Senin, 04 Juli 2022

Demokrasi ala marketing

 



“ Pasar itu bisa di create walau itu produk baru sekalipun. Konsumen cenderung memlih karena faktor emosional. Faktor produk dan branded lebih dominan. Sedikit sekali konsumen memilih karena alasan rasional dan kebutuhan. Kalau anda ke geray super market. Informasi di benak anda sudah ada lebih dulu tentang produk yang anda kenal lewat iklan. Tentu persepsi anda tentang produk itu sudah terbentuk seperti apa kata iklan. Dan lihatlah, packing nya menarik dan mendorong anda untuk memilih. " Itu yang saya ingat waktu kursus marketing tahun 1987.


Dalam ilmu marketing ada istilah AIDA atau attention, interest, desired, action. Bagaimana membuat issue agar orang punya perhatian. Cara Anies dengan cepat menutup Holywings, itu cara smart menarik attention ( perhatian) umat beragama. Bukan hanya umat islam tetapi juga umat kristiani. Kemudian setelah pehatian terbentuk, maka berita itu terus diviralkan oleh media massa dan sosial media.


Lewat comment, news, talk show dll itu semakin viral. Sehingga issue positif yang sengaja di create oleh team Anies sengat mudah melahirkan interest ( minat ) orang terhadap Anies. Selanjutnya adalah upaya panetrasi terhadap issue yang mengaburkan hal negatif terhadap anies. Ini akan berujung kepada desired ( kehendak) untuk memilih Anies. Kalau sudah terbentuk kehendak maka kelak pemilu, dia tidak akan goyah untuk action memilih anies.


Dalam sistem demokrasi proses kemenangan tidak jauh beda dengan konsep marketing ( AIDA). Kita kadang sulit membedakan antara popularitas dengan elektabilitas. Baik saya luruskan dulu definisi nya. Popularitas adalah orang dikenal luas oleh siapapun, karena alasan negatif atau positif. Elektabilitas, orang punya daya tarik untuk dipilih. Apapun alasannya. Jadi antara populer dan elektabilitas tidak selalu seiiring sejalan. Apalagi dengan adanya Sosial media. Asal dia kreatif membuat konten bisa saja mendongkrak popularitas.


" Orang baik dan kompeten belum tentu popular dan orang popular belum tentu juga kompeten dipilih. Kemudian, ditambah lagi kita juga tidak bisa bedakan memilih karena subjectif atau objektif. Kacau kan. " Kata teman.


Pilihan yang ditawarkan  memang mampu membebaskan individu dalam mengambil keputusan. Kita diberi hak politik untuk menentukan pilihan. ”Sayangnya,” sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth, ”Individual liberation does not mean that opportunities ultimately liberate all individuals together”  Memang  setelah pemilu usai, kita terpasung, Tidak bebas. Pemilih dari capres yang kalah dan yang menang saling mengejek. Terus aja begitu,  Padahal persepsi AIDA itu hanya ada pada saat kampanye dan tidak ada korelasinya dengan sistem kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.