Kamis, 02 April 2020

Hikmah Corona...




Tempat keramaian tidak ada lagi. Orang tinggal di rumah sendiri. Menjauhi yang selama ini digandrungi. Di WG setiap hari hanya ada ketakutan dibagi. Semua panik menghitung angka mati. Penuh paranoid akan virus menyebar. Entah dari siapa yang terinpeksi. Kalau ada yang jatuh dibiarkan terkapar. Karena virus kita kehilangan empati. Kehilangan cinta berbagi. Semua focus melindungi diri. Inilah yang terjadi pada setiap negeri. Betapa nyawa begitu barharganya. Betapa berjarak diperlukannya. Agar setiap orang saling mengkarantina. Agar virus tidak menyebar menjadi bencana.

Cebong dan kampret saling berseteru. Yang satu tak ingin lockdown berlaku. Yang lainnya lagi ingin lockdown. Karena tak ingin ekonomi shutdown. Ada Gubenur setiap hari tampil di media. Punya APBD terbesar di Indonesia. Agar semua orang tahu betapa dia sangat peduli. Tetapi masker rakyatnya harus beli. Paramedis berada di fontline dalam perang corona. Mereka rentan jadi korban sia sia. Karena APD terlambat dibagikan. Namun mereka tetap ada berjibaku siang malam tak terkalahkan.

Di tengah wabah C-19, badai krisis melanda. Hari hari semakin kehilangan daya. Karena orang diharuskan tinggal di Rumah. Daya beli melemah. Rakyat kecil lebih dulu terkena krisis. Untunglah Jokowi hadir dengan paket stimulus. Memberikan bantuan jaring pengaman. Menjaga ekonomi tetap terselamatkan. Pandemi C-19 harus dilawan. Tetapi ekonomi tetap harus dijalankan. Engga bisa semua dikorbankan. Jangan hanya karena pandemi C-19 kita abai ancaman wabah kelaparan.

Indonesia adalah sebuah ide besar. Dalam narasi besar. Dalam sebuah rumah besar. Bahwa kita terlalu besar untuk bubar. Apalagi hanya karena virus yang menyebar. Kekuatan bangsa punya daya lenting hebat. Untuk bangkit secara cepat. Hanya masalah waktu C-19 akan tersingkirkan. Apapun ongkosnya tak bisa dielakan. Yang kaya membantu yang miskin. Negara peduli pada simiskin. Semua dana stimulus untuk rakyat bawah. Yang kuat membantu yang lemah. Dari Pandemi C-19, kita mendapatkan hikmah. Sudah saatnya ekonomi berpihak kepada yang lemah. Sudah saatnya kita perkuat persatuan dan hilangkan kecurigaan. Tentunya saling melindungi dan berbagi karena Tuhan.

Corona menjebol paradigma modern
Katanya orang modern itu diukur dengan sejauh mana dia menjaga kesehatan dan hidup bersih. Sementara orang kampungan itu, yang tidak peduli dengan hidup bersih. Dari sana class terbetuk. Orang modern adalah class ekslusif. Semua tempat keramaian dan trasportasi umum menerapkan class orang modern dan orang kelas ekonomi. Obatpun ada kelasnya. Kelas paten dan kelas generik. Sampai rekening bank pun ada kelasnya. Kelas prima dan kelas silver. Singkatnya peradaban modern mengaktualkan kebebasan, melahirkan kelas secara terstruktur.

Corona datang. Masyarakat modern seperti Eropa, AS, Jepang yang dikenal sangat peduli kesehatan dan dengan jaminan perawatan kesehatan super jumbo di APBN, ternyata rentan dengan virus super kecil. Orang China yang mulai masuk ke masyarakat modern awal tahun 2002, dengan lahirnya kelas menengah, tak bisa mengelak dari corona. Orang miskin seperti di India, dan lainnya juga kena. Arab tempat dua kota suci juga kena. Italia bertetangga dengan Vatikan, juga kena. Para eksekutif kelas menengah dari pengusaha, profesional, menteri sekalipun tak aman dari corona. Para dokter yang sangat paham arti kesehatan juga kena Corona. Yang kaya atau yang miskin di hadapan corona sama. Yang mengaku soleh dan yang kafir sama di hadapan Corona. Meleng, kena. Para kapitalis, agamais, sosialis sama sama pengecut di hadapan Corona. Semua mereka takut mati, takut terkena corona. Semua karena corona paradigma lama hancur begitu saja. Jadi omong kosong, cap ayam merak.

Apa artinya? Kelas itu omong kosong. Kubah masjid yang senantiasi berteriak Tuhan Maha besar dengan jargon lebih baik akhirat daripada dunia, itu juga omong kosong. Gereja mentereng dan menara kelenteng yang megah, itu omong kosong. Para sosialis yang melahirkan paham feodal dengan jargon kerpihakan, juga omong kosong. Para kapitalis yang menjadikan uang sebagai the second God in the world , juga omong kosong. Semua omong kosong. Seakan Tuhan berkata kepada kita semua.” Di hadapanKu, semua kalian sama. Tidak ada perbedaan. Yang menciptakan perbedaan itu adalah kalian sendiri. Lantas apa yang kalian dapat karena perbedaan itu ? tak lain semakin mengabaikan Aku sebagai yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Perbedaan itu melahirkan kesombongan, dan kalian tidak berhak sombong. Karena kalian hanya makhluk yang tercipta dari tanah lempung dan berbiak lewat proses dari lendir yang hina..

Setelah corona ini, janganlah terlalu baper seakan kekayaan dunia bisa membuat aman. Janganlah pula baper seakan kesolehan diri berhak dapat kavling sorga dan berhak memimpin dunia. Janganlah baper bahwa kekuasaan adalah segala galanya. Jangan ya. Mengapa? Agar perbedaan bisa kita dobrak untuk lahirnya perdamaian dan cinta bagi semua. Akankah kita bisa menarik pelajaran dari adanya wabah corona ini? Paham kan sayang..

Harga virus Corona
Di AS korban meninggal karena virus Corona mencapai ribuan. Tetapi karena itu pemerintah AS keluarkan dana stimulus sebesar Rp. 32.000 triliun atau USD 2 triliun. Darimana duitnya itu? AS terbitkan Bond, yang beli the Fed. Secara tidak langsung, AS menambah uang beredar. Andaikan di AS itu jumlah korban Corona katakanlah sebesar 10.000 orang. Maka harga virus Corona itu sebesar Rp. 3,2 Triliun per orang. 

Bukan hanya AS , tetapi semua negara di dunia ramai ramai melakukan hal yang sama. Skemanya sama dengan AS. Pemerintah keluarkan bond, yang beli Bank central sendiri.  China keluarkan stimulus USD 370 miliar dollar. Itu sama dengan dua kali APBN kita. India juga keluarkan stimulus sebesar USD 120 miliar dollar. Jepang sebesar US$47 miliar. Korsel, Malaysia, Thailand dan lainnya, apalagi Eropa engga ketinggalan terbitkan bond super jumbo. Indonesia keluarkan dana stimulus sebesar Rp. 405 triliun atau USD 30 miliar.  Bandingkan dengan angka korban dan yang positip C-19. Pasti akan mengerutkan kening. Rasional kah?

Ada orang awam yang tidak pernah paham. Mengapa C19 begitu menakutkan? jawabnya ya karena ia sering dibicarakan. Siapa yang memicunya? ya media massa. Tujuannya apa ? secara global menciptakan kepanikan yang pada akhirnya memberikan alasan pemerintah meningkatkan uang beredar. Agar semakin tinggi ketergantungan publik terhadap negara, bukan lagi kepada swasta. Sehingga dengan begitu, negara bisa lead mendistribusikan keadilan dalam bentuk market regulated.

Mengapa

Sejak adanya paham neoliberal, memang yang mengkawatirkan adalah semakin tingginya ketergantungan rakyat dan negara kepada corporate. Ini jelas tidak sehat. Karena menciptakan rasio GINI yang terus melebar. Wabah kelaparan akibat kapitalisme, menurut WHO, setiap detik 4 orang meninggal. Tetapi selama ini tidak pernah dibicarakan dan tidak menimbulkan kepanikan apapun. Orang digiring untuk mengakui bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Tapi untuk corona, narasi Tuhan tidak berlaku.

Kebanggaan Kapitalisme dan neoliberal yang mendewakan pasar sebagai segala galanya, kini jatuh tersungkur ketika Corona memaksa orang tinggal di rumah. Tidak ada lagi permintaan. Tidak ada lagi produksi. Tidak ada lagi hukum permitaan dan penawaran yang dibanggakan itu. Semua jadi omong kosong. Andaikan kapitalisme dan neoliberal sesuai dengan semangat awalnya untuk kemakmuran bagi semua, tentu tidak perlu ada koreksi dari sebuah pandemi bernama Corona. Dan kini Corona mengkoreksi itu, mengkudeta pasar kembali ke pemerintah.  Ke depan terjadi transformasi politik dari kapitalisme ke sosialis komunisme. Pahamkan sayang.

Kritik membawa nikmat.
Sejak tiga tahun belakangan, keadaan ekonomi memang sangat sulit. Saya pernah menulis di blog bahwa tahun 2020 ekonomi akan down dan keadaan Indonesia sangat buruk. Saya punya dasar yang kuat membuat analisa itu. Tahun 2019 penerimaan pajak drop. Realisasi APBN terpaksa defisit melebihi dari rencana yang ada. Tahun 2020, semua indikator ekonomi memburuk. Itu ditindai semakin melebarnya defisit APBN terutama defisit primer. Itu sangat terasa oleh dunia usaha. Penjualan property drop.Penjualan ekspor drop.

Pedagang eceran mengeluh karena omset turun drastis. Mengapa ? Karena pabrik dan perusahaan tidak bisa lagi memberikan bonus dan kenaikan gaji akibat laba menurun. Pedahal pemicu pertumbuhan ekonomi dari konsumsi adalah kelas menengah. Dari informasi yang saya terima diantara teman teman pengusaha, semua mengeluh karena sudah susah bayar bunga cicilan. Hampir semua BUMN mengalami posisi merah neracanya, sehingga engga bisa lagi dapatkan pinjaman. Ekspansi sudah engga mungkin dilakukan. NPL berskala gigantik mengancam.

Makanya perlu stimulus ekonomi untuk bisa keluar dari krisis. Tetapi stimulus harus diikuti dengan paket kebijakan ekonomi yang revolusioner. Kalau engga , stimulus sama dengan membuang sabun ke bak air. Habis engga jelas. Berharap bulan desember omnibus Law bisa terbit dan stimulus dilakukan. Tetapi DPR dan oposisi semua menolak Omnibus law. Jokowi kehilangan alasan untuk melancarkan paket stimulus. Masuk januari defisit semakin melebar. Tanda tanda perbaikan semakin suram. Sektor usaha sebagai sumber penerimaan negara suffering semua. Rupiah mulai dihajar pasar. Akhirnya BI terpaksa pasrah.

Ketika terjadi wabah Corona di Wuhan, China, ekonomi dunia oleng. Ini semakin sulit jalan recovery ekonomi indonesia. Andaikan oposisi melarang panik. Tetap minta Jokowi focus kepada ekonomi. Para ulama dan kadrun berteriak engga takut corona. Engga perlu panik. Engga perlu lockdown. Mungkin secara konstitusi, Pemeritah Jokowi akan jatuh dengan sendirinya. Mengapa ? realisasi defisit APBN pasti melebar diatas 3%. Secara UU, DPR berhak shutdown pemerintahan Jokowi. Krisis politik terjadi, bergeser dari ILC ke Senayan. Dari jalanan ke Istana. Tetapi para oposisi dan kadrun terpancing jebakan pendukung Jokowi yang anti lockdown. Keadaan ini membuat mereka semakin kencang menciptakan kepanikan dengan memaksa pemerintah lakukan lockdown. Tentu tujuannya agar terjadi chaos sosial dan Jokowi jatuh. 

Yang paling sukses menciptakan kepanikan adalah Anies. Apalagi dengan statemennya bahwa potensi Jakarta terkena virus ada 6000 orang. Setiap hari Anies tampil dia media massa bicara Corona. Diapun jadi seleb corona. Dari Jakarta meluas ke nasional. Semua orang membicarakan corona. Semua orang panik. Panik luar biasa. Akhir kwartal pertama atau akhir maret, Jokowi membuat keputusan PSBB. Stimulus sebesar jumbo, terbesar dalam sejarah, berhasil dilakukan dengan dukungan politik kepanikan. APBN selamat dari ancaman pagu defisit yang ditetapkan UU. Pemerintahpun selamat dari shutdown. KItapun bisa keluar dari resesi. Andaikan tidak ada kepanikan corona, tidak mungkin Jokowi punya alasan politik keluar dari krisis.

Kini apa yang terjadi ? ekonomi sepenuhnya di bawah kendali pemerintah. Hanya negara sekarang yang punya duit untuk melakukan ekspansi. Swasta udah keok. Pada situasi ini kekuasaan pemerintah jadi absolut untuk melakukan apa saja demi ekonomi selamat. Semua rakyat bergantung kepada pemerintah. Jadi kembali saya tutup tulisan ini dengan kalimat “ terimakasih oposisi, terutama kepada Anies yang sudah berkenan jadi seleb corona. Karena anda, kepanikan terbentuk dan pemerintah bisa selamat dari krisis ekonomi maupun politik. Mimpi jadi presiden, terpaksa tinggal mimpi saja.” 

Corona, jalan dunia keluar dari Resesi.
Ada teman di WG me share tulisan saya. Mereka tidak tahu bahwa sumber tulisan itu dari saya. Entah siapa yang mem viralkan kali pertama tulisan saya itu lewat WA. Yang jelas banyak sekali saya terima share tulisan, yang saya tahu itu penulisnya adalah saya. Bagi saya itu tidak ada masalah. Yang penting pemikiran saya dibaca oleh banyak orang. Tentu penerimaan orang membaca berbeda beda dalam hal menyikapi tulisan saya, yang terkesan menebarkan opitimisme.  Kalau sikap saya tidak optimis, mungkin sekarang diusia hampir 60 tahun saya tidak akan bisa mandiri. Bayangkan. Ketika Balita kaki saya liter O. Tetapi berkat optimisme ibu saya, ketika masuk sekolah kaki saya sudah normal. Engga kebayang betapa sulitnya ibu saya melakukan terapi terhadap kedua kaki saya agar bisa normal seperti orang lain. Itu dilakukannya bertahun tahun. 

Juga saya terlahir dengan penyakit bawaan, yaitu disleksia. Saya tidak punya kemampuan mengingat dalam jangka waktu lama. Tetapi berkat terapi yang dilakukan ibu saya sejak saya kecil sampai remaja, hal yang tersulit bagi disleksia adalah bahasa asing. Karena dia tidak mempunyai daya ingat yang kuat. Ibu saya berhasil mengajarkan saya bahasa asing. Orang tua saya mendidik optimisme bukan dengan kata kata tetapi dari kekurangan saya, dan cara dia menghadapi kesulitan menjadi peluang agar saya bisa lebih baik. Saya engga tahu bagaimana nasip saya kalau saat itu ibu saya pesimis. Mungkin saya akan invalid.

“ Kamu terlalu meremehkan C-19. “ kata teman saya via WA. Saya tidak pernah mengecilkan dampak C-19 yang gejala utamanya adalah demam, batuk, dan napas pendek. C-19 dapat muncul dalam dua hingga 14 hari setelah paparan. Meskipun banyak orang yang terinfeksi virus tidak mengalami gejala sama sekali.  Kalau berkaca pada penyakit flu musiman yang dapat menyebabkan hingga 80.000 kematian per tahun di AS dan antara 300.000 hingga 650.000 di seluruh dunia. Itu tidak menimbulkan ketakutan, kepanikan, dan histeria yang meluas. Hidup terus berlalu. Mengapa ? Flu, tentu saja, adalah penyakit yang sudah diketahui, sedangkan Covid-19 adalah baru dan belum dipahami dengan baik. Ditambah lagi, kita tidak memiliki vaksin untuk coronavirus, seperti yang kita lakukan untuk influenza. Kita memang memiliki obat antivirus, yang mungkin efektif melawan coronavirus, tetapi masih terlalu dini untuk mengatakannya.

Berdasarkan data yang saya baca dari literatul ilmiah sejauh ini, C-19 itu tampaknya lebih mematikan daripada virus influenza (flu).   Tetapi itu masih asumsi ilmiah. Tetapi C-19 memang beresiko bagi orang dewasa di atas usia 60 dan orang-orang yang memiliki kondisi medis kronis seperti penyakit jantung atau penyakit paru-paru atau diabetes, tampaknya berada pada risiko yang lebih tinggi.

Apapun itu, C-19 adalah resiko dan juga kekurangan kita sebagai manusia. Orang bisa sukses melewati resiko bukan karena dia hebat dalam berbuat tetapi karena dia bisa menjaga keseimbangan dalam bersikap dan berbuat. Sebagaimana diketahui, pada banyak penyakit menular, reaksi sistem kekebalan terhadap virus, bakteri, atau patogen lain dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada individu yang terinfeksi daripada patogen itu sendiri. Sepsis adalah contoh mematikan dari fenomena ini. Dipicu oleh infeksi, sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan— yang biasanya dipicu oleh konsumi obat antibody berlebihan atau tidak tepat— melepaskan zat kimia yang disebut sitokin yang membuat pembuluh darah menjadi bocor. Itu pada akhirnya dapat mengurangi suplai oksigen ke organ vital, yang dapat menyebabkan kegagalan organ. 

Nah, sepsis membunuh lebih dari 10 juta orang per tahun. Jadi, kematian bukan karena virus atau bakteri tetapi oleh reaksi berlebihan tubuh kita melawan kehadiran virus atau bakteri itu. Hebatnya, epidemi Covid-19 kalau kita melihat perkembangan belakangan ini sejak awal terjadinya di Wuhan, China seperti suatu sepsis dalam konteks sosial dan ekonomi. Reaksi oleh media dan pemerintah kemungkinan akan menghasilkan lebih banyak bahaya bagi masyarakat di seluruh dunia daripada virusnya, mungkin dampaknya secara ekonomi dan sosial akan lama sekali. 

Coba perhatikan...

Sejak China memutuskan lockdown, outlet media di seluruh dunia  telah menjadi mesin penebar kakutan yang berlebihan. Ada pembaruan setiap jam dari kasus-kasus baru, kemungkinan kematian, dan jumpa pers resmi, serta prognostikasi tentang bencana di masa depan. Pengarahan resmi pemerintah yang tidak kompeten tidak membantu situasi. Bahkan di jantung kekuasaan Super Power, AS, mendeklarasikan darurat nasional atas krisis coronavirus. Ini pertama kali deklarasi dikeluarkan untuk penyakit menular sejak pandemi H1N1 pada 2009.

Banyak jalan di kota-kota di seluruh dunia kosong. Penerbangan ke dan dari bagian dunia yang terkena dampak telah di-grounded. Konferensi bisnis telah dibatalkan. Museum ditutup. Kantor pusat perusahaan ditutup. Rak-rak toko dan toko obat dikosongkan dari obat flu, pembersih tangan, tisu desinfektan, dan obat anti-inflamasi yang dijual bebas. Orang-orang mengisi rumah mereka dengan makanan, air, dan perlengkapan mandi, mempersiapkan periode karantina yang panjang yang mungkin tidak pernah datang.

Gangguan dalam rutinitas sehari-hari yang normal dengan diberlakukannya ketentuan jarak sosial dan karantina mandiri akan menyebabkan konsekuensi ekonomi yang berkelanjutan. Mengingat guncangan sisi penawaran dan permintaan. Dengan bisnis tutup dan orang menghindari tempat-tempat umum, lebih sedikit uang dan lebih sedikit barang dan jasa yang dipertukarkan. Ini adalah ulangan dari apa yang terjadi di China selama wabah koronavirus SARS pada tahun 2003. Pada dasarnya semua tempat umum ditutup, termasuk pusat perbelanjaan, fasilitas olahraga dalam ruangan, dan bioskop. Lebih dari 80% kamar hotel mewah kosong. Pariwisata ke negara lain berkurang secara dramatis. Sulit  menghitung secara rasional berapa ongkos ekonomi dan sosial  yang harus dikorban untuk menyelamatkan orang dari pandemi. Karena ukurannya lebih kepada kepanikan.

Setidaknya Bank Dunia, bagaimanapun, memperkirakan bahwa pandemi SARS, yang berlangsung satu tahun telah menewaskan kurang dari 1.000 orang, mengurangi hasil ekonomi global sebesar $ 33 miliar.  Bagaimana dengan Covid-19?  bank sentral dan pemerintah di seluruh dunia menyadari dampak dari C-19 ini menimbulkan kerugian sangat besar, bahkan terbesar sejak resesi global 2008. Pasar saham anjlok di seluruh dunia - indeks utama di Inggris turun lebih dari 10% di hari terburuk sejak 1987, dan di AS, Dow dan S&P 500 juga mencapai penurunan harian tertajam sejak 1987. Triliunan dollar asset menyusut di Bursa, menguap  begitu saja. Dan itu terjadi hanya beberapa hari saja. Mimpi buruk akibat C-19 membuat semua jadi irasional. 

Saya percaya bahwa sebagian besar kerugian ekonomi tidak akan datang dari penyakit langsung atau kematian karena virus corona baru, tetapi dari apa yang disebut kepanikan yang tidak dihadapi secara rasonal dan terkoordinasi. Perlambatan dalam kegiatan ekonomi yang didorong oleh ketakutan terhadap coronavirus baru akan menyebabkan PHK dan resesi. Tanpa pekerjaan dan penghasilan tetap, individu dan keluarga akan lebih sulit membayar deductible, copays, dan premi yang diperlukan untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Perilaku menimbun akan membahayakan sumber daya yang langka. Kurangnya pilihan yang terjangkau menghasilkan perawatan medis yang lebih sedikit, yang akan meningkatkan jumlah penyakit dan kematian yang dapat dihindari selama jangka waktu yang lebih lama.

Apa tanggapan yang sesuai untuk Covid-19? Saya percaya dengan sikap Jokowi. Keputusan yang diambil oleh Jokowi sangat rasional, yaitu PSBB. Sepertinya Jokowi melepaskan diri dari rumor dan ketakutan yang ditimbulkan oleh Pandemi C-19.  Dia tidak ingin karena C-19 semua sumber daya terfokus pada penanggulangan C-19. Dia berharap agar rakyat terus menjalani kehidupan sehari-hari sambil mengambil tindakan pencegahan yang tepat dan bijaksana dengan menjaga jarak. Mengkarantina individu yang telah terkena virus atau mengharuskan orang tinggal di rumah selama masa social distancing. Merawat pasien yang terkena dampak C-19 di Rumah sakit. Melengkapi RS dengan fasilitas yang memadai. Yang lebih penting adalah memastikan negara hadir di tengah mereka yang terkena dampak ekonomi akibat pandemi C-19 lewat Stimulus ekonomi.

Tadi malam saya chatting dengan teman di NY. Ada yang menarik dalam pembicaraan tersebut. Bahwa hal yang tak mungkin dalam sejarah kapitalis adalah bagaimana negara bisa mencetak uang di luar hukum permintaan dan penawaran. Bayangkan,  AS mengeluarkan paket stimulus USD 2 triliun dolar. Itu paket intervensi ekonomi negara kedalam sistem kapitalis terbesar sepanjang sejarah. Seakan AS ingin menebus kesalahannya dalam mengelola ekonomi yang telah menimbulkan dampak PHK dimana mana, berkurangnya tanggung jawab sosial negara kepada rakyat secara luas. 

Apa yang dilakukan oleh Amerika juga dilakukan oleh semua negara anggota G20 dan negara lainnya. Berkat C-19, berkat kepanikan yang berlebihan, para pemimpin punya alasan kuat secara politik untuk malakukan itu. Secara tidak langsung, pandemi C-19 sebagai excuse dan cara pemimpin menebus kesalahan masalalunya dengan mencetak uang di luar hukum permintaan dan penawaran, dan memaksa dalam jangka panjang, pembayar pajak untuk membayarnya… Atau dalam bahasa romantis , orang kaya dipaksa berbagi kepada orang miskin lewat sistem dari sebuah stimulus ekonomi. Namun kata kuncinya, jangan mengeluh, dan tetap optimis.

Corona, mengubah perspesi tentang China.
Banyak penduduk di dunia ini mengenal negara China terbelakang. Apalagi sejarah revolusi kebudayaan tidak perna hapus dari ingatan. Orang Eropa punya guyon tentang China. Semua buatan China termasuk Tuhan, but fake one. Bad image china tukang tiru dan bajak tekhnologi bukan rahasia umum. Ada juga stigma tentang China yang jorok dan kotor. Pemangsa apa saja, termasuk hewan liar. Oleh sebagian bangsa lain menyebut China anti Tuhan, karena komunis. Bahkan ada cafe bertuliskan " China dilarang masuk" Singkatnya semual hal negatif tentang China. Kemungkinan besar mereka belum pernah tinggal di China lebih dari 10 hari atau mungkin hanya kenal dari media massa dan buku sejarah dari persepsi orang luar China.

Tetapi dengan adanya C-19 menjadi pandemi global, seluruh mata dunia terarah kepada China. Mereka baru sadar ternyata China sudah sangat maju dalam bidang industri biomedical, sistem politiknya sangat kuat, rakyatnya sangat tangguh, dan yang lebih hebat lagi adalah China tetap menjadi nomor satu ekonominya disaat semua negara memasuki resesi ekonomi. Teman saya orang Inggris mengatakan, bahwa tidak ada sistem politik, ekonomi dan sosial, bahkan budaya di dunia ini yang bisa sehebat China. Semua negara boleh saja hebat tekhnologi dan sainnya, tetapi kekuatan itu tidak nampak ketika terkena pandemi. Berbeda dengan China.

Andaikan pandemi C-19 ini berakhir, resesi ekonomi dunia bisa berlalu, persepsi orang tentang China sudah berubah total, kecuali yang bebal. Mereka tidak lagi dengan persepsi sebelumnya. Apalagi sikap respect China kepada negara lain yang terkena pandemi, sangat luar biasa. China mengirim petugas palang merah nya. Memberikan bantuan alat kesehatan, dan seakan China menebarkan paradigma baru dalam politik dunia, bahwa hidup damai atas dasar kemanusiaan saling tolong menolong adalah kekuatan menghadapi tantangan apapun, termasuk bencana.

Apa yang membuat saya terharu. China diaggap oleh sebagian orang tidak bertuhan karena paham komunis. Tetapi lewat Corona China mengaktualkan sikap kemanusiaan yang tinggi, dan itu merupakan esensi dari eksistensi Tuhan yang maha pengasih lagi penyayang. Sangat bertolak belakang dengan ISIS yang mengagungkan Tuhan tapi pada waktu bersamaan tidak ada kemanusiaan. Justru merendahkan nilai nilai kemanusiaan, penuh kebencian bau amis darah. Semakin mempermalukan orang yang berjuang dengan alasan agama. Andaikan orang beragama bisa mengamalkan keberadaan Tuhan seperti China lakukan, syiar agama melambung ke langit dan membumi penuh rahmat..mungkinkah kita bisa mengambil hikmah…?

2 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.