Mungkin pada umumnya orang tahu nya utang yang diumumkan oleh pemerintah berkaitan dengan rasio utang terhadap PDB yang masih berkisar 40%. Rasio itu terkait dengan pos pembiayaan APBN atau government debt atau utang pemerintah pusat. Sementara utang Indonesia bukan hanya itu. Ada lagi yang namanya utang luar negeri dan utang publik. Itu semua ada angkanya sendiri. Tentu kalau digabung semua, rasio utang udah diatas pagu utang 60% terhadap PDB yang ditetapkan oleh UU.
Saya akan bahas utang luar negeri aja. Karena ini terkait dengan daya tahan IDR. Mari kita pahami definisi utang luar negeri. Menurut Bank Indonesia, utang luar negeri sebagai utang penduduk (resident) yang berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk (non resident). Konsep dan terminologi utang luar negeri mengacu pada IMF’s External Debt Statistics: Guide for compilers and Users (2003). Paham ya.
Apa saja utang luar negeri itu? Terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan BI. Utang luar negeri swasta. Terdiri dari apa utang pemerintah & BI ? Surat Berharga Negara (SBN) domestik, yang dibeli asing. SBN Valas atau global bond. pinjaman bilateral seperti pinjaman G2G, pinjaman dengan Lembaga multilateral seperti world bank, IMF, ADB dan lain lain. SRBI, SVBI, SDR. Utang luar negeri swasta? Bukan hanya swasta tetapi termasuk juga BUMN, tentu utang investasi dan utang perdagangan (LC). Baik dalam bentuk surat utang maupun pinjaman.
Awal Jokowi berkuasa pada Juni 2014, utang luar negeri sebesar USD 265,22. Itu terdiri dari utang pemerintah dan BI sebesar USD122,19 miliar. Utang swasta mencapai USD153,22. Posisi ULN Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 425,1 miliar dolar AS. Itu terdiri dari utang pemerintah sebesar 200,4 miliar dolar AS, dan uang swasta USD 197,8 miliar. Sisanya tidak tercatat. Karena masih bersifat akrual sedangkan kita menganut cash basic. Perhatikan peningkatan utang luar negeri sejak awal Jokowi berkuasa sampai akhir kekuasaannya naik 1,6 kali.
Walau hutang luar negeri ini tidak diperhitungkan dalam Debt to PDB oleh pemerntah namun resikonya terkait dengan stabilitas kurs dan tentu berdampak langsung dengan fiscal. Misal keterlibatan BUMN dalam konsorsium kereta cepat dengan China. Karena default setor modal dan terjadinya cost overrun maka mengharuskan pemerintah menjamin utang BUMN kepada kreditur, China Development Bank. Contoh lagi utang PLN ke China yang tadinya skema PPP, kemudian dalam perjalanan menjadi jaminan pemerintah. Artinya, pada akhirnya semua dijamin juga oleh APBN. Tetapi karena kita menganut cash basic APBN, resiko yang belum terjadi dicatat off balance sheet.
Untuk mengetahui sejauh mana resiko utang luar negeri itu. Digunakan alat Analisa berupa Debt Service ratio (DSR). DSR ini untuk mengetahui sejauh mana kemampuan bayar utang luar negeri terkait dengan penerimaan devisa ekspor. Debt to Service Ratio (DSR) pada kuartal II tahun 2024 adalah 16,63% ( Tier 1). Memang masih aman dari ambang batas IMF, 20%.
Namun yang mengkawatirkan kenaikan beban pembayaran bunga ULN pemerintah mencapai 36,4 persen secara tahunan, namun pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5 persen. Apa artinya? beban utang pemerintah dan BUMN tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Lebih mengkawatirkan lagi beban utang luar negeri itu tela menciptakan crowding out effect. Modal asing diserap BI dan MenKeu lewat SBN dan SBRI, SVBI. Akibatnya menekan sektor swasta dan perbankan karena likuiditas jadi berkurang.
Kemudian Debt Service Ratio (DSR) Tier 2 pada 2014 memiliki angka 33,3 persen, sementara pada Oktober 2023 melonjak ke 38,6 persen. Masih aman dari pagu IMF 40%. Namun dari tren nya bisa diketahui, kenaikan utang luar negeri belum diimbangi oleh kemampuan menghasilkan valas terutama dari sisi ekspor. Ekspor to PDB hanya 21,7%.
Saran saya kepada Pemerintah YMP Prabowo. Walau indicator utang luar negeri masih aman. Namun dengan adanya ketidak pastian ekonomi global terutama menurunnya kinerja ekonomi China akibat kebijakan inward looking policy tentu akan mengurangi permintaan ekspor akan komoditas utama Indonesia, seperti batubara, nikel dan lain lain. Sementara Tren peningkatan pembayaran bunga dan utang luar negeri terus meningkat. Itu akan sangat beresiko terhadap stabilitas IDR.
Belum lagi kebijakan moneter AS yang semakin membuat USD menguat, adanya konflik geopolitik, akan memicu pergerakan capital outflow. Dengan PII netto pada semester 1 2024 sebesar USD 247 miliar ( negative) akan sangat rentan terhadap factor eksternal. Engga perlu semua capital outflow. 20% aja atau USD 50 miliar, tumbang ekonomi kita.
Sudah seharusnya dibentuk team penyelesaian utang luar negeri itu. Caranya bisa dengan exit strategi utang lewat SWAP settlement. Mssal debt for equity swap. Utang luar negeri itu dalam bentuk surat utang atau pinjaman didiskon Kemudian investor menjualnya lagi ke BI secara penuh namun dalam mata uang IDR. Uangnya bisa digunakan oleh investor untuk membeli saham emiten local atau bisa juga pemerintah memberi trade off dalam bentuk konsesi sumber daya mineral agar uang rupiah itu masuk ke sector real.
Saya yakin investor akan bersedia daripada default, urusannya akan panjang. Dan lagi solusi yang kita tawarkan bukan engga mau bayar tetapi mengarahkan utang itu menjadi FDI, yang bisa memberikan manfaat langsung kepada perekonomian nasional dan meningkatkan kemampuan fundamental ekonomi kita. Tentu Menteri luar negeri bersama Menteri terkait perekonomian harus all out kerjanya. Karena ini negosiasi tingkat tinggi dan sensitif, belum lagi melibatkan skema yang sophisticated. Perlu team high grade bidang financial engineering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.