Jumat, 16 Oktober 2020

UU Cipta Kerja, menutup peluang korup

 


Semua tahu proyek Meikarta. Proyek kebanggaan Lippo  group, yang membangun block city di Cikarang, Bekasi. Ketika acara  prosesi tutup atap atau toping off dua menara Meikarta , LBP dan termasuk investor China yang jadi mitra Lippo juga hadir. Ratusan ribu konsumen sudah tersaring untuk penjualan unit apartement. Namun apa yang terjadi? Proyek tersandung kasus. Bukan karena investor tidak ada uang. Bukan tidak ada konsumen. Bukan karena utang bank tak terbayar. Bukan karena ngemplang dana APBN. Bukan karena bangkrut. Tetapi karena kasus suap yang dilakukan eksekutif LIPPOP group kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Di samping itu ada 7 orang terkait juga terjerat oleh KPK. Dampaknya tidak sedikit investor dirugikan. Belum lagi konsumen.


Proyek PLTU Riau-1 adalah proyek nasional dalam rangka pemenuhan target listik 30.000 MW. Investor sudah ada. Tinggal bangun saja. Dana pembangunan tidak menggunakan APBN. Tidak menggunakan uang bank dalam negeri. Ini murni proyek B2B. Resiko ada pada investor. Tetapi karena kasus suap kepada Anggota DPR dan Menteri Idrus Marham, proyek itu terpaksa berhenti. Dalam kasus ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan aggota DPR serta menteri Sosial, Indrus Marham. Belakangan Dirut PLN juga kena jerat KPK.


Kasus diatas hanyalah sebagian kecil saja kasus perizinan yang rumit berujung pidana korupsi. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebanyak 300 kepala daerah telah terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005 lalu. 124 di antaranya ditangani KPK, sisanya di tangani kejaksaan. 80% mereka kena jerak pidana karena kasus perizinan. Sehingga praktis dari hari ke hari kita menonton kebobrokan aparat. Lama lama bisa merusak marwah pejebat negara. Dan ujungnya menimbulkan distrust terhadap sistem pemerintahan.


Lantas apa penyebabnya sehingga begitu banyak kasus korupsi di kalangan pejabat daerah dan pusat ? Itu karena perizinan sudah menjadi sumber daya yang langka. Sehingga diperebutkan oleh pengusaha untuk mendapatkannya. Kompetisi tak bisa dielakan.  Main kayu terpaksa dilakukan. Karena itu suap tak bisa dihidari. Hampir semua pengusaha lelah dengan sistem seperti ini. Makanya pengusaha kreatif dan profesional memilih mendirikan bisnis di negara lain. Bukan karena mereka tidak nasionalis tetapi engga mau berurusan dengan suap dan akhirnya jadi pesakitan.


Bahwa dalam sistem demokrasi, kekuatan negara ada pada produktifitas. Nah pengusahalah satu satunya yang bertanggung jawab dan beresiko terhadap rendahnya produktifitas. Kalau mereka dipalaki sejak mendapatkan izin dan berproduksi, saya rasa hanya pengusaha hitam yang mau invest di Indonesia. Pada akhirnya mereka bukan mendatangkan kemakmurah malah, menjadi masalah rendahnya efisiensi nasional. Karena hanya pengusaha rente yang mau hidup dalam sistem yang korup. Hanya masyarakat dan politisi yang low grade yang nyaman dalam sistem yang korup. 


UU Cipta kerja sebenarnya disamping memangkas perizinan juga adalah memperbaiki sistem, sehingga perizinan tidak lagi menjadi sumberdaya yang langka. Siapapun berhak mendapatkan akses perizinan dengan cepat dan murah. Kompetisi sehat terjadi dengan sendirinya. Para pejabat pemerintah tidak bisa lagi menjadikan proses perizinan sebagai cara memperkaya dirinya. Walaupun motif tetap anda namun jalan sudah tertutup. Korupsi terjadi bukan  hanya karena orang jahat tetapi karena adanya peluang. Selagi peluang tetap ada, orang baik berpotensi menjadi jahat. Peluang itu lah yang ditutup oleh Jokowi lewat UU Cipta Kerja. Sehingga by design kita sedang mengarah kepada sistem pemerintahan yang good governance.


Kalau anda menolak UU Cipta Kerja karena alasan memperkaya pengusaha. Membela kapitalis. Jelas itu alasan naif. Karena pengusaha juga adalah rakyat. Mereka bayar pajak sebesar 25% dari laba. Mereka juga membayar retribusi kepada PEMDA. Membayar PBB dan juga menyerap angkatan kerja. Faktanya 85% pendapatan negara itu bersumber dari pajak. 85% pembayar pajak  berasal dari korporat. Nah kalau pengusaha engga boleh untung  secara memuaskan, lantas dari mana mereka bayar pajak? darimana uang untuk bayar retribusi. Kalau buruh yang mereka bayar dikendalikan pihak luar, lantas bagaimana mereka mengelola resiko? Seharusnya dipahami itu secara akal sehat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.