Untuk dalam negeri kita belanja menggunakan mata uang rupiah. Itu bagus. Berapapun barang yang diproduksi, negara akan selalu siap menyediakan rupiah sebagai alat tukar untuk berkonsumsi barang dan jasa. Dari produksi barang itu, kita juga bisa ekspor ke luar negeri. Dari sana kita dapat valas. Tapi masalahnya produksi itu membutuhkan barang dan jasa juga dari luar negeri, yang harus dibeli dengan valas. Misal pengadaan mesin dan jasa tekhnologi untuk rekayasa produksi, pembelian bahan setengah jadi ( supply chain industry) untuk proses produksi.
Kadang dari proses produksi kita pengusaha berhutang ke luar negeri. Yang tentu harus bayar bunga dan cicilan. Apabila apresiasi kurs rupiah yang tinggi dengan kurs valas dan perbedaan suku bunga yang lebar atau lebih rendah dari luar negeri, pengusaha terpaksa tempatkan dana hasil ekspor itu di luar negeri. Alasannya sebagai cadangan untuk bayar utang valas agar terhindar dari kerugian akibat perbedaan kurs dan bunga. Karena SBN rupiah itu dijual secara global, investor asing yang beli SBN terpaksa menjualnya dan menukarnya dengan valas. Begitu juga saham di bursa efek. Orang asing menjual saham itu dan memindahkannya ke valas.
Nah semua proses tersebut diatas tercatat dalan akun pembayaran atau Balance of payment atau disingkat BoP. Perpindahan rupiah ke Valas dan sebaliknya akibat adanya perdagangan dan jasa, investasi dari dalam dan luar negeri. Kalau debit kredit itu berlebih maka disebut surplus.Tapi kalau kurang ya disebut dengan defisit. Siapa yang tanggung jawab menutupi defisit itu? ya negara. Mengapa ? kan negara yang cetak uang rupiah, tentu negara juga yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan BoP atau debit kredit rupiah/valas. Kalau defisit, ya negara gunakan cadangan devisa untuk nutupinya. Kalau cadev tidak cukup ya negara terpaksa utang valas. Semakin lebar defisit semakin cepat menggerus cadangan devisa dan semakin melemah kurs rupiah terhadap valas.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit investasi lainnya menembus US$ 15,06 miliar atau Rp 229,14 triliun. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi setidaknya sejak 2004 atau 19 tahun terakhir. (Defisit investasi lainnya) terutama disumbang oleh sektor swasta, sejalan dengan lebih besarnya net penempatan investasi di sisi aset.
Data BI mencatat jumlah net aset milik warga dan perusahaan Indonesia di luar negeri mencapai US$ 13,78 miliar atau sekitar Rp 209, 71 triliun. Aset terbesar di antaranya uang dan simpanan di mana net defisitnya mencapai US$ 1,95 miliar atau Rp 29,7 triliun. Net aset pinjaman mencapai US$ 4,16 miliar, net piutang dagang dan uang muka sebesar US$ 4,1 miliar dan aset lainnya yang tercatat US$ 3,6 miliar. Defisit transaksi lainnya menunjukkan penurunan cukup signifikan pada kuartal IV-2022 menjadi US$ 777 juta pada kuartal IV-2022 dari US$ 5,17 miliar pada kuartal sebelumnya.
***
Apa penyebab terjadinya ketidak seimbangan neraca pembayaran?
1. Faktor Ekonomi.
(i) Inflasi: Umumnya, harga dan struktur biaya mempengaruhi volume ekspor dan posisi BoP. Inflasi berarti kenaikan harga barang dan jasa yang terus-menerus selama periode waktu tertentu. Ini meningkatkan biaya hidup. Misalnya, di tahun 90-an, harga tiket bus sekitar Rp 100, tetapi sekarang harga rata-ratanya adalah Rp 5000. Sehingga menunjukkan kenaikan harga yang berkelanjutan. Dalam konteks BoP, kenaikan harga itu karena gaji /upah yang lebih tinggi, dan harga bahan baku produksi yang lebih tinggi, yang membuat ekspor mahal dan impor lebih murah; akhirnya mengakibatkan defisit BoP .
(ii) Siklus Dagang: Ada empat fase dalam siklus bisnis/perdagangan, yaitu Boom, Resesi, Depresi, dan Pemulihan. Boom and Recovery membawa perubahan positif dalam perekonomian; dalam hal peningkatan tingkat investasi, pendapatan, dan produksi. Namun, resesi dan depresi membawa perubahan negatif bagi organisasi dalam hal penurunan tingkat investasi, pendapatan, dan produksi. Dalam konteks BoP; dalam kasus resesi atau depresi, produksi dalam batas mungkin tidak dapat memenuhi permintaan di pasar domestik, yang pada akhirnya menyebabkan Defisit BoP , karena impor yang lebih tinggi. Di sisi lain, jika terjadi booming atau pemulihan, ada permintaan barang di pasar luar negeri, yang meningkatkan ekspor dan pada akhirnya menyebabkan BoP Surplus.
(iii) Kegiatan Pembangunan: Biasanya, negara berkembang, seperti Indonesia bergantung pada negara maju, seperti AS dan Eropa, China untuk impor barang dan jasa tertentu. Hal ini menyebabkan peningkatan tingkat impor, yang mengakibatkan defisit neraca BoP negara-negara berkembang. Jika impor turun maka defisit dapat berkurang.
(iv) Perubahan Struktur Biaya Mitra Usaha: Biaya produksi memainkan peran penting dalam memutuskan apakah suatu negara akan mengekspor barang dan jasanya atau tidak. Perusahaan dapat mengurangi biayanya dengan bantuan teknologi terbaru yang tersedia di pasar. Karena teknologi terkini, biaya produksi turun, dan kemudian harga barang dan jasa turun, yang menyebabkan kenaikan ekspor, yang menghasilkan Surplus BoP . Di sisi lain, biaya produksi dalam negeri naik, dan harga barang dan jasa naik, yang menyebabkan kenaikan impor yang mengakibatkan Defisit BoP.
(v) Ketersediaan Barang Substitusi Impor. Substitusi impor adalah pemblokiran barang impor di dalam negeri sehingga terjadi peningkatan barang produksi dalam negeri dalam perekonomian. Jika negara dapat mengembangkan substitusi, maka akan terjadi Surplus BoP akibat impor lessor. Namun jika negara tersebut dapat mensubstitusi impornya maka akan terjadi Defisit BoP.
2. Faktor Politik
(i) Kebijakan Pemerintah: Kebijakan adalah rencana tindakan yang dipilih oleh pemerintah. Tujuan utama pembuatan kebijakan adalah memberikan arahan tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan dan alasan mengapa hal itu dilakukan. Jika pemerintah membuat kebijakan yang mendukung impor, maka ada Defisit BoP. Tetapi jika pemerintah membuat kebijakan yang mendukung ekspor berbasis industri maka akan terjadi Surplus BoP.
(ii) Ketidakstabilan Politik: Ini adalah situasi di mana ada ketidakseimbangan dalam struktur pemerintahan. Ada kemungkinan runtuhnya pemerintahan dalam waktu singkat. Ketidakstabilan ini dapat menyebabkan peningkatan pembayaran, dan ini akan mengurangi penerimaan modal, sehingga akan memicu Defisit BoP . Namun, jika ekonomi stabil, maka penerimaan lebih dari pembayaran menyebabkan BoP Surplus.
3. Faktor Sosial
(i) Efek Demonstrasi: Sudah menjadi sifat manusia, bahwa seseorang tertarik pada hal-hal yang tidak dimilikinya. Umumnya, manusia mengamati tindakan dan perilaku orang lain dan berusaha menirunya. Dalam ilmu ekonomi, efek demonstrasi berarti kebiasaan individu untuk mengkonsumsi barang-barang yang dikonsumsi orang lain. Jika orang India ingin meniru budaya barat, maka akan terjadi peningkatan impor, yang akan mengakibatkan tingkat BoP yang merugikan bagi negara tersebut. Tetapi jika orang India lebih menyukai barang yang diproduksi di dalam negeri daripada barang asing maka akan ada Surplus BoP.
(ii) Cross-border Bias: Jika terjadi bias, ekspor yang lebih murah dan impor yang mahal, yang akan menyebabkan Defisit BoP. Ini juga berlaku atas investasi aset. Kalau investasi aset di luar negeri lebih tinggi yield nya akan mendorong orang menempatkan aset nya di luar negeri, tentu menukar rupiah mereka ke valas
(iii) Perubahan Selera dan Preferensi, Fashion: Ini berarti kesukaan khusus terhadap satu hal di atas yang lain. Misalnya, beberapa orang mungkin lebih menyukai pakaian branded, sementara yang lain lebih menyukai pakaian tradisional non branded. Jadi, selera dan preferensi tergantung pada individu ke individu. Jika impor minded lebih besar, bisa berdampak kepada defisit BoP. Tapi kalau cinta produk dalam negeri lebih besar, dan eksor berkembang, itu akan berdampak surplus BoP. Kadang pemerintah mempengaruhi lewat kebijakan agar kurs melemah sehingga impor mahal. Ini akan memaksa orang menoleh ke produksi dalam negeri.
Ada beberapa dampak dari defisit BoP terhadap negara: Ketergantungan asing dari tahun ke tahun terus meningkat. Pembangunan sektor industri terus melambat sementara pembangunan pembiayaan non valas meningkat. Dengan demikian, memaksa pemerintah harus terus berhutang valas untuk menjaga keseimbangan BoP. Walau cadangan devisa besar namun volume belanja devisa juga meningkat. Sehingga tetap saja Cadev rentan terhadap BoP. Defisit BoP dapat dikoreksi melalui promosi ekspor, penurunan inflasi, devaluasi mata uang, dan promosi substitusi impor. Dan bagi negara pemilik SDA besar, ya kebijakan downstream SDA itu menjadi keharusan dilaksanakan secara luas.