Selasa, 18 Januari 2022

Keadilan Sosial?

 






Karl Marx punya philosofi bahwa ketidak adilan itu terjadi karena perbedaan kelas.  Soviet era Lenin dan China era Mao, menerapkan prinsip itu. Maka manifesto Komunis melahirkan kebijakan anti kelas. Sama rata sama rasa. Di Indonesia, manifesto itu diterapkan oleh PKI dengan slogan, ganyang kaum feodal !. Tetapi apa yang terjadi pada Soviet dan China? Soviet akhirnya bangkrut. China, Mao meninggal dalam keadaan  hopeless dengan ambisinya membawa China lompatan jauh ke depan. PKI pun tergusur dalam peta politik Indonesia.


Tahun 2006, Diskusi dengan team China western Development Program,  soal keadilan sosial itu dibahas dengan sangat intens. Tetapi anehnya tidak ada yang memuaskan semua orang.  Bicara tentang kewajiban negara mendelivery tanggung jawab sosial dalam bentuk penyediaan rumah, pakaian, dan pangan kepada rakyat. Ya, konsep keadilan sosial seperti literatur state welfare atau negara kesejahteraan itu akan melemahkan produksi dan menempatkan negara sangat kuat. Eropa sedang menuju sunset karena program state welfare yang sangat mahal ongkosnya. Kaum kapitalis menentang itu. 


Kaum kapitalis menawarkan konsep Humanitarian capitalism. Penguasaan modal untuk kemanusiaan. Dalam konsep spread ownership dan collaboration antara pemodal dan publik. Alasannya, tidak bisa modal dibagikan tanpa effort yang nyata. Pemodal harus dihormati sebagai hukum kausalitas. Tidak ada keadilan sosial tanpa pertumbuhan laba. Tidak ada laba tanpa produktifitas. Untuk menjaga batas antara modal dan kekuasaan, maka perlu ada HAM dan kebebasan individu dalam sistem demokrasi. Tetapi nyatanya konsep keadilan itu justru menimbulkan krisis moneter dan ekonomi berkali kali. Rasio GINI meningkat.


Diskusi terus bergulir. “ Konsep perencanaan pembangun untuk mensejahterakan petani tidak bisa diteruskan selagi definisi keadilan sosial ini tidak sama persepsi diantara kita” Kata saya kepada peserta diskusi.


“ Lantas apa keadilan sosial itu? Pemahaman ini penting. Kita harus paham. “ Kata teman di CWDP. Karena Buku Karl Mark, tentang pamflet , Manifesto Komunis, dan karya tiga volume Das Kapital. tidak diperhatikan orang banyak ketika dia hidup. Tidak dibahas untuk dapatkan klarifikasi dari dia.  Baru jadi hebat setelah dia meniggal. Kita mau bertanya gimana? Tidak ada refferensi pandapat ahii yang pernah diskusi langsung dengan Mark sewaktu dia masih hidup. Jadi gimana ?


Di Changsa pada musim dingin tahun 2006 saya duduk termenung lama di museum Mao. Saya duduk di dalam kelas, kursi dimana  Mao duduk. Saya tidak melihat kemewahan dalam kehidupan Mao. Tetapi dia memilik kemewahan idealisme yang luar biasa. Bisa menginspirasi ratusan juta rakyat China. Kalau Mao salah, tidak mungkin semua orang China semudah itu dibodohi Mao. Kalau Mao, benar, mengapa dia gagal? 


Dalam salah satu kliping koran dinding. Saya terkejut. Mao menulis tentang semangat kebersamaan dan gotong royong atas senasip sepenanggungan. Mao mengutip nama Ong Soong Le dalam tulisan nya. Belakangan saya tahu dari teman di CHina bahwa nama Ong Soong Le adalah nama lain dari Tan Malaka yang mendidik pemuda china mengenal ajaran Marx ,Komunisme dalam konteks budaya China. Sepertinya Tan Malaka sendiri tidak begitu tertarik dengan Karl Marx tetapi mencoba memahami jalan pikiran Marx berdasarkan pemikiran Friedrich Engels  


Aha, kenapa saya tidak kembali baca buku Madilog Tan Malaka, Saya yakin di dalam buku itu saya akan menemukan jawabab apa definisi keadilan sosial. Saya membaca  buku Tan Malaka waktu SMA. Dan setelah itu berkali kali saya baca. Tetapi ketika membaca orientasi saya tidak jelas. Saya hanya sebatas kagum atas pemikirannya. Ya sama seperti saya membaca AL Quran. Orientasi saya soal keimanan, bukan pengetahuan. Saya harus baca dengan orientasi jelas.  Selama dua hari saya tinggal di hotel membaca buku Madilog. Setelah tamat, saya tercerahkan. 


Di Jakarta, saya mulai baca buku tentang humanitarian capitalisme. State welfare dan lain lain. Saya pergi ke perpustakaan. Memahami pemikiran NU, karena tokoh sentral dan perekat antara golongan  agama dan nasionalis adalah NU. Tentu ada dasar pemikiran mereka setuju terhadap keadilan sosial dalam pancasila. Ternyata pemikiran NU itu dirumuskan dalam Aswaja.  Aswaja bukan suatu madzhab, tetapi manhaj al-fikr atau cara berpikir, yakni suatu cara berpikir meletakkan aspek tawasuth, tasamuh, sebagai suatu bentuk kompromi antara idealita dengan kondisi empiris.


Akhirnya saya tulis paper sederhana untuk diserahkan kepada team CWDP. 


Saya telah membaca semua buku Karl Mark, Friedrich Engels, dan  buku yang membahas standar pemikiran dari state welfare, humanitarian capitalism. Tidak ada yang salah, Semua benar. Hanya mungkin dalam taraf implementasinya terjadi distorsi pemikiran, kadang tercampur adukan antara kapitalis, dan sosialis oleh sikap pragmatis sesuai dengan pengaruh budaya dan lingkungan yang berubah. Karena itu antar pemikiran saling berlawanan dan semua orang merasa diperlakukan tidak adil. Semua dengan sudut pandang berbeda, apalagi kalau sudah menyangkut rasa keadilan.


A Sarjana. Secara hukum normatif dia pantas mendapatkan strata sosial lebih tinggi dari B yang tidak Sarjana. Itu terbukti kalau buka lowongan kerja atau profesi atau calon menantu,  A langsung qualified dibandingkan dengan B. Secara tidak langsung hukum sosial normatif telah menvonis B tidak berhak mendapatkan keadilan atas perlakuan istimewa karena status sosialnya. Ketidak adilan bagi B, adalah keadilan bagi A. Itu ada pada budaya dan segala macam pemikiran.


A tokoh agama, atau B orang kaya, hukum normatif menempatkan A dan B mendapatkan perlakuan keistimewaan dibandingkan C penjaga pintu kereta dan D dagang sempak di kaki lima. Dalam keadilan feodalisme hal tersebut biasa saja.  Orang kaya dapat fasilitas atas sumber daya negara. Mereka semakin kaya. Sementara D, boro boro dapat fasilitas, malah disebut usaha informal. Dan itu realita masih kita rasakan dan alami dalam kehidupan sehari hari kita. Lihat aja tokoh, dapat tempat duduk di depan. Orang kaya duduk di kursi first class dan tinggal di real estate.


Bahwa konsep keadilan sosial itu dibuat ketika masuk abad 19, dimana semua orang bosan terhadap kolonialisme yang bertaut erat dengan feodalisme. Itu harus dipahami lebih dulu.  Bapak bangsa ingin menghapus kolonialisme dalam bentuk phisik maupun pemikiran. Ingin menghapus feodalisme dalam bentuk apapun. Mereka ingin mendirikan negara dalam kotenks satu bangsa dengan satu tujuan keadilan sosial. Apa itu keadilan sosial?


Sepanjang yang saya pahami, Keadilan itu banyak dimensi, Tergantung konteksnya. Misal keadilan dalam state welfare tentu berbeda dengan konsep state capitalism.  Namun Keadilan sangat berbeda dengan konsep adil kalau digabungkan dengan " sosial". Keadilan sosial tidak terkait dengan keadilan hukum negara. Keadilan sosial itu bukan  adil menurut anda tetapi orang lain. Keadilan sosial bukan mindset mengutamakan hak, tetapi kewajiban


So, keadilan sosial adalah keadilan proporsional. Ukuran proporsional itu bukan dari segi budaya dan hukum atau agama, tetapi manfaatnya bagi orang banyak. Semakin besar manfaat anda bagi orang lain, semakin tinggi keadilan sosial bagi anda. Semakin rendah manfaat anda bagi orang lain semakin rendah keadilan sosial bagi anda. Asas manfaat itu yang disebut dengan nilai sosial.  Jadi yang utama adalah kewajiban, baru kemudian hak.  Atau kewajiban jalankan lebih dulu maka hak akan datang secara proporsional. Itu tidak ditujukan kepada negara saja tetapi kepada semua orang, semua golongan, semua agama, semua adat. 


Dengan pengertian tentang keadilan sosial itu maka konsep kerja dan produksi serta  berbagi harus diutamakan bagi semua orang. Tertanam pada diri setiap orang, Mereka harus percaya bahwa keadilan sosial akan mereka dapatkan ketika mereka bisa mendelivery kewajibannya. Soal rasa keadilan tergantung effort dan kompetensi mereka sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, setiap orang sadar dimana posisinya, tanpa merasa diperlakukan tidak adil karena status sosial, RAS. Keadilan sosial bukan pemikiran politik tetapi human being. That was all.


Ternyata pengertian saya tentang “ keadilan sosial “ itu diterima oleh Profesor Wang sebagai pembina kami.” Darimana kamu tahu pemikiran ini? Tanyanya waktu bertemu saya di Beijing. Saya senyum saja. Saya terbayang bapak bangsa saya yang melahirkan falsafah Pancasila. 


Setelah itu saya tahu, tahun 2008 reformasi  sistem pertanian dilakukan china secara meluas dan mendasar. Revitalisasi desa dilakukan secara besar besaran. Proses produksi dan distribusi barang dan modal diperbaiki. Tidak lagi menerapkan negara sebagai lokomotif untuk keadilan sosial, tetapi gotong royong dalam mekanisme kolaborasi, sinergi, spread ownership.  Diatas sistem itu negara hadir sebagai wasit yang adil. Materialisme tergantung pilihan  orang perorang, Tidak ada kecemburuan sosial, karena setiap orang tahu diri:  Siapa dia? dan apa yang telah disumbangkan bagi orang lain dan negara. ? 


Tahun 2018 sistem jaminan sosial diterapkan di China. Itupun benar benar gotong royong. Tidak ada uang negara terlibat. Setiap orang dapat jaminan sosial sesuai kemampuannya. Bahkan akumulasi dana jaminan sosial itu dikembalikan ke rakyat dalam bentuk skema pembiayaan usaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.