Selasa, 05 Desember 2023

Politik dinasti ?

 




PSI meng claim partai anak muda. Sebagai orang tua, saya sedih melihat sikap PSI yang tidak paham sejarah. Bagaimana  masa depan bangsa ini kalau ditangan anak muda yang miskin literasi sejarah. Terutama sejarah berdirinya republik ini.  Karena Republik ini tidak ada dengan begitu saja. Tetapi telah melewati proses yang rumit dan bau amis darah. Sehingga kita bisa menikmati kemerdekaan di dalam rumah besar NKRI. 


Mari kita melompat ke era 1945. Proklamasi di-ikrarkan oleh, Soekarno dan Hatta. Upacara dilaksanakan dengan sederhana tanpa adanya protokol, bahkan tiang bendera hanya ditancapkan di tanah. Naskah asli dan naskah ketikan Naskah asli merupakan hasil tulisan tangan Sukarno tanpa adanya tanda tangan, sedangkan, naskah proklamasi yang sudah ditandatangani adalah hasil ketikan Sayuti Melik. Fakta lain mengatakan, naskah asli ditemukan oleh seorang wartawan BM Diah di tempat sampah.


Artinya proses awalnya Proklamasi itu, Mereka sendiri tidak yakin secarik kertas itu melegitimasi sebuah republik berdiri. Mereka paham sekali. Karena mereka terpelajar dan paham hukum, sahnya berdirinya negara.  Apalagi saat itu eksistensi kerajaan / kesultanan di nusantara ini masih diakui secara international. Jatuhnya Jepang dalam perang dunia kedua, tidak otomatis berubah jadi republik tanpa proses hukum pengakuan dari kesultanan yang ada. Disamping itu Soekarno- Hatta tidak punya sumber daya uang menjalankan pemerintahan.


Nah dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator yakni dengan Soekarno dan Moh. Hatta. Tanggal 2 september Jepang secara resmi menyerah kepada sekutu di kapal USS Missouri. Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Tanggal 5 September 1945, Sultan bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Kemudian setelah itu diikuti oleh Kesultanan Aceh mengakui republik Indonesia.


Artinya eksistensi republik Indonesia ini awalnya adalah revolusi kesultanan Yogya, Solo dan Aceh. Dari kesultanan berubah menjadi republik ini. Tanpa itu, Soekarno -Hatta tidak pernah ada ruang  dan legitimasi untuk berunding dengan Belanda dan selanjutnya dengan PBB. Sultan Yogya dan Aceh juga bukan hanya sekedar mengakui republik ini tetapi juga menyumbangkan dana untuk biayai pemerintahan republik usia balita itu.


Nah bayangkan andaikan saat itu ACeh dan Yogya tidak bersedia bergabung dengan NKRI, itu Soekarno-Hatta dan lain lain hanya jadi bonek tanpa ada legitiasi bicara atas nama republik. Dan bisa jadi sampai sekarang kita hanya tahu kesultanan Aceh yang berdaulat di indonesia timur dan Yogya yang berkuasa di Jawa ( tidak termasuk Jawa Barat)  dan Madura. Tapi para keluarga raja itu memilih menyerahkan wilayahnya kepada Republik Indonesia,  yang kemudian diikuti oleh raja raja yang ada di nusantara ini. Padahal setelah Jepang jatuh, mereka punya pilihan untuk melanjutkan kerajaannya. 


Jadi paham ya nak, mengapa negeri ini memberikan hak istimewa kepada Aceh dan Yogya…Banyak baca ya sayang. Agar kalian punya rasa malu dan tahu diri di hadapan sejarah. Jangan sombong,  karena pengorbanan kalian belum secuil dibandingkan dengan mereka yang telah berkorban  agar republik ini eksis.


Politik dinasti ?

Ada dosen PTN dan juga caleg PSI. Dia mempertanyakan sikap BEM UGM yang menentang politik Dinasti, sementara mereka tidak menentang keberadaan sultan Yogya yang jadi gubernur turun temurun. Profesor itu minta agar mahasiswa menggunakan akal. Artinya pahami jalan pikirannya secara logika. Tetapi sebenarnya dia tidak memahami dialektika politik dinasti itu sendiri. Benar benar kurang literasi dia soal Politik dinasti. Mungkin karena malas baca buku.


Politik dinasti itu bukan tentang sistem monarki. Istilah politik dinasti itu ada pada sistem demokrasi. Sederhananya begini saya analogikan apa yang dimaksud politi dinasti. Bahwa demokrasi berjalan berdasarkan konstitusi atas dasar UU dan konvensi atau atas dasar etika moral. Ini harus dipatuhi agar demokrasi bisa berjalan sesuai dengan value demokrasi yaitu Kebebasan, Kesetaraan, Keadilan.


Dengan prinsip bahwa peluang terpilih bagi semua. Artinya bisa saja anak gubernur atau anak presiden atau anak pedagang sempak, jadi caleg atau calon wlikota atau calon bupati atau cawapres sepanjang dia melewati proses sesuai aturan yang berlaku. Engga ada masalah. Artinya yang jadi panglima adalah konstitusi bukan politik kekuasaan. Anda bisa baca buku Dynasties and Democracy oleh Daniel m Smith. Masih banyak lagi buku membahas politik dinasti.


Misal, Jokowi memberikan akses kepada Putranya GIbran sebagai cawapres untuk mengikuti kontestasi Pemilu. Gibran tahu bahwa usianya tidak cukup untuk jadi cawapres. Nah karena ayahnya presiden, tangan kekuasaan bekerja efektif mempengaruhi keputusan MK, sehingga aturan itu diubah agar Gibran bisa lolos. Memang tidak ada bukti vulgar keterlibatan Jokowi. Tetapi tidak perlu sekolah tinggi untuk tahu. Cukup gunakan logika sederhana, Aturan dibuat saat menjelang Pilpres. Dan pasti bukan ditujukan kepada putra Dulah penjaga pintu kereta.


Kaesang tidak pernah jadi kader Partai, tetapi dalam sekejap jadi kader dan langsung jadi ketua UMUM, Sama halnya Gibran tidak pernah jadi kader partai Golkar sebelumnya tetapi menjelang pendaftaran ke KPU dia mendadak jadi kader Golkar dan jadi cawapres dari Golkar. Ini sudah melanggar etika moral Demokrasi. Itulah buruknya politik dinasti. Merusak sistem kompetisi antar kader partai.


Nah kalau value demokrasi tidak dijaga maka itu sama saja dengan Republik rasa kerajaan. Tetapi itu hanya “rasa” bukan real monarchi. BIsa jadi Republik rasa kerajaan lebih buruk dari monarchi itu sendiri. Karena sistem monarchi masih patuh kepada konstitusi. Cobalah lihat monarki konstitusional di Brunei, Arab, inggris, Malaysia, walau kekuasaan raja absolut namun itu ditujukan untuk keadilan bagi semua. Itu menjadi standar value dari sistem monarki modern. Sama halnya tidak ada rakyat Yogya yang keberatan dengan status Daerah istimewa. Dan lagi aturan DIY itu lahir dari proses politk demokrasi di DPR dan selama ini tidak permah Sultan melanggar UU itu. Itu artinya DIY telah berjalan sesuai dengan konstitusi. Jadi esensinya mau sistem demokrasi atau monarky, tidak ada masalah selagi patuh kepada Konstitusi. Legacy Jokowi adalah melahirkan anak haram demokrasi..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.