Jumat, 07 Juni 2024

Kurs dan perdagangan.

 



Setiap negara dapat memilih sistem nilai tukar yang menentukan bagaimana mempertahankan nilai tukar nominalnya di pasar valuta asing (valas). Ada tiga sistem mata uang di dunia saat ini. Yaitu nilai tukar bebas (free-floating exchange rate system). Nilai tukar tetap (fixed exchange rate system). Sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system). Setiap rezim nilai tukar mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 


Nilai tukar bebas (free-floating exchange rate system). Kurs bergerak naik atau turun sesuai dengan mekanisme pasar tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak perlu menyediakan cadangan devisa untuk mengendalikan pasar. Tidak ada pasar gelap seperti yang terjadi pada sistem kurs tetap. Kurs yang berlaku adalah kurs keseimbangan. Sistem ini berlaku di AS,  Eropa dan Rusia. Karena sifatnya bebas cenderung kurs Volatilitas dan bisa memicu spekulasi.


Nilai tukar tetap (fixed exchange rate system). Kurs yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi, kurs itu akan berlaku untuk seluruh jenis transaksi yang melibatkan dua atau lebih mata uang yang berbeda. Bila kurs itu naik ataupun turun, maka pemerintah sebagai pemegang otoritas moneter harus berusaha mengembalikan pada kurs yang sudah ditetapkan. Karenanya butuh cadangan devisa yang besar untuk menjaga kurs. Di era pasar yang berubah cepat, kurs tetap kurang tepat.  Indonesia di era Orba pernah terapkan sistem kurs sepeperti ini.

Kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system). Pada sistem ini, kurs ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran. Namun, pemerintah dapat juga mempengaruhi nilai tukar melalui intervensi pasar apabila kurs naik atau turun melebihi batas yang ditentukan (biasa disebut band intervensi). Indonesia sekarang menerapkan sistem kurs semacam ini. Perlu cadangan devisa untuk belanja impor dan pembayaran international. Dan sistem ini tidak sepenuhnya bisa menjaga neraca pembayaran.


Sesuai aturan ekonomi internasional, suatu negara biasanya hanya dapat menerapkan dua dari tiga kebijakan berikut: nilai tukar tetap, rekening modal terbuka, dan kebijakan moneter independen. Chna memilih untuk mempertahankan nilai tukar tetap dan kebijakan moneter independen, sambil tetap menutup aliran modal. China telah berupaya membuka rekening modalnya untuk meningkatkan penggunaan RMB global, namun hal ini memerlukan transisi menuju  mata uang mengambang dalam jangka panjang. 


Selama beberapa dekade terakhir, China berkali kali mengubah rezim nilai tukar RMB. Itu juga beralasan kuat demi strategi pembangunannya. Saat China perlu capital untuk investasi, tahun 1994, China menerapkan patokan ketat antara RMB dan dolar AS, Kebijakan ini untuk menjamin kepastian perdagangan dan investasi. Dampaknya terjadi capital inflow lewat FDI yang sangat besar. 


Setelah investasi tumbuh pesat, dengan surplus neraca perdagangan yang besar.  Pada tahun 2005, China menempatkan RMB pada sistem pasak terkelola, mengikat RMB dengan sekeranjang mata uang internasional yang memungkinkan terjadinya apresiasi dalam jumlah kecil. Hasilnya, dari tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2013, RMB terapresiasi  sebesar 34 persen secara nominal terhadap dolar. Tentu rekening modal Valas China yang semakin besar tidak berdampak kepada inflasi RMB.

Setelah inflasi terkendali, pada bulan Agustus 2015, Bank central China (People Bank Of China/PBOC) mengizinkan RMB terdepresiasi sebesar dua persen terhadap dolar AS.  Kebijakan ini meningkatkan lagi gairah produksi domestik untuk mengulang pertumbuhan tinggi. Index dolar menguat tahun 2015 menyebabkan nilai RMB yang dipatok meningkat terhadap mata uang mitra dagang lainnya. Pada bulan Oktober 2016, IMF memasukkan RMB ke dalam keranjang mata uang dengan  hak penarikan khusus (Special Draw Right/SDR ), RMB sudah jadi cadangan devisa resmi dunia bersanding dengan USD. Tentu meningkatkan prestise China di mata dunia.


Pada tahun 2017, China memperkenalkan faktor “kontra-siklus” dalam penetapan kurs RMB, yang memungkinkan PBOC memiliki lebih banyak kekuatan untuk melawan pengaruh pasar.  China sudah lead, bahkan jadi kreditur negara lain seperti AS, Eropa dan lainya. Namun, pada awal tahun 2018, PBOC mengurangi “ faktor kontra-siklus ” untuk memungkinkan lebih banyak fleksibilitas nilai tukar. Ya China sudah mengukuhkan RMB menjadi mata uang dunia. Ya suka suka China aja, seperti AS yang suka dia mengatur moneternya walau berdampak buruk terhadap negara lain.


Sulit bagi AS menentukan secara akurat penilaian RMB berdasarkan nilai tukar nominalnya. Hal ini diperumit oleh fakta bahwa China melakukan banyak perubahan jangka pendek terhadap nilai tukar nominalnya, yang semuanya memiliki dampak jangka panjang yang terbatas terhadap perdagangan. Makanya AS hadapi dengan langkah proteksionisme lewat tarif. PBOC hadapi dengan membiarkan RMB terdepresiasi. Pada bulan Agustus 2019, nilai tukar RMB terhadap dolar melemah melewati angka 7 untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade. Kalah lagi AS.


Nilai RMB terhadap dolar AS dan euro telah menjadi bahan perdebatan politik yang luas di AS dan UE. Dalam forum dunia, AS dan Eropa selalu menuduh China melakukan manifulasi mata uang untuk menempatkan dirinya pada keunggulan kompetitif. AS dan Eropa minta agar China mereformasi sistem mata uangnya dan melakukan revaluasi RMB. Tapi China menolak. Itu hak mereka sebagai negara berdaulat. Kalau China berkali kali mengubah nilai tukar nominalnya, itu biasa saja. Buktinya AS juga melakukan intervensi kurs dengan menaikan suku bunga. Kan sama saja. Kritik yang ditujukan terhadap China sering kali berakar pada salah tafsir terhadap perekonomian internasional, khususnya moneter.


***

AS baru-baru ini meluncurkan serangkaian tarif baru untuk ribuan jenis barang China, termasuk tarif kendaraan listrik (EV) sebesar empat kali lipat sehingga tarifnya menjadi 100%. AS beralasan bahwa tarif baru ini sebagai reaksi atas kebijakan subsidi China kepada industrinya. Tidak butuh waktu lama bagi China untuk membalas dengan aksi penyelidikan anti-dumping terhadap impor bahan kimia dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Taiwan. Ini mengancam  bahan kimia mereka kena banned pasar domestik China yang sangat besar. Akan lanjut saling serang. 


Menggambarkan situasi ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sangat besar. Menurutnya, ini menjadi salah satu kondisi global yang harus diwaspadai oleh Indonesia dalam menjalankan perekonomian. Apalagi keduanya adalah mitra dagang utama Indonesia. Tarif terbaru ini juga merupakan pengakuan pemerintahan Biden bahwa AS telah kalah sekian ronde terhadap China sebelumnya. Kebijakan-kebijakan AS di masa lalu telah gagal mencegah China semakin kompetitif.


Sebenarnya, tidak sepenuhnya nilai tukar RMB penyebab produk China kompetitif. China menggunakan mesin produktivitas barang dan jasa untuk bersaing. Dan itu  membutuhkan kerja keras luar biasa dengan dukungan regulasi yang ketat serta dana riset yang besar. Itu sikap survival aja. Buktinya sekian dekade mata uang China terus menguat terhadap USD. Nyatanya tetap saja AS tidak bisa kompetitif dengan China. AS kalah diproduksi. China tidak berambisi menguasai dunia dengan mesin ekonominya? Mengapa ? China dibesarkan oleh mitra dagangnya seperti AS, Eropa, Jepang dan lain lain. Tentu China butuh lingkungan yang damai. Bukan perang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.