Selasa, 21 Mei 2024

Defisit Ganda Neraca.?

 



Bank Indonesia (BI) telah merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada Senin (20/5/2024) untuk periode kuartal I-2024. Tercatat nilai NPI mengalami defisit US$6 miliar dari yang sebelumnya pada kuartal IV-2023 surplus US$8,6 miliar atau berbalik arah lebih dari US$14 miliar. Transaksi berjalan defisit sebesar US$2,2 miliar (0,6% dari Produk Domestik Bruto/PDB), angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan defisit US$1,1 miliar (0,3% dari PDB) pada kuartal IV-2023.


Pada kuartal pertama tahun ini, transaksi finansial mengalami defisit US$2,3 miliar disebabkan oleh investasi portofolio sebesar US$1,79 miliar dan investasi lainnya yang mengalami defisit US$4,4 miliar. Sebagai catatan, posisi defisit transaksi finansial ini merupakan yang terendah sejak kuartal II-2023. Dari data fundamental ini terjawab sudah mengapa rupiah melewati ambang batas psikologi? Ya di akhir jabatan Jokowi ini kita memang mengalami defisit  Neraca Perdagangan. Defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi financial. Walau kata BI masih terkendali. 


Sejak Presiden Jokowi berkuasa, transaksi berjalan selalu berada di zona merah kecuali pada 2022 di tengah terjadi commodity boom. Mengapa ? ketergantungan yang berlebihan pada ekspor komoditas dapat membuat perekonomian lebih rentan terhadap guncangan eksternal seperti fluktuasi harga komoditas. Bagaimana dengan  hilirisasi sumber daya mineral yang dibanggakan itu?  konsentrasi kekayaan pada industri ekstraktif justru meningkatkan kesenjangan ekonomi dan sosial akibat kerusakan lingkungan.


Disisi lain kita gagal melakukan transformasi ekonomi lewat diversifikasi produk berbasis industri dan manufaktur. Bahkan kontribusi Industri terhadap PDB turun atau de-industrialisasi. Penyebabnya lebih karena penguasaan teknologi. Pengukuran dengan metode ISIC Rev.3-2011 UNIDO di tahun 2014, gambarannya adalah struktur kemampuan penguasaan teknologi tinggi industri hanya 6 persen, teknologi menengah-tinggi 28 persen, teknologi menengah-rendah 23 persen, dan teknologi rendah 43 persen. Jadi memang industri yang ada low grade. Sulit untuk bersaing. Seharusnya oleh Jokowi keadaan industri seperti ini diperbaiki saat dia berkuasa. Tapi dia tidak paham dengan tugasnya sebagai presiden.


Pemerintah mengeluarkan PP No.28 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Tujuannya untuk melindungi industri dalam negeri dari produk impor. Tetapi tidak efektif. Karena kita sudah terikat dengan Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Area/FTA). Rata-rata tarif bea masuk Indonesia tinggal 2,6 persen. Padahal Korea (7,7 persen), China (3,5 persen) dan India (6,3 persen) ( sumber : Bank Dunia, Dana Moneter Internasional). Oleh karena itu, engga usah kaget kalau terjadi defisit neraca perdagangan pada mayoritas produk industri kita terhadap negara mitra. Seharusnya diplomasi perdagangan ke soal tarif untuk melindungi industri domestik, bukannya membuat larangan terbatas impor. Lagi lagi Jokowi engga paham dengan tugasnya sebagai presiden.


Secara ilmiah fenomena ekonomi negara kita ini terkena Dutch disease ( penyakit belanda). Majalah Economics, memperkenalkan model Dutch disease pada tahun 1977. Kemudian, Corden dan Neary mengembangkan konsep Dutch Disease menjadi sebuah model ekonomi, yang didasarkan pada tiga sektor: sektor sumber daya alam, pertanian dan manufaktur (non-resource tradable sector), dan sektor non-tradable dengan jasa dan konstruksi yang non-tradable. Sachs dan Warner melakukan penelitian mengenai dampak kutukan sumber daya Alam terhadap dimensi ekonomi.


Bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam cenderung memiliki kinerja yang buruk. Artinya, negara-negara dengan sumber daya mineral dan hidrokarbon yang besar dapat menunjukkan tingkat kemiskinan, kesenjangan, memburuknya kualitas ekologi, democracy is flawed, KKN. Cenderung menjaga nilai tukar mata uang domestik lebih rendah dibandingkan seharusnya, sehingga membantu melindungi perekonomian dari jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan jadi bomb waktu yang menghancurkan semua. Beda dengan negara yang unggul dalam industri dan manufaktur berbasis IPTEK. Anggaran IPTEK Indonesia  terendah di Asia Tenggara dalam persentase gross domestic product (GDP), dengan hanya 1,6%. Memang Jokowi engga paham mengelola negara secara modern.


***

Di era Jokowi. Sumber daya keuangan negara itu sangat besar. Sangking besarnya, utang awal dia berkuasa Rp. Rp 2,600 triliun. Juni 2023 posisi utang kita sudah Rp7.800 triliun. Atau selama dia berkuasa tambah utang Rp. 5200 triliun. Itu sama saja utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelumnya. Dahsyat memang. Lantas bagaimana cara Jokowi meningkatkan sumber daya keuangan itu ?  Team Jokowi sadar bahwa repot amat kalau harus melakukan transformasi ekonomi ke Industri. Engga sampe otak mereka meningkatkan income untuk pembiayaan negara. Di otak gimana  dapatkan uang lewat utang. Dalam hal ini harus kita akui mereka smart. Ya sama cara berpikir konglomerat negeri ini. Membangun istana gading.

Gimana caranya ? mereka tahu bahwa kelayakan pinjaman itu berdasarkan rasio utang terhadap PBD. Sementara UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Nah ini mereka siasati lewat skema. Saat awal Jokowi berkuasa, belum ada trigger meningkatkan PDB. Maklum SBY mewariskan defisit balance account. Jadi gimana ? 


Pertama tama yang mereka lakukan adalah revaluasi asset. ini yang mudah dapatkan uang di pasar.  Tahun 2015 pemerintah keluarkan kebijakan keringanan pajak revaluasi aset. Contoh. Aset PLN sebelum revaluasi RP.80 triliun, Setelah revaluasi meningkat jadi Rp. 214 triliun atau hampir 3 kali lipat. Total revaluasi asset negara kini mencapai kurang lebih Rp,. 15.000 triliun. Nah itu dijadikan underlying untuk dapatkan utang. Karena utang itu PDB meningkat. Selanjutnya mereka jadi bebas genjot utang sebagai sumber income. PDB kita dari tahun ke tahun meningkat. Kita termasuk negara USD 1 trilion atau G20. Sederhana kan caranya?


Sebenarnya kalaulah sumber daya keuangan yang begitu besar digunakan sepenuhnya meningkatkan produksi lewat R&D, memperbaiki tata niaga bisnis dalam bidang pertanian, mineral dan tambang, Kita sudah jadi negara besar. Tetapi sumber daya keuangan negara yang begitu besar bukan diarahkan ke transformasi ekonomi industri. Justru lebih besar digunakan untuk subsidi politik populis yang cenderung mind corruption.


Mari lihat data.


Selama era Jokowi berkuasa. Subsidi BBM  diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlahnya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 triliun.  Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Ya wajarlah 70% rakyat puas.  Tetapi itu semua absurd. Karena tidak ada dampaknya kepada return financial. Justru menyuburkan korupsi dengan memburuknya index korupsi.


Walau PDB kita meningkat, tetapi kan bayar utang tidak dengan PDB tetapi dengan uang beneran. Engga bisa bayar utang pakai cetak uang begitu aja. Ya bayarnya dari penerimaan pajak dan dari  ekspor masuknya devisa. Nah, Debt service ratio atau rasio penerimaan ekspor terhadap bayar bunga dan cicilan utang berkisar  25% hingga 30%. Artinya 100% Devisa hasil ekspor, 1/4 nya untuk bayar utang dan bunga. Sementara penerimaan pajak terhadap PDB ( tax ratio) dibawah 10%. Hampir setengahnya dari penerimaan pajak habis bayar cicilan utang dan bunga


Dalam dunia hedge fund, ada penyakit yang mudah terjangkit terhadap pemain. Yaitu rakus. Rakus ini tidak bisa lagi bedakan kebohongan dengan kebenaran saat berhutang begitu mudah. Mereka terjebak menyelesaikan masalah lewat membangun persepsi yang ilusi dan akibatnya sehebat apapun trader hedge fund, pasti mereka akan terjebak jadi hedger. Pejudi. Berakhir runtuh. Seharusnya kemudahan akses sumber daya keuangan itu sebagai liabilities, amanah yang harus dijaga dengan disiplin tinggi,  memastikan utang itu berdampak kepada  meningkatnya pendapatan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.