Kamis, 03 Juni 2021

Pancasila, Idiologi terbuka


 

Minggu lalu Hakim telah membuat keputusan terhadap Rizieq Shihab. Hal yang dianggap kotroversial bagi publik adalah tidak terbuktinya pasal 160 KUHP kepada MRS. Padahal pasal 160 KUHP ini pasal karet yang bisa membuat orang mudah sekali jadi terpidana. Mengapa? Jaksa bisa bangun dalil ke politik untuk menyalahkan terdakwa. Video pidato Rizieq dijadikan bukti dakwaan itu. Dan ini berkaitan dengan idiologi Pancasila. Tapi Hakim dalam keputusanya menolak dalil itu.


Lantas mengapa terjadi kontroversial di publik ?  Untuk menjawab pertanyaan itu. Saya akan bahas Pancasila dalam konteks idiologi. Pancasila itu adalah falsafah negara. Apa itu falsafah ? Secara etimologi, kata filsafat yang dalam bahasa Arab ‘falsafah’ yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘philosophy’, adalah berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’. Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalamdalamnya. Idiologi lahir dari falsafah. 


Dalam Pancasila falsafah itu sudah dituangkan dengan utuh dalam setiap silanya. Tapi Pancasila sebagai idiologi ? nah itu lain. Mari kita pahami apa itu Idiologi ? Ideologi berasal dari bahasa Greek terdiri dari kata ‘idea’ dan ‘logia’. Idea berasal dari kata ‘idein’ yang berarti melihat atau suatu rencana yang dibentuk/dirumuskan di dalam pemikiran. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Setiap idiologi berbeda, maka berbeda pula definisinya. Namun prinsipnya sama. Bahwa idiologi lahir karena falsafah negara.


Ok lanjut. Lantas apa idiologi kita.? Tidak ada yang spesifik. Pancasila sebagai idiologi ia adalah idiologi terbuka. Apa itu idiologi terbuka? nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakatnya sendiri. Tdak diciptakan oleh Negara, melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat. Artinya orang yang berbeda agama, golongan, suku, boleh saja menterjemahkan Pancasila seperti dia mau.


Jadi, kita tidak bisa membuat kesimpulan kalau orang berbeda persepsinya terhadap Pancasila sebagai Idiologi, kita anggap sebagai anti Pancasila. Kita bukan China yang punya idiologi. Komunisme di China adalah idiologi.  Sebagai idiologi, mereka menerapkan standar sama terhadap komunisme. Tidak boleh ada orang berbeda persepsi. Untuk itu China melakukan pendidikan politik sangat keras. Selama revolusi kebudayaan, setiap orang wajib membawa buku kecil “ Mao”. Mengapa? Kalau ada razia,  yang pertama ditanya oleh petugas adalah kitab Mao itu. Kalau salah satu ajaran Mao tidak hapal, maka orang itu akan diproses hukum terlebih dahulu karena tidak paham idiologi. Setelah itu barulah kesalahan yang lain diproses. 


Dampak lain dari “ pemaksaan paham idiologi”  ini, semua orang China jadi melek baca. Setelah revolusi kebudayaan, China sudah tidak lagi membahas politik. Persepsi rakyat dan elite politik sudah sama dan tidak ada ruang untuk berdebat. Sudah final sebagai platform politik. Di China, polisi yang paling ditakuti adalah Polisi berseragam dengan topi berlambangkan palu arit dan bendera. Topi itu hanya nempel di kepala. Tidak kokoh betul nempelnya. Jadi mudah sekali jatuh. Kalau sampai anda dorong polisi itu, dan karenanya topi Polisi itu jatuh ke tanah. Hukumanya mati. Itu sama saja anda melecehkan lambang negara. Atau kalau sampai polisi mengejar anda dan topinya sampai jatuh, itu hukuman mati. Itu sebabnya di China, kalau orang bersalah di hadapan polisi berseragam, dia cepat sekali jongkok. Tidak lari. 


Begitu tingginya penghormatan terhadap lambang negara Karenanya ia ditempatkan secara terhormat pula. Itu sebabnya di China, polisi beseragam simbol negara itu jarang sekali keliatan di jalanan. Sekali mereka tampil,  itu benar benar membuat orang takut. KPK China kalau tangkap pejabat, selalu didampingi Polisi bersergam lambang negara. Engga penting pangkatnya rendah. Orang segan dengan lambang pada topinya itu.  Orang takut melawan hakim, bukan karena jabatan hakim tetapi karena lambang yang menempel di ruang sidang. 


Anggota parlemen takut bertengkar dan merendahkan ketua sidang, bukan karena mereka takut kepada ketua sidang, tetapi karena pin yang nempel di dada ketua sidang itu adalah lambang negara. Tidak semua anggota parlemen bisa mengenakan pin lambang negara, kecuali elite atau pemimpin nasional. Tidak ada nama elite  dibalik lambang negara kecuali nomor posisinya dalam hirarki kekuasaan.  Orang banyak memanggil pemimpinya dengan sebutan angka. Artinya tidak ada kultus individu, yang ada hanya negara saja.  Itulah China, Itulah makna idiologi. Sangat berbeda dengan kita yang menerapkan idiologi terbuka. Tentu kita tidak punya manifesto politik. Bagi kita hanya Tuhan satu satunya tertinggi dari semua yang tinggi. Selebihnya bebas aja di definisikan.


***

Mari kita lihat landasan konstitusi atas Pancasila. Dalam amandemen UUD 45 tahun 2002, tidak ada pasal yang khusus menyebutkan bahwa idiologi negara adalah Pancasila. Makna Pancasila hanya tersirat pada Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 “Dengan ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”


Perhatikan dengan logika hukum secara sederhana. Kalau membaca pasal II, Mukadimah itu setara dengan pasal pasal yang ada dalam UUD 45. Atau dua hal yang berbeda dan berdiri sendiri sendiri. Padahal kalau prinsip mukadimah ( Pancasila) itu sebagai landasan idiologi maka ia adalah dasar atau ruh untuk lahirnya pasal pasal yang ada.  Terbukti dalam UUD 45, tidak semua pasal yang ada sesuai dengan Pancasila. Lantas idiologi kita itu UUD 45 atau Pancasila? Apa engga kacau Pasal II itu.? Engga percaya?


Mari kita lihat apakah semua pasal pasal dalam UUD 45 itu sesuai dengan ruh yang ada pada mukadimah. Ternyata dari 37 pasal UUD 45, hanya ada empat pasal saja yang sesuai Pancasila. Yaitu pasal 29 yang ada korelasinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 34 yang ada kaitannya dengan sila kedua. Sementara sila ketiga yang berkaitan dengan Pesatuan Indonesia diatur dalam UU Kewarganegaraan, penggunaan hukum nasional dan membela tanah air. Dalam UUD 45 tidak ada. Padahal itu penting sekali. Pasal 2 Ayat 2 yang terkait dengan sila ke empat. Pasal 33 berkaitan dengan keadilan sosial.


DPR mengesahkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) harus sesuai dengan Pancasia. Pertanyaanya adalah  persepsi Pancasila sesuai mukadimah atau UUD 45. ? Para elite yang mengamandemen UUD 45 itu paham. Makanya mereka membentuk MK sebagai wasit konstitusi. Lucunya, MK itu bukan wakil yang dipilih langsung oleh rakyat. Kok ada lembaga super bodi yang mengalahkan DPR yang dipilih rakyat? Ya karena Pancasila itu sebatas falsafah maka penyelesaian perbedaan tidak diserahkan kepada politik tetapi kepada hikim konstitusi yang mumpuni secara pengetahuan menterjemahkan falsafah Pancasila dalam penerapan UU.


***

Untuk memperjelas antara UUD 45 dan Pancasila, mari kita lihat studi kasus konstitusi. Sebetulnya banyak studi kasus soal perbedaan persepsi Pancasila ini. Lihat aja file kasus di MK. Tapi saya akan bahas satu aja.  Mari lanjut…


UU minerba baru ada tahun 2009. Itupun butuh 2 tahun untuk bisa diimplementasikan. Tahun 2011, belum juga bisa diimplementasikan. Karena ada pasal yang membelenggu pemerintah khususnya larangan ekspor. Nah tahun 2011 keluarlah UU 12/2011 yang mewajibkan semua UU sesuai dengan Pancasila.  Tahun 2017 Jokowi keluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017). Itu sebabnya kita bisa membatalkan KK Freeport. Tetapi tidak batalkan begitu saja. Terpaksa lewat skema divestasi. Lucu kan?. Wong kita punya SDA kenapa kita harus bayar. Padahal KK sudah berakhir. 


Mengapa? Freeport ancam akan gugat ke Arbitrase international. Itu pasti kita kalah. Mengapa? Karena landasan Pancasila sebagai idiologi untuk membatalkan lemah. Karena memang tidak ada manifesto Pancasila yang mengikat secara hukum dan UU. Wong bukan idiologi hanya kerangka berpikir saja, yang semua orang bebas terjemahkan. Kacaukan.? Negara sebesar ini tidak punya manifesto idiologi. 


***


Amandemen UUD 45 itu dibuat ketika koalisi Partai Islam menguasai Parlemen. Memang agenda utama dari kelompok islam adalah mengembalikan Pancasila sebagai rumah bagi semua agama dan golongan. Ia dtempatkan hanya sebagai falfasah negara, bukan idiologi. Itu sebabnya RUU HIP ( Haluan Idiologi Pancasila) sebagai bentuk manifesto idiologi Pancasila dibatalkan. Yang menolak semua ormas Islam terutama NU dan Muhammadiyah, termasuk MUI. Dengan itu pemerintah terpaksa membatalkan RUU yang diinisiasi oleh PDIP.


Terbelahnya politik, terciptanya kubu cebong dan Kadrun, kafir dan non kafir, itu karena persepsi tentang implementasi Pancasila berbeda. Itu karana kita tidak punya manifesto idiologi. Makanya rakyat terpolarisasi itu karana ulah elite politik yang yang berharap dapatkan captive suara di pemilu. Tentu tidak akan membuat partai bisa menang mutlak dan sehingga yang terjadi adalah gerombolan orang yang berbagi kekuasaan saja. Rakyat hanya jadi korban dengan keyakinan berbeda dan saling dibenturkan. 



Rakyat memang bodoh dibodohi. Biang kesalahan itu ada pada  ketidak pahaman tentang Pancasila sebagai Idiologi terbuka. Cebong anggap dia paling benar soal Pancasila. Kadrun anggap dia paling benar. Padahal semua tidak ada yang benar.  Para elite satu sama lain tidak satu persepsi kemana negeri ini mau dibawa. Sifatnya sangat pramatis. Itulah demokrasi. Dampak yang luar biasa adalah banyak kebijakan nasional dalam bentuk RUU prosesnya sangat panjang dan melelahkan sampai menjadi UU.


Atas dasar tersebut, seharusnya Ormas besar islam seperti Muhammadiyah dan NU serta elit politik harus mau tampil memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Yang penting jangan karena perbedaan itu kita terpecah. Sukuri saja perbedaan itu. Agar ia menjadi rahmat. Jadi kalau islam punya persepsi Pancasila sesuai syariah islam, ya, itu biasa saja. Kalau ada yang punya persepsi Pancasila itu sosialis, kapitalis, gotong royong atau sekular, itu juga boleh. Karena memang Pancasila itu idiologi terbuka.  Yang penting apapun persepsi idiologinya , falsafahnya tetap Pancasila, tetap  dalam bingkai NKRI.


Semoga dengan pemahaman ini, tidak perlu ada lagi polarisasi politik. Tidak perlu ada lagi istilah cebong dan kadrun. Mari dewasa berpolitik secara terpelajar.  Kalau kita tidak bisa dewasa menyikapi Pancasila sebagai idiologi terbuka, ya terpaksa MPR mengamandemen UUD 45. Mungkinkah? Kalau amandemen itu berkaitan dengan idiologi, suhu politik akan memanas. Tempo hari saja baru sebatas RUU HIP, kita sudah ribut.  Kalau dipaksakan, kita bisa pecah. Tidak mungkin bisa dipersatukan  dalam satu idiologi. Takdir kita hanya bisa bersatu secara falsafah saja.  Mengapa ? karena takdir sebelum republik ini ada , sudah ada peradaban. Itu sudah established,  yang memang beraneka ragam suku dan agama.. Paham ya sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.