Dulu di Yunani orang yang dikenai hukuman, budak, pengkhianat, di cap dengan tato pada dada dan punggungnya. Cap itu akan melekat selamanya sebagai stigma. Jadi kalau sudah ada stigma di tubuhnya maka orang itu tidak lagi diperhitungkan dalam politik dan wajib disingkirkan. Dalam sejarah politik di Indonesia, stigma itu selalu hadir. Belanda menyebut orang pribumi dengan stigma : Inlander dan ekstrimis, yang harus dicurigai dan dibenci. Di era Orde lama, era demokrasi terpimpin, orang yang berbeda pendapat dengan Soekarno disebut kontra-revolusioner. Misal, Partai Sosialis dan Masyumi ( Islam) punya stigma kontra-revolusioner, pengkhiatan revolusi. Sementara PKI dan ABRI disebut kaum revolusioner. Atas dasar itu para pemimpin PSI dan Masyumi ditangkapi dan partainya dibubarkan.
Era Soeharto, stigma beralih ke PKI. Stigma PKI sebagai pengkhianat melekat pada setiap orang yang berani bersebarangan dengan Soeharto. Atas dasar itu Soeharto dengan leluasa menangkapi pro demokrasi dan gerakan Islam. Sempat kita menikmati era tanpa stigma. Yaitu era Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Seakan semua dalam satu barisan tanpa tato (stigma).
Era Jokowi sekarang, di era Sosmed, polarisasi politik melahirkan kreatifitas soal stigma. Cebong dan Kampret. Kampret memberikan stigma PKI , kaum SIPILIS (sekularisme, pluralisme, liberalisme) kepada Cebong, yang harus dibenci. Sementara Cebong memberikan stigma kepada Kampret, Islam radikal, Taliban, Wahabi, dan lain sebagainya. Mereka dianggap pengkhianat bangsa dan anti Pancasila yang harus ditangkap dan dipenjarakan sebagai teroris.
Lantas siapa yang menciptkan stigma itu ? ya para pemain Politik lewat influencer. Pada Pemilu mereka sengaja menciptakan polarisasi di tengah masyarakat dan sehingga masing masing golongan menciptakan stigma, sebagai bentuk kebencian yang tidak sudah. Sementara mereka, para elite politik dari kubu Cebong dan Kampret menikmati kemelimpahan fasilitas negara sebagai anggota DPR, Menteri, Gubernur., Bupati, wako, elite partai, Preskom BUMN, yang juga mendapatkan kemanjaan dari para pengusaha rente.
Apa artinya? , para elite politik di negeri ini mendidik orang awam dalam stigma saling menyerang, sehingga mereka ada excuse atas kegagalan mereka memimpin dan mensejahterakan rakyat. Ditengah atmosfir saling stigma itu, selalu ada alasan dan retorika untuk kembali membujuk rakyat agar memilih mereka lagi…
Masalah kita sebagai rakyat bukan diantara kita tetapi mereka yang kita pilih. Itulah sumber masalah. Kritik mereka secara terpelajar agar janji mereka tunai. Kalau diantara kita saling serang, kita jadi pecundang dihadapan mereka para elite. Sementara para elite politik dari kedua kubu duduk bareng minum kopi sambil hisab cigar dan tertawa lepas tanpa tersirat mereka saling membenci seperti para followernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.