Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tidak sarjana. Pengetahuan saya terbatas. Makanya saya sangat haus kalau ada akademis bicara tentang pengetahuan berbasis teori akademis. Mereka membahas tentang bahaya inflasi terhadap perekonomian nasional. Ibarat kata, inflasi itu seperti hantu yang menakutkan dan harus diperangi dengan at all cost. Tentu penjelasan itu disertai dengan data dan graphic, terkait fenomena inflasi terhadap perekonomian.
Memang hebat pencerahannya. Namun sebagai praktisi dan tidak akademisi saya terpaksa mengerutkan kening. Ada sesuatu yang menggangjal dalam pikiran dan harus saya tanya kepada mereka.
“ Dari penjelasan yang ada, dampak buruk dari inflasi itu adalah memenggal pendapatan tetap. Karena harga harga naik, sementara pendapatan tidak naik. Tentu pada gilirannya akan memperlemah daya beli dan berdampak buruk terhadap sector produksi. Kan itu esensinya. Dampak positif inflasi adalah pelonggaran likuiditas sehingga mamacu orang untuk berproduksi, meningkatkan peluang kerja, berinovasi, berinvestasi. Benarkah ? Tanya saya. Peserta diskusi mengangguk.
“ Nah “ lanjut saya. “ Bagaimana kalau lebih 50% rakyat bukan pegawai yang menerima upah tetap, Tetapi hidup dari wirausaha formal maupun informal? Data menunjukan 61% PDB kita berasal dari UMKM. Mereka menghidupi 90% populasi negeri, yang juga konsumen. Justru karena pendapatan mereka tidak tertap, mereka perlu inflasi untuk meningkatkan produksi dan berinvestasi. Kalau UMKM itu berkembang, pengaruh bergandanya kepada 90 % populasi rakyat. Walau harga naik karena inflasi, tidak ada masalah. Toh mereka punya uang untuk belanja.” Kata saya. Mereka terdiam.
“ UMKM itu menyerap pekerja 97% dari total Angkatan kerja nasional. Upah yang diberikan pada umumnya tidak tetap. Sesuai dengan output produksi. Artinya kelancaran produksi UMKM linier dengan pendapatan upah pekerja. Multiplier effect nya sangat luas, yaitu 90% dari populasi negeri ini. Itu sangat significant untuk kemakmuran proporsional.
Namun faktanya kebijakan menekan inflasi itu mengakibatkan aliran modal jadi stuck. Suku bunga naik, ekspansi APBN melambat, subsidi dikurangi atau diperlambat penyalurannya. Dan tentu mengorbankan mayoritas rakyat yang penghasilannya tidak tetap. Usaha mereka banyak yang bangkrut dan kalaupun jalan, hidup segan mati tak mau. Karena kalah bersaing dengan produk impor dan terjerat rentenir. Ditambah lagi dengan menyusutnya kelas menengah. Yang lengkaplah derita mereka. Sementara kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15%.
Nah, kesimpulannya. Kebijakan menekan inflasi dengan at all cost, sebenarnya ditujukan kepada segelintir pemegang saham korporat, elite politik dan penguasa, pekerja yang menerima penghasilan tetap seperti PNS, pegawai BUMN, Pegawai Korporat. Itu aja. Kalau katanya untuk rakyat, ya mereka itu yang dimaksud, bukan mayoritas rakyat” kata saya mengakhiri.
“ Pak, Ale” Seru peserta diskusi” Kita ini sedang membahas dari sudut pandang ekonomi makro. Sementara anda menilai dari sisi mikro ekonomi. Tentu kalau diteruskan diskusi ini akan melebar kemana mana dan tidak lagi kuantitif tetapi kita terjebak dengan narasi kualitatif’ kata moderator.
“ Yang saya tahu, ekonomi makro itu kan kebijakan fundamental, yang memastikan secara ilmiah berdampak positif terhadap ekonomi mikro. Kalau terjadi distorsi maka artinya kebijakan makro yang disalahkan. Bukan mikro. Sederhanan aja berpikirnya. Kan mikro itu eskses dari adanya kebijakan makro. “ Kata saya. Mereka terdiam.
" Tahu apa yang saya maksud dengan distorsi makro ? 98% sumber daya ekonomi negara hanya untuk mereka yang masuk kelompok 2% saja. Berdasarkan Global Wealth Report tahun 2023 dan Forbes peringkat 50 crazy rich Indonesia. 50 orang super kaya Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang dewasa Indonesia. Itulah distorsi dari kebijakan makro ekonomi. Kebijakan yang hanya menghasilkan ketimpangan distribusi sumber daya negara. "Kata saya.
“ Ok lah. Jadi apa yang hendak anda sampaikan ? kata moderator.
“ Saya orang awam. Saya tidak peduli berapa harga barang. Mau naik berapun saya beli asalkan ada uang. Yang jadi masalah kan uang, bukan harga. Terus ngapain kita pusing dengan inflasi. Kalau distribusi modal lewat ekspansi APBN, perbankan dan subsidi itu berdampak inflasi, ya engga ada masalah. Asalkan rakyat engga bokek. Bisa tetap belanja. Mesin ekonomi bergerak terus.. nanti kalau sektor produksi sudah established. Inflasi akan mereda dengan sendirinya sebagaimana hukum demand and supply. “ kata saya. Mereka saling pandang.
Sepertinya mereka tidak paham bagaimana menjabarkan maksud saya itu secara akademis. Padahal kata kuncinya adalah keadilan sosial. Seharusnya kebijakan makro ekonomi bertumpu kepada keadilan sosial. Tetapi itu dikaburkan ketika kepentingan oligarki harus diutamakan. Itu aja.
***
Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) September 2024 mencapai 210,5. Index ini dianggap BI penuh keyakinan dan baik baik saja. Mari kita pahami IPR ini secara sederhana. Agar kita tahu apakah retorika berita sama dengan angka dan data.
Perhitungan index atas dasar Survei penjualan eceran (SPE) yang dilaksanakan untuk memperoleh informasi dini mengenai arah pergerakan PDB dari sisi konsumsi swasta. Survei dilakukan terhadap sekitar 700 pengecer sebagai responden dengan metode purposive sampling di 10 kota yaitu Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Purwokerto, Makassar, Manado, Banjarmasin, dan Denpasar.
Indeks riil disajikan dengan tahun dasar 2010=100 (sebelumnya 2000=100). Sementara, perkiraan harga umum dihitung dengan menggunakan metode balance score (net balance +100) yang dibobot menggunakan bobot kota atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH). Ingat ya. Tahun 2010 itu kurs masih Rp. 8.917./USD. Kalau tahun 2010 anak anda masih balita. Sekarang udah remaja. Rata pertumbuhan penduduk / tahun = 1,25%.
Nah sekarang, kita evaluasi Indeks Penjualan Riil (IPR) September 2024 mencapai 210,5. Perhatikan, itu artinya 2,11 kali dari index tahun 2010 atau 14 tahun lalu. Tapi tahun 2024 september kurs Rp/USD Rp 15.214. Perbedaan kurs pada tahun 2010 dengan september tahun 2024 yaitu 1,7 kali. Artinya uang anda USD 100 tahun 2010 hanya bisa beli barang senilai USD 58 pada September 2024. 5 bulan deflasi berturut turut tercatat pada sector pangan. Itu bukan karenan harga turun akibat efisiensi tetapi daya beli turun dan petani terpaksa banting harga agar barangnya tidak expired
Dapat disimpulkan bahwa tingkat penjualan ril tidak meningkat significant. Padahal selama 14 tahun konsumen meningkat seiring peningkatan populasi, dan seharusnya harga bekorelasi dengan depresiasi kurs rupiah tampa memenggal nilai tambah produsen. Tapi itulah prestasi pemerintah. Hebat menekan inflasi dari sisi konsumen namun mengorbankan produsen. Makanya jangan kaget bila petani engga bisa makmur dan industry domestic banyak yang PHK.