusta dan
memang dia tidak pernah berdusta. Itu aku tahu betul. Aku memperhatikan dengan
seksama ceritanya.
“Pabrik itu membutuhkan batu bara cukup besar untuk memanaskan oven
pabrik. Kemudian ada pengusaha dari Kalimantan memberiku sebagian saham pada
konsesi batu baranya asalkan aku mau membeli batu baranya. Dia menawarkan
kerjasama. Dia butuh kepastian penjualan tambangnya karena itu yang disyaratkan
oleh bank yang akan memberinya kredit. Aku menerimanya. Setahun kemudian orang
itu meninggal dan menitipkan wasiat agar tambang itu aku teruskan
pengelolaannya asalkan biaya hidup keluarganya aku tanggung.”
Aku terpesona.
“Entah kenapa ada orang China datang menawarkan kerjasama untuk membeli
batu bara itu dan menyanggupi mengeluarkan biaya untuk menambah kapasitas
produksi. Aku menyanggupi. Tapi terhalang karena butuh angkutan kapal ke
dermaga besar. Orang china itu memberi uang untuk membeli kapal tunda. Akhirnya
akupun jadi eksportir dan juga pemilik kapal angkut. Dari satu kapal menjadi 10
kapal. Sebagian disewa pula oleh penambang lainnya.”
Aku semakin terpesona…
“Pihak Pemda mengajukan proposal kepadaku agar membina penambang kecil.
Mereka inginkan aku sebagai penyangga. Pemda memberiku lahan cukup luas untuk
membuat tempat penampungan batu bara. Kemudian bank memberiku fasilitas untuk
membantu likuiditas sebagai pusat penyangga penambang kecil. Akupun
menyanggupi. Akhirnya akupun memiliki tempat penyangga dan sekaligus sebagai
trading house batu bara.”
“Karena uang berputar begitu cepatnya, pihak bank menawarkan kepadaku
untuk membuka Bank Perkreditan Rakyat. Akupun memilih BMI, BPR syariah. BPR itu
ternyata bukan hanya melayani usaha tambang tapi juga usaha lainnya.”
“Jadi sudah berapa usaha yang kamu miliki sekarang ?”
“Pabrik bata, tambang batu bara, eksportir, BPR, Angkutan Kapal….”
“Kamu konglomerat sekarang dan itu hanya dalam jangka waktu lima tahun.”
“ Aku Sobari... bukan konglomerat. Aku kontraktor.”
“Kontraktor???”
“Siapapun kita di dunia ini, hidup sebagai kotraktor. Allahlah yang
memberikan kita pekerjaan. Kita hanya sebagai pelaksana dan membangun sesuai
design yang sudah ditetapkan oleh Allah. Pemilik project tetaplah Allah."
“Projectnya apa?”
“Membangun jalan menuju kepada kemuliaan. Semua orang punya bidang tugas
masing- masing. Bukan soal besar atau kecil. Karena di hadapan Allah semua
tugas itu sama nilainya. Yang melebihkan adalah tingkat keihklasan kita berbuat
karena Allah. Cinta di balik tugas itulah intinya.”
Aku terhenyak dengan analoginya yang sangat dalam.
“Itu sebabnya dari dulu aku tidak pernah mengejar atau memita apapun
baik kepada Allah maupun kepada manusia. Doa bagiku bukan meminta, tapi menyapa
Allah. Bekerja bagiku bukanlah meminta tapi bersyariat. Tak ada istilah bagiku
untuk bernegosiasi soal hak didunia ini. Apalagi harus menjual diri dengan
segala atribut, kata-kata, proposal, janji dan lain sebagainya. Hidup ini,
kata-kata tetaplah kata-kata. Janji tetaplah janji. Tapi kenyataan adalah
segala- galanya. Kenyataan itu cinta besar di balik perbuatan kita. Itulah
nilai kita.”
“Bagiku semuanya jelas. Aku hidup karena Allah. Tak ada keberanianku
untuk mengemis lain apa yang aku suka. Kalau di depanku ada tanah luas aku
mencangkul untuk bertani. Kalau di depanku ada tambang, aku gali. Kalau di
depanku ada uang, aku bikin bank. Kalau di depanku ada barang, aku jual. Kalau
di depanku ada sungai dan laut, aku bikin kapal. Kalau ada orang memintaku jadi
pemimpin aku jalankan sesuai mandat.
Semua itu datang bukan karena aku menginginkan, tapi datang dengan
sendirinya tanpa pernah aku minta apalagi mengemis. Karena kita terlalu rendah
untuk menentukan apa yang kita mau. Apalagi menentukan masa depan yang kita
mau. Wong kapan kita harus berhenti sedetik ke depan kita tidak pernah tahu
kecuali hanya berandai andai.”
“Semua yang ada di dunia ini menuju ke satu titik. Kematian. Itu pasti.
Manusia kadang selalu merasa mampu bernegosiasi soal banyak hal tapi
kenyataanya tak ada orang yang mampu bernegosiasi soal kematian.”
“Manusia suka sekali meminta dan mengemis dalam bentuk apapun. Kekuasaan
diburu. Mengemis di hadapan rakyat agar memilihnya. Mengemis kepada bank agar
mendapatkan kredit. Mengemis kepada juragan agar mendapatkan tambahan gaji.
Mengemis kepada Allah agar dapat berkah. Mengemis kepada atasan agar naik
pangkat. Ini sangat memalukan. Budaya brengsek.”
“Tapi, kita kan harus berbuat sesuatu. Hidup adalah kompetisi. Orang
butuh kemampuan skill menjual ide
atau barangnya. Orang butuh skill untuk
meyakinkan orang lain. Orang butuh kemampuan menguasai resource yang terbatas.
Semua itu kan syariat yang semua
orang tak bisa lari sebagai sunatullah,” kataku.
“ Cara berpikir seperti itulah membuat kita terjebak dalam budaya
brengsek. Akibatnya ada istilah kalah dan menang. Ada pula istilah kaya dan
miskin. Adapula istilah konglomerat dan kaki lima. Kedamaian tak lagi tampak.
Kelas terbentuk dengan masing-masing kelas hidup dalam kecemasan. Yang kaya
takut miskin, yang miskin takut mati kelaparan, yang berkuasa takut jatuh.
Sebetulnya tak perlu ada kompetisi asalkan semua orang dalam posisi memberi.
Tapi rasa memberi itulah yang semakin terkikis dari keseharian kita. Semua
pamrih, termasuk beribadah pun pamrih.”
“Assalamu’alaikum…,” terdengar suara anak masuk ke dalam rumah. Aku
menoleh ke arah pintu masuk. Mereka ada berempat. Satu-satu mereka menyalami
kami. Kemudian masuk ke dalam rumah. Terus ke belakang. Sobari tersenyum. Saya
bingung melihat anak-anak itu yang tampak kumal. Mereka gembel namun masuk ke
rumah mewah dengan tanpa risih. Tak berapa lama, datang lagi rombongan anak
kecil masuk ke rumah. Dan terus, terus. Hingga sore jumlahnya mencapai 200
anak.
“Siapa mereka? Bagaimana bisa begitu banyak jumlahnya?" tanyaku
bingung. Karena yakin itu bukanlah anaknya.
Awalnya hanya dua orang anak
jalanan. Mereka melintasi rumahku yang besar ini. Mereka tidak mengemis
kepadaku. Mereka hanya memandangi rumahku dari luar. Aku meminta mereka masuk
ke rumahku. Kemudian mengizinkan mereka kapanpun datang sesuka mereka. Mereka
datang, mereka mendapatkan semua yang ada di dalam rumah ini. Aku makan maka
merekapun makan. Kemudian dari hari kehari jumlah terus bertambah dan
bertambah."
"Wah itu bagaimana kalau jumlahnya semakin banyak. Apakah kamu
sanggup?"
"Bila nikmat Allah itu diperlihatkan kepada orang lain maka itu
artinya kita harus siap untuk membagi nikmat itu kepada siapapun. Orang yang
takut membuka nikmatnya kepada orang lain itu artinya kikir. Orang yang membuka
nikmatnya kepada orang lain tapi tetap kikir maka itu namanya sombong. Tak jauh
beda dengan iblis yang dilaknat Allah.
“Jadi inilah sebagian project yang diserahkan oleh Allah untuk
kukerjakan. Sama seperti dua anak dan istrimu yang juga project dari Allah
untukmu. Mereka anak jalanan yang menjadikan rumah ini sebagai tempat singgah
mereka.” Kemudian Sobari berdiri.
“Mari kebelakang ....”
Aku mengikuti langkahnya. Di ruang belakang terhampar deretan meja
makan. Tampak anak-anak yang sedang menikmati makan dengan tertib. Di ruang
lain ada pula ruang kelas untuk anak-anak belajar. Lengkap dengan guru dan alat
peraga belajar. Di ruangan lain, ada pula deretan foto kegiatanya di pabrik dan
di lokasi tambang serta di desa di mana dia membuka BPR. Tampak di foto itu
Sobari hadir di tengah mereka dengan senyum dan merekapun semua tersenyum tanpa
kesan berjarak dengan Sobari. Semua kehangatan terpancar di antara mereka.
Sebuah gambaran tentang ketulusan dari kebersamaan.
Sore telah menjemput. Akupun minta pamit untuk pulang. Pikiranku tetap
kepada Sobari. Tak ada lain dari sosok Sobari kecuali kesabaran. Sabar melewati
waktu tanpa pernah mengemis atau meminta kepada siapapun. Karena dia menyadari
bahwa ketika Allah menghidupkannya, alam berserta isinyapun sudah diberikan
untuknya. Sebuah cara melewati tempat persinggahan dengan rendah hati. Dia
tinggal menjalani itu semua dengan sabar menuju satu titik dan selesai.
==
Cuplikan dari buku : Cinta yang Kuberi , Volume 1
Penulis : Erizeli Bandaro
Tebal :
285 halaman.
Cetakan :
Pertama, September 2015.
Pemesanan bisa langsung hubungi ke WA / SMS 0811 33 1924
atau email : ebandaro@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.