Selasa, 29 Agustus 2023

Polusi udara Jakarta mengkawatirkan...

 




Polusi Jakarta sudah sangat mengkawatirkan dan mendesak segera dicarikan solusinya. Bahkan ada wacana idiot lewat work from home/WFH) untuk mengurangi polusi udara di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Tidak usah ditanggapi serius. Mereka berbicara tidak atas nama kepentingan rakyat banyak tapi atas nama kepentingan pengusaha dan cuan. Ada banyak faktor penyebab polusi udara Jakarta, seperti asap kendaraan, karhutla atau kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terutama di Kalimantan, efek fenomena iklim yang membuat hujan makin hilang, El Nino. Saya lebih percaya data dari Walhi dan Greenpeace, bahwa penyebab utama adalah PLTU batubara.


Data Walhi bersama Greenpeace pada 2017 memetakan bahwa ada 10 PLTU berbahan bakar batu bara di Banten yang menyumbang polusi di Jakarta. Sebanyak 10 PLTU itu adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW. Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.


Lebih parah, pada tahun 2020 lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat bahwa Jakarta juga dikelilingi 118 fasilitas industri yang turut berkontribusi terhadap pencemaran udara di Jakarta. Jadi kalau ada yang berbicara tentang data penyumbang polusi udara Jakarta adalah asap kendaraan fuel BBM. Itu dia sedang jualan idea agar pemerintah segera gelontorkan dana subsidi kendaraan listrik.  Pada waktu bersamaan melindungi bisnis pembangkit listrik dari batubara. 


Batubara itu memang sangat polutan dan berbahaya untuk kesehatan jangka panjang. Ia merupakan sumber utama polusi udara beracun termasuk SO 2 , NOx, partikel ≤10 μm (PM 10 ), dan partikel ≤2.5 (PM 2.5 ) dapat berdampak buruk terhadap kesehatan penduduk di komunitas sekitar [ 1 , 2 ]. Selain polutan yang dikeluarkan dari tumpukan pembangkit listrik, masyarakat juga mungkin terpapar abu batubara, yang merupakan produk limbah yang dihasilkan selama pembakaran batubara. Abu batubara terdiri dari abu terbang, abu dasar, terak boiler, dan bahan desulfurisasi gas buang [ 3 ] yang mengandung beberapa komponen neurotoksik, termasuk logam berat (loid), dioksin, dan PAH [ 4 , 5 , 67 , 8 ]. 


Fly ash yang merupakan komponen yang dihasilkan dalam jumlah terbesar terdiri dari partikel berbentuk bola dengan diameter berkisar antara 0,1 µm hingga >100 µm. Fly ash terdiri dari silikon, besi, aluminium, dan oksigen, tetapi mungkin juga mengandung logam neurotoksik (loid) seperti arsenik, merkuri, dan timbal pada tingkat yang sangat sedikit [9 , 10 ]. Partikel kecil dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan tempat penyimpanannya dapat mencapai otak secara tidak langsung melalui paru-paru dan aliran darah atau langsung melalui bulbus olfaktorius [ 25 ] menyebabkan gejala neurobehavioral [ 26 ]. Jadi memang bahaya.


Bahaya pembangkit listri tenaga batubara terhadap kesehatan itu sudah disadari pemerintah, dan bahkan sangat sadar bahwa penyumbang terbesar polusi udara berasal dari PLTU batubara.   Menurut data Global Energy Monitor, sampai akhir semester I 2023 terdapat 234 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia, dengan total kapasitas 45,35 gigawatt (GW). Dalam upaya mengurangi emisi karbon untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Pemerintah berencana  dalam waktu dekat akan pensiunkan 14 unit PLTU berkapasitas 4,8 giga watt (GW). 

Negara maju tergabung dalam G7 yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang berjanji akan bantu pendanaan  lewat inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar Rp 300 triliun. Kesepakatan tersebut tentu dengan target bahwa Indonesia harus mengurangi sebesar 290 juta ton emisi karbon di sektor kelistrikan dan menerapkan sebesar 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030. Mungkinkah? kalau melihat sebagian pengusaha yang punya konsesi PLTU batubara juga adalah penguasa atau elite politik negeri ini, rasanya engga mungkin bisa tercapai. Mana ada dalam pikiran mereka bersikap adil terhadap sumber daya yang mereka kuasai. Makanya bicara solusi atas polusi udara seperti orang mabok ngomong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.