Kamis, 02 Mei 2024

Pemimpin Visioner...

 





Pada tahun 1949, setelah melalui Perang Saudara antara Kelompok Komunis dan Kelompok Nasionalis, Kuomintang, yang akhirnya dimenangkan oleh Kelompok Komunis dibawah pimpinan Mao Zedong. Berdirilah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Kelompok Kuomintang yang kalah mendirikan pemerintahan darurat di Pulau Formosa ( Taiwan), yang akhirnya berdirilah Republik of China ( ROC). 


Kemenangan itu tidak membuat Mao euforia. “ Kelompok Nasionalis itu mudah kita kalahkan karena para elitenya adalah kaum feodal yang menindas rakyat jelata. Kalau kita gagal memerangi feodalisme, bukan tidak mungkin partai akan dihabisi oleh rakyat. Lantas untuk apa kemenangan itu semua kalau kita gagal memerangi feodalisme." 


Saat Mao berkata seperti itu, memang sebagian besar para elite Partai Komunis China adalah kaum feodal. Rakyat mendukung mereka mengalahkan kelompok Nasionalis karena jargon anti kelas dan anti feodalisme. Kini mereka sudah menang. Masih perlukah memenuhi janji Partai kepada Rakyat? Bukankah feodalisme itu bagian dari kebudayaan China.  Menghapus kebudayaan itu sama saja membakar China sebagai bangsa. Mao sadar sikap kawan kawannya. Itu artinya revolusi belum selesai. PR masih banyak. Bahwa masadepan china adalah egaliterian. Selagi feodalisme belum di bakar, itu artinya revolusi belum usai. Visi kepemimpinan Mao sangat di hormati lawan maupun kawan. Namun mereka tidak tahu darimana dan bagaimana menghabisi feodalisme itu.


Mao terus memantau setiap gerak dan kebijakan PM China. Sebagai ketua Partai dan juga presiden China, Mao tidak mau terburu buru bersikap. Korban perang saudara mengalahkan Kuomintang masih terbayang oleh nya. Mao ingin mengakhiri feodalisme tetapi dengan korban minimal. Setidaknya tidak ada lagi perang saudara. 16 Mei 1966 atau 17 tahun kemudian setelah Partai berkuasa. istrinya Jiang Qing dengan 4 gank nya memprovokasi  jutaan pelajar sekolah SLTP dan SLA menciptakan kekacauan di seluruh negeri. Mao tidak mendukung namun juga tidak melarang. Mao menyebut itu revolusi kebudayaan tanpa terkesan membenci feodalisme. Namun secara dialektika, itu sama saja mencabut akar kebudayaan yang sudah terbentuk berabad abad.


Target revolusi kebudayaan adalah Komunitas elite bangsawan yang terdiri dari kaum terpelajar, cendekiawan, agamawan, tuan tanah, pengusaha rente dan pejabat yang korup dan memperkaya diri dan lain lain. Mereka digiring ke dalam kamp kerja paksa di pusat pertanian, peleburan baja, pabrik bata, pabrik semen, dan lain lain. Selama revolusi kebudayaan, semua orang harus bisa baca. Tak terkecuali. Tua maupun muda. Setelah usai revolusi kebudayaan. Korban mati di kamp kerja paksa diperkirakan mencapai 25 juta orang. Tetapi 90% rakyat China melek baca. China swasembada baja, semen dan pupuk. Hampir semua provinsi punya pabrik semen, baja dan pupuk. Inilah jadi modal Deng membangun China.


***

Revolusi kebudayaan berakhir tahun 1976. Atau berlangsung 10 tahun lamanya. Selama itu China menutup diri dari dunia luar. Siapapun yang dicurigai anti revolusi, nyawa bisa hilang atau berakhir di Kamp kerja paksa. terjadi pembantaian seperti Pembantaian Guangxi, di mana kanibalisme skala besar juga terjadi. Insiden Mongolia Dalam. Kasus Mata-Mata Zhao Jianmin.. Agustus Merah (Beijing). Insiden Shadian. Pembantaian Ruijin.


“ Ini perang mental “ teriak Mao dihadapan elite partai. “ Kita membuang kerikil dalam sepatu. Biarkan semua terbakar jadi debu. Ibarat membakar jerami diatas lahan padi. Debu itu akan jadi pupuk lahan kelak. “ Lanjut Mao. 


Setelah kematian Mao pada tahun 1976 , Deng yang juga korban revolusi kebudayaan, naik ke tampuk kekuasaan dan memimpin Tiongkok. Deng berkata di Aula Rakyat “ China baru harus menghormati kaum terpelajar dan ilmuwan. Karena kita tidak bisa melewati kegelapan tanpa penerangan dari mereka. China baru harus menghormati pengusaha, karena kita perlu mereka untuk menggairahkan produksi barang dan jasa. China baru harus menghormati agamawan dan budayawan untuk mencerahkan kita. Dan dari rasa hormat itu semua, karena kita semua mencintai rakyat jelata. Kita harus kerja keras dan keras kepada diri sendiri untuk mengangkat rakyat dari kubangan lumpur kemiskinan. Saya tidak peduli kucing hitam atau merah. yang penting bisa genjot produksi."


Pidato Deng itu bisa diterima oleh semua golongan. Karena semua tahu bahwa China tidak membenci kaum terpelajar atau agamawan, orang kaya, kapitalisme, tetapi membenci mindset feodalisme yang rakus dan mementingkan diri sendiri serta memperbodoh rakyat miskin untuk terus ditindas. Deng tidak mengalami kesulitan ketika melakukan Reformasi dan Keterbukaan serta pengembangan ekonomi pasar sosialis. Rakyat langsung terima reformasi itu dengan semangat dan harapan baru. 


Ya Deng mewarisi karya besar Mao, yaitu lahirnya China baru, masyarakat egaliter.  Feodalisme gone. Masyarakat egaliter memang mengutamakan asas gotong royong dan kebersamaan. Beda dengan feodalisme yang bertumpu kepada patron dan rakyat miskin yang bodoh sebagai second class. Dan itu diawali dengan reformasi pendidikan yang sangat mendasar, yang mengubah sistem pendidikan ala feodal menjadi egaliter. Tidak ada standar nilai, yang membedakan murid pintar dan bodoh. 

“ Kalau rakyat kita berpikir terbuka dan merdeka,  maka sampai kapanpun feodalisme tidak akan pernah bangkit lagi. China akan bisa melakukan lompatan jauh kedepan. Namun rakyat yang berpikir terbuka dan merdeka itu juga resiko kepada Partai kalau tidak bisa mengubah dirinya dari penguasa menjadi pelayan rakyat. Para kader partai dimanapun posisinya harus keras kepada dirinya sendiri untuk berubah. Kalau kita tidak berubah, maka rakyat yang akan mengubah kita lewat revolusi yang lebih bau amis darah dibandingkan revolusi oktober maupun revolusi kebudayaan.


Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Tiongkok dihitung sejak reformasi. Reformasi di Indonesia dihitung sejak tahun 1966 sedangkan Tiongkok dimulai sejak tahun 1978. Pada tahun 1978 PDB per kapita Tiongkok sebesar $165, sementara Indonesia pada tahun 1966 sebesar $195. Dalam jangka waktu seperempat abad Tiongkok telah melipatgandakan PDB per kapita sebanyak tujuh kali lipat, sementara Indonesia dalam waktu yang lebih panjang hanya mencapai empat kali lipat. Perekonomian Tiongkok hampir selalu tumbuh tinggi, sedangkan Indonesia sempat mengalami variasi karena adanya krisis ekonomi Asia. 


Kini Tiongkok sudah sangat jauh meninggalkan kita. PDB per capita China USD 12,514 sementara kita USD4,919,7. Padahal penduduk China 5 kali penduduk Indonesia. Mengapa ? Itu karena visi Mao yang sukses membakar feodalisme dan menjadi inspirasi bagi pemimpin setelahnya. Dan karenanya tidak sungkan membunuh mati koruptor walau itu elite partai atau pejabat penting sekalipun. Setelah revolusi kebudayaan China, berkali kali berganti presiden, tidak ada satupun keluarga presiden mendapat posisi penting di pemerintahan atau BUMN atau  sebagai elite partai. Sementara  kita malah mengekalkan dan mengembangkan budaya feodalisme itu lewat politik dinasti, nepotisme. Ya walau kita sudah merdeka, namun sejatinya kita tidak lepas dari penjajahan. Ya dijajah oleh bangsa sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.