Sabtu, 06 Januari 2024

Biotekhnologi Pertanian.

 




Tadinya bumi tempat yang nyaman untuk bercocok tanam. Udara yang bersih. Lahan yang luas. Ekosistem yang terjaga.Tetapi berlalunya waktu penduduk terus bertambah. Kebutuhan manusia tidak hanya sebatas makanan. Manusia juga butuh barang lain. Karenanya industri berkembang melahap lahan pertanian, mencemarkan udara, merusak lahan akibat intensifikasi pertanian dan meningkatkan jumlah penduduk. Kalau tidak ada solusi sains mengatasi ledakan penduduk yang butuh makan, tentu akan buruk bagi masa depan bumi. 


Makanya berkembanglah biotechnology yang merekayasa gen untuk tumbuhan dan hewan. Dengan sains, lahan yang menyempit bisa diatasi sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian berlipat. Dengan rekayasa ge, hewan ternak bisa menghasilkan daging yang lebih banyak. 


Nah yang lebih dulu sadar akan masa depan bumi adalah negara barat dan AS juga. Maklum mereka lead dalam hal sains sejak awal abad 20.  Ada empat pemain yang mengusai riset biotechnologi, yaitu Corteva, Syngenta, BASF dan Bayer. Praktis raja sains bidang pertanian adalah mereka. Dan mereka lah yang lead kemajuan pertanian  di dunia. Keberadaan mereka sudah seperti diktator semacam Microsoft. Mereka ciptakan benih, mereka juga ciptakan hama. Akhirnya memeras petani untuk membeli pestisida produksi mereka. Ini sudah berlangsung sekian dekade.


China tidak mau terus jadi korban pemain empat lembaga riset tersebut. Tahun 2017, BUMN China, ChemChina mengakuisisi Syngenta yang berbasis di Swiss senilai USD 43 miliar atau Rp, 637 triliun. Nilai akuisisi lebih besar dari anggaran bangun IKN kita. Mengapa China berani akuisisi Syngenta? karena Syngenta memiliki tim penelitian bioteknologi CRISPR. Dengan menguasai salah satu dari empat pemain dunia dibidang riset pertanian, China bisa membuat design baru pengembangan pertaniannya yang bertumpu kepada kolaborasi antara pemerintah, akademisi, industri dan investor.


Kini China walau impor pangan dari Afrika, Rusia, AS dan Italia, Australia, Canada, Amerika latin, Vietnam, Indonesia, itu semua adalah investasi China yang didukung kekuatan besar di bidang riset bioteknologi dan ekosistem financial.  China tidak lagi tergantung impor pangan kepada 5 trader pangan dunia. Karena investment holding mereka juara di pusat pertanian dunia. Total lahan yang dikuasai China di luar negeri kini mencapai 16 juta hektar dengan output 8 kali dibandingkan pertanian konvesional.


Yang saya sedihkan. Sejak era Soeharto sampai kini tidak ada visi pemimpin yang lebih modern mengelola negara. Masih berpikir tradisional namun gayanya gemoy dan modern. Gaya doang dibanyakin. Sampai untuk mencukupi program makan siang gratis, Indonesia harus impor 1,5 juta ton sapi. Dan Jokowi diakhir kekuasaannya impor 3 juta ton beras. Miris..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.