Saya tidak sependapat kalau media massa dibatasi memberitakan tentang COVID-19. Kata teman. Saya bisa terima. Alasannya bahwa justru karena dibatasi itu semakin membuktikan hoax tentang COVID itu semakin positif. Saya tidak mau berdebat. Karena yang saya maksud adalah bagaimana informasi tentang COVID-19 itu tidak membentuk persepsi yang menakutkan, yang sehingga orang kehilangan self confidence terhadap potensi dirinya sebagai manusia. Ingat loh, manusia itu makhluk unik yang kekuatan sebenarnya bukan pada raganya tetapi jiwanya. Apa jadinya karena informasi yang belum pasti itu disebarkan sehingga membentuk persepsi ketakutan berlebihan. Jiwanya akan rapuh.
Bukankah berita yang disampaikan itu berdasarkan pendapat ahli dengan referensi yang jelas dibawah kendali WHO. Katanya. Saya tahu justru disitulah letak hoaxnya. Mengapa? COVID-19 itu adalah sesuatu yang baru yang secara sains masih belum ditemukan cara efektif menghindarinya. Semua pendapat ahli itu, masih sebatas opini yang tidak sepenuhnya benar. Terbukti mereka belum ada solusi efektif kecuali memasung kebebasan orang untuk mematuhi prokes. Padahal kita tahu, kebebasan itu esensi manusia. Kalau tidak ada lagi kebebasan maka manusia sudah sama dengan zombie. Makanya saya lebih suka memberikan informasi positip agar orang dalam ketidak-bebasannya masih punya hope. Mengapa? hidup tanpa hope itu buruk.
Tetapi saya tak hendak memaksakan tetang apa yang perlu disampaikan dan apa yang tidak perlu. Itu hak demokrasi. Dalam kehidupan modern, hoax terbesar adalah politik dan statistik. Pencipta Hoax justru adalah pemerintah. AS dan sekutu menyerang Irak karena hoax. Hoax juga lahir dari otoritas agama. Perang karena agama itu juga berkat hoax politisasi agama. Mewabahnya Multilevel marketing berbasis ponzy, mata uang kritpto, produk index dan derivative pasar uang juga karena hoax. Dan hebatnya hoax itu selalu bermuara kepada bisnis. Media massa berperan besar menyebarkan hoax itu. Hukum bisnis orang bego dimakan orang pintar.
Hidup di era sekarang. Apalagi di era digital dimana informasi terbang dan bergerak seperti kilat. Benar benar kalau kita tidak hati hati akan mudah sekali jadi korban predator. Apapun dalam hidup ini terbentuk karena persepsi. Salah benar itu karena persepsi. Setiap waktu persepsi kita terhadap sesuatu hal bisa berubah. Perubahan lebih disebabkan oleh informasi yang kita terima. Dari informasi itu otak kita menterjemah sebuah fenomena. Lambat laut fenomena itu jadi konsepsi dan persepsi baru pun terbentuk. Kalau kita tidak smart maka kita akan jadi korban atas persepsi yang di-create orang lain. Kita tidak lagi menjadi kapten atas jiwa kita. Rentan digilas zaman. Camkan itu.
***
Istri saya cerita. Ada keluarga dari istri, istri temannya kena COVID. Hasil test positip. Sebenarnya cukup Isoman. Tetapi suaminya selalu gelisah dengan keadaan istrinya. Dia paranoid akibat berita di sosial media dan media massa. Akhirnya karena sayang sama istrinya, dia paksa istrinya ke Rumah sakit dengan ambulance. Apa yang terjadi ? sampa RS, justru dia sendiri yang tumbang. Istrinya diusuruh pulang. Dia diopname. Lima hari dia meninggal. Istrinya sehat saja.
Ada teman yang tidak percaya COVID. Dia tidak mau divaksin padahal dia ada komorbit Diabetes. Dua minggu lalu dia merasakan gejala COVID-19. Test hasilnya Positif. Tetapi karena sudah terlanjut tidak percaya COVID-19, dia tidak mau ke rumah sakit. Setelah parah barulah dilarikan ke RS. Hanya tiga hari lewat. Meninggal.
Ada teman yang stress berat. Karena semua gejala COVID 19 ada. Dia lakukan test PCR. Hasilnya positif. Padahal dia sudah vaksin. Kesehatannya cepat sekali drop. Berita menakutkan tentang COVID itu menghantui dia terus. Namun saya terus memberikan semangat ke dia untuk sabar dan ikhlas. Apalagi dia tidak ada komorbt. Minta dia tenang dan istirahat di rumah dengan isolasi mandiri. Matikan semua berita TV tentang COVID. Ignore semua berita Covid di sosmed. lima hari sudah sembuh. Sekarang happy.
Apa yang saya ceritakan diatas adalah contoh sederhana. Bahwa baik yang percaya COVID dan yang tidak percaya COVID sama sama jadi korban Hoax. Yang percaya COVID setiap hari selalu mencari berita tentang covid. Setelah divaksin, ada berita vaksin tidak efektif untuk varian baru. Apalagi LBP bilang Varian Delta tidak bisa dikendalikan. Merekapun stress. Stress itu pasti menurunka imun dan membuat dia rentan dihajar virus. Yang tidak percaya, kena COVID karena lalai prokes. Padahal dia ada komorbit. Ketika sakit parah, tidak mau ke RS. Ya mati juga.
***
Rujukan kita itu adalah WHO. Di awal pandemi, WHO menyatakan bahwa virus corona tidak menyebar di udara, namu belakang WHO merilis data bahwa virus corona bisa bertahan di udara atau yang disebut airborne. Karenanya WHO minta agar orang positip atau OTG ( asomtimatik) harus di karantina. Karena bisa menyebarkan virus kepada orang lain. Kita pun dipaksa harus pakai masker. Kawatir kalau ketemu orang OTG bisa menulari kita. Maklum OTG kata Pak Doni kemungkinan 70% di Indonesia. Jadi harus dikarantina. Pak Tirawan yang menolak masker jadi bahan ketawaan. Hoax. Kitapun menyiapkan Tempat Karantina di Wisma Altet dan membayar beberapa hotel yang bisa menjadi tempat karantina.
Tetapi setelah kita semua siapkan dengan ongkos yang tidak kecil, WHO merevisi pernyataanya, bahwa OTG tidak menyebarkan virus. Jikapun terjadi penyebaran, hal ini sangat langka. Penyebaran virus hanya melalui droplet orang yang sudah terinpeksi dengan gejala. Bingungkan. Lantas gimana dengan tempat karantina yang sudah dibangun? dan dibiayai oleh uang negara. Paksa orang pakai masker ? karena logikanya orang sudah bergejala sampai bisa keluarkan dorplet, udah pasti engga bisa jalan, dan engga ketemu orang dech. Setidaknya dia tidur di Rumah atau sudah di RS.
Tetapi orangpun terus aja mencari pembenaran bahwa OTG beresiko menebarkan virus. WHO salah. Bahkan Harvard Global Health Institute membantah pernyataan WHO. Termasuk lembaga riset lainnya. Yang tadinya percaya WHO dianggap sains. Pak Tirawan diketawain. Tetapi ketika belakangan WHO berubah sikap seperti apa kata Pak Tirawan, mereka yang tetap mendukung WHO dianggap hoax. Bingungkan. Media massa terus aja benturkan satu sama lain. Tambah bingung.
Sekarang perhatikan. Setiap pernyataan WHO dan ahli selalu awalnya ilmiah tetapi ujungnya selalu “masih perlu diteliti kepastiannya”. Tapi judul berita sudah duluan menakutkan. Padahal isinya belum terkonfirmasi secara sains. Keadaan berubah ubah ini diakui pemerintah. Pak Mahfud mengakui kebijakan pemerintah dalam menangani Corona di Indonesia selalu berubah-ubah. Dia menyebut kebijakan mengikuti kondisi COVID-19 yang tidak bisa diprediksi. Dokter dan ahli juga menjawab sama. Lantas siapa yang paling benar? ya engga ada.
Jadi kesimpulannya apa yang dimaksud dengan HOAX. Kalau berita terus mengabarkan kematian dengan beragam drama korban, tanpa mau juga menceritakan orang yang sembuh. Maka walau berita itu fakta, tetap saja HOAX kalau nuansanya menyimpulkan VIRUS COVID-19 sangat berbahaya bagi semua orang. Karena terbukti dari 2,88 juta kasus COVID-19, yang meninggal 73.582 (data dua hari lalu). Itu hanya 2,6% saja. Percis sama yang dikatakan Jokowi ketika awal pandemi. Yang aneh, Pemerintah tidak pernah anggap virus hoax ini berbahaya. Proses perang melawan pandemi itu lewat PSBB dan PPKM sangat hebat kekuatan pemerintah. Tetapi jadi useless oleh serangan hoax. Orang tidak patuh prokes PPKM itu karena ketidak jelasan terhadap COVID-19 ini. Tidak ada kepastian. Itu sebabnya di internal pemerintah sendiri tidak ada satu suara. Beda dengan kasus Flu burung era SBY. Semua satu suara.
Selagi pemerintah tidak ketat membatasi berita COVID, selama itu juga sulit kita memenangkan perang melawan COVID. Kita baru selesai, setelah uang negara habis, rakyat jatuh miskin semua, chaos politik terjadi, dan Jokowi jatuh. Mau begitu ? Think about it!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.