Politik uang merupakan salah satu permasalahan serius dalam setiap pemilu di Indonesia. Mulai dari pemilihan Kepala Desa, Anggota Legislatif, Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ), dan Kepala Daerah hingga presiden, praktik jual beli mempengaruhi perolehan suara. Pasti kalimat ini akan dibantah dengan alasan, hoax kalau tidak ada bukti. Harusnya dipahami dalam konteks demokrasi. Rakyat membaca sinyalemen dan tugas aparat melaksanakan fungsi penegakan hukum untuk mendapatkan bukti itu. Kalau semua kritik atas dasar sinyalemen itu dianggap memberitakan hal yang mengadu domba dan meresahkan masyarakat, itu justru mematikan demokrasi itu sendiri.
PPATK mengatakan ada dua point yang sangat penting adanya aliran dana haram masuk ke dalam politik pemilu. Pertama. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan lonjakan transaksi mencurigakan terkait kampanye peserta Pemilu 2024 hingga 100 persen. Muncul juga temuan indikasi dana kampanye berasal dari aktivitas tambang ilegal. Tahun lalu kita baca berita ada temuan 5 juta ton ekspor nikel ilegal ke China. Itu yang ketahuan. Yang engga ketahuan tentu lebih besar lagi.
Kedua, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan 36,67 persen uang proyek strategis nasional (PSN) masuk kantong Aparatur Sipil Negara dan politisi. Walau akhirnya berita itu di klarifikasi oleh PPATK, bahwa bukan dari seluruh proyek, melainkan hanya satu PSN. Itu tidak penting lagi. Karena seperti biasa informasi dari PPATK hanya jadi cerita menjelang tidur. Hanya bisa dibawa dalam mimpi. Maklum pemerintah, aparat, politisi sudah jadi komunitas kekuasaan dalam satu lingkaran oligarchi. Tidak mungkin mereka mengakui.
Walau segala upaya yang telah diatur, baik ketentuan UU Parpol maupun kerja sama yang telah ditandatangani antara Bawaslu dan PPATK, itu semua omong kosong. Mungkin KPU tidak memahami atau tutup mata atas segala sesuatu terkait ketentuan pendanaan pemilu, termasuk bahaya yang mengintai jika diabaikan. Mengapa ? Terlepas soal mereka aparat hukum atau politisi atau pejabat, yang jelas mereka termasuk gerombolan kriminal bersama pengusaha yang mendapatkan akses mengelola sumber uang haram itu.
Disamping dana haram, juga ada dana halal dari APBN atas nama Bantuan sosial yang massive diberikan menjelang pemilu. Tahun lalu saja lebih dari Rp. 400 triliun dana bansos. Beberapa program bansos yang dicairkan di awal tahun adalah bantuan beras, pangan hingga Program Keluarga Harapan (PKH). Misal, nilai bantuan PKH Kesehatan diberikan tunai kepada ibu hamil dan anak balita Rp3 juta per tahun. Klaster pendidikan Rp900 per tahun untuk SD, lalu Rp1,5 juta per tahun untuk anak SMP, serta Rp2 juta per tahun untuk anak SMA. PKH lansia diberikan untuk yang berusia di atas 60 tahun sebesar Rp2,4 juta per tahun. Nilainya sama untuk PKH bagi penyandang disabilitas.
Belum lagi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Pencairan BPNT juga dilakukan secara bertahap. Melalui bansos ini, masyarakat mendapatkan bantuan Rp200 ribu per bulan, yang diberikan setiap dua bulan atau Rp400 ribu sekali pencairan. Bansos ini diberikan dalam enam tahapan atau dua bulan sekali per pencairan. Masyarakat menerima dalam bentuk uang tunai. Memberikan ganti rugi kepada petani yang gagal panen karena banjir. Nilainya beragam mulai Rp122 juta hingga Rp200 juta per kelompok tani. Bantuan ini dinilai perlu diberikan karena gagal panen petani disebabkan oleh bencana tak terduga, sama seperti bencana alam lainnya.
Bansos ini tidak sulit untuk dipahami sebagai money pollitik menjelang pemilu. Dan wajar karena itu trade off nya tingkat kepuasan terhadap Jokowi diatas 70%. Dan dengan smart dimanfaatkan Jokowi untuk keberpihakan kepada paslon 2 dimana putranya sebagai Calon wakil presiden. Silahkan bantah dengan rerotika apa saja, namun fakta dalam kampanye paslon 2 selalu menyebut bantuan Jokowi dan berkat program Jokowi. Program Keberlanjutan atas program Jokowi sebagai kelanjutan bagi bagi bansos. Itu terperepsikan dalam otak rakyat yang miskin literasi dan miskin harta.
Solusi ?
Bayangkanlah. Jika pemimpin terpilih ternyata pihak atau dirinya menerima sumbangan dari penjahat, menggunakan kekuasaan merekayasa bansos untuk dapatkan keuntungan elektabilitas, itu berarti ia mendapat suara dukungan dana haram dari oknum oknum dan kebijakan yang culas lewat APBN yang didukung oleh partai koalisi di DPR. Kebijakan presiden terpilih dikhawatirkan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan oligarchi. Misalnya, penegakan hukum terhadap kejahatan masih lemah dan kebijakan populis yang mind corruption semakin permissive.
Jika hal ini terjadi, maka dipastikan pemerintah terpilih tidak akan mampu lagi melakukan kontrol terhadap para oligarchi. Bahkan kebijakan di bidang apapun cenderung berpihak pada kepentingan para penyandang dana ilegal tersebut dan oligarchi. Sementara kepentingan rakyatlah terabaikan. Proses politik memang mengekalkan kemiskinan lewat bansos dan akibat uang haram membuat sektor real tidak ramah terhadap bisnis kreatif yang butuh efisiensi untuk kompit secara global.
Bagaimanapun tetap saja sistem demokrasi itu lebih baik dibandingkan dinasti dan totalitarian. Lantas apa solusinya agar tidak ada lagi dana haram masuk ke politik dan tidak ada lagi mind corrution lewat bansos ? Solusinya adalah politik akar rumput Gerakan akar rumput adalah upaya terorganisir yang dilakukan oleh sekelompok individu di wilayah geografis tertentu untuk melakukan perubahan dalam kebijakan sosial atau mempengaruhi terjadinya perubahan. Untuk mewujudkan perubahan kebijakan di tingkat lokal, regional, nasional, atau internasional. Gerakan dan organisasi akar rumput menggunakan tindakan kolektif, pengorganisasian mandiri , mendorong anggota masyarakat untuk berkontribusi aktif. Untuk bisa terlaksananya gerakan akar rumput, maka perlu ada perubahan UU Partai Politik, terkait tentang sebagai berikut:
Pertama. Setiap partai Poltik harus ada idiologi yang jelas dan agenda yang spesifik. Misal, PDIP. Idiologi Marhaen. Agendanya adalah keadilan sosial bagi petani dan buruh. Agenda itu harus melembaga dalam bentuk kerja real, dibidang pembinaan dan pengembangan komunitas. Begitu juga dengan partai lainnya.
Kedua. Setiap partai harus mampu menarik asosiasi bisnis dan sosial yang existing dan punya reputasi nasional, sesuai dengan agendanya. Kalau tidak ada sinergi yang solid dan kolaborasi resmi dengan asosiasi bisnis dan sosial, tidak bisa menjadi partai Politik. Sebaiknya focus aja jadi ormas atau LSM sampai layak menjadi sebuah partai, yang dapat dukungan stakeholder.
Ketiga. Para kader partai harus menguasai beragam keterampilan, seperti hubungan masyarakat, konsultan bisnis nasional dan international, punya kekayaan literasi terhadap sosekpolbud, sehingga bisa menterjemahkan setiap kebijakan pemerintah kepada akar rumputnya , dan mempostingnya di jaringan media sosial dan media mainstream. Kader partai harus mampu menjadi organisator yang bertanggung jawab dikomunitasnya.
Keempat. Partai mendapatkan dana dari komunitas binaannya sendiri. Mereka boleh fundraising lewat kupon partisipasi rakyat. Tentu untuk bisa menarik dana dari masyarakat, mereka harus sukses sebagai mentor masyarakat bidang ekonomi dan sosial. Misal, mereka aktif memperjuangkan tataniaga petani agar terhindar dari kartel kapitalisme dan bisnis rente. Masyarakat yang sejahtera dibawah binaan mereka tentu tidak keberatan memberikan donasi pastipasi. Artinya dituntut partai yang mau kerja keras, kerja lapangan dan selalu ada bersama rakyat.
Sistem akar rumput ini sangat cocok bagi Indonesia yang berbudaya gotong royong. Walau masing masing partai berbeda idiologi namun karena bingkainya adalah Pancasila, tentu tidak sulit terjalinnya sinergi antar partai. Tidak akan terjadi polarisasi di tengah masyarakat. Mengapa? Orang terpolarisasi karena faktor ketidak adilan, baik rasa maupun perlakuan. Perbedaan pendapat karena beda pendapatan. Nah, karena semua berjalan diatas kepentingan ekonomi atau humanitarian capitalism, maka sinergi akan terjadi meluas untuk keadilan bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.