Jumat, 06 Desember 2019

GA, masalah BUMN?



Pada bulan Juni 2019, Otoritas Jasa Keuangan menemukan pelanggaran dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) pada tahun buku 2018. Pelanggaran ini menyeret Direksi dan Komisaris Garuda Indonesia, akuntan publik serta Kantor Akuntan Publik (KAP). Ketika membaca berita itu, saya yakin, publik akan marah. Marah kepada direksi Garuda dewan komisari serta Akuntan Publik. Tetapi kalau kita mau jujur, kesalahan utama bukan kepada Direksi. Kesalahan utama ada pada pemegang saham. Terutama pemegang saham pengendali, yaitu Pemerintah. Mengapa ?

GA memiliki utang jangka pendek, yang memiliki 3 syarat kredit (covenant). Pertama, harus memiliki cash minimal 5% dari total aset. Kedua, debt equity ratio (DER) harus maksimal 2,5 kali. Ketiga, ekuitas minimal US$ 800 juta. Ketiga syarat itu harus dijaga oleh Direksi. Sementara perusahaan merugi. Saya bisa membayangkan bagaimana terjepitnya direksi mengatasi situasi keuangan perusahaan. Pemegang saham tidak mau setor modal lagi. Cash tersendat. Tagihan avtur menumpuk yang harus dibayar. Cicilan utang dan bunga harus dibayar. Gimana solusinya ?

Hanya satu cara, yaitu pinjam lagi. Gali lobang tutup lobang. Tetapi gimana mau pinjam bila faktanya neraca tidak eligible.? Nah agar eligible, laporan keuangan direkayasa? Tetapi rekayasa nya keterlaluan boongnya. Sehingga mudah terdeteksi. Ini benar benar konyol. Dampaknya GA harus melakukan koreksi ( restatement ) atas laporangan keuangannya. Apa yang terjadi setelah Laporan keuangan dikoreksi ??

Dengan adanya restatement ( koresi laporan keuangan), maka ekuitas pada tahun 2018 hanya mencapai US$ 730 juta, sehingga covenant (syarat ) untuk utang jangka pendek breach ( terjadi pelanggaran). Rasio utang terhadap asset, (DER) naik jadi 2,49 kali, pelanggaran lagi. Konsekwensinya GA harus lunasi utang. Kalau tidak ada solusi cash in, maka Garuda berpotensi terancam gagal bayar. Gimana bayarnya ? Mau utang lagi? Siapa yang mau kasih pinjam? Sementara hidup perusahan tergantung dari utang. Engga ada utang , cash flow seret, dan operasi jadi tidak efisien.

Menurut saya, masalah GA ini, bukan lagi soal siapa yang akan memimpin. Ini bukan lagi masalah yang mampu di hadapi direksi. Tetapi masalah yang memang hanya pemegang saham bisa mengatasi. Karena ini menyangkut struktur Neraca yang tidak sehat. Harus adalah solusi yang cepat mengatasi GA ini. Hanya dua pilihan. Pertama, GA harus melakukan rasionalisasi biaya operasional dengan mengalihkan biaya tetap ke biaya variable agar efisien. Merombak semua manajement dan komisaris atas dasar kompetensi, dan punya reputasi jujur. Mengurangi jumlah direksi. Focus kepada core business. Jual anak perusahaan yang tidak terkait dengan core business.

Kedua, restruktur utang lewat penerbitan preferred stock. instrument pembiayaan yang sebetulnya Bond tapi dasar hukumnya saham tapi bukan pengertian saham yang dijual. Sifatnya tidak berubah yaitu Bond yang punya tingkat bunga tertentu dan syarat jaminan serta pembayaran pelunasan. Namun kedudukannya adalah saham. Jadi tidak berdampak meningkatkan DER tapi justru semakin memperbaiki struktur permodalan untuk semakin besar mendapat akses financial. Siapa yang mau beli preferred stock itu? Menteri BUMN bisa suruh Angkasa Pura, BPJS, Dana haji, untuk beli. Duit mereka banyak. Dan lagi Rp, 40 T bagi ketiga lembaga itu nothing. Saya yakin setelah itu Saham GA akan naik nilainya di bursa.

Masalah GA adalah salah satu contoh betapa buruknya management yang terjebak dengan ilusi ketika menghadapi tekanan financial. Padahal masalah financial itu bukan hal sulit selagi management focus kepada bisnis dan solusi. Saya yakin, banyak BUMN yang terjebak dengan management ilusi, buying time terus untuk keliatan cantik, tetapi sebetulnya menyimpan masalah besar. Dan sebagian besar direksi BUMN memang jagonya itu. Jago boongnya dan hedonis. Inilah PR besar Menteri BUMN dan teamnya. Ingat pesan Jokowi “ Harus rombak total semua.” Jadikan skandal direksi GA ini sebagai momentum untuk melakukan perubahan total di semua BUMN.

Garuda di ujung tanduk
tulisan 4/52020

Akibat Pandemi Covid-19, total penjualan tiket Garuda melalui salah satu platform online mengalami penurunan drastis hingga 20% secara year on year pada Februari 2020. Kemungkinan laba bersih Garuda Indonesia tahun 2020 akan cenderung mengalami penurunan sebesar 16% – 28%. Itu disebabkan kemungkinan pendapatan tahun 2020 akan turun 11%. Yang jadi masalah adalah utang jatuh tempo pada Juni 2020 mendatang mencapai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,75 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/US$). Udah pendapatan turun, laba drop, dan cadangan laba udah engga ada. Memang Garuda berada di ujung tanduk.

Garuda berharap dengan adanya COVID-29 ini bisa mendapatkan relaksasi dari perbankan, setidaknya bisa melakukan refinancing atas Bond yang jatuh tempo. Karena kalau sampai gagal bayar, akan merusak reputasi negara di pasar uang. Apalagi Garuda adalah BUMN. Namun tidak akan mungkin Bank mau memberikan pinjaman walau bank pelat merah sekalipun. Karena mana ada bank mau memberikan kredit perusahaan yang sudah insolvent . Kalau berharap ada penjadwalan utang, itu sama saja default. Pasti bondholder protes. Saham Garuda bisa terjun bebas. Aset negara akan susut nilainya di Garuda.

Sebetulnya tanpa ada COVID-19 Garuda tetap akan suffering. Karena secara akuntasi sudah engga sehat. Saya sudah menulis beberapa bulan lalu tentang perlunya Garuda melakukan restruktur bisnis. Alasan saya, dengan mempertahankan strutktur bisnis yang ada sekarang, itu sama saja menunda kebangkrutan dan semakin lama ongkosnya semakin besar yang harus ditanggung negara. Engga ada satupun bank dan investor mau terus membiayai keyakinan direksi yang jelas jelas gagal. Sekarang terbukti semua.

Garuda harus melakukan restruktur bisnis dengan menciptakan business model baru. Potensi itu ada. Garuda adalah BUMN yang menguasai monopoli logistik di semua bandara. Kalau E-commerce logistik diterapkan dengan dukungan infrastruktur logistik , Garuda bisa menjadi ecommerce logistik dengan ekosistem bisnis terbesar di ASIA Tenggara. Kalau business model ini dipertajam dengan legitimasi negara, maka ini akan jadi start up bisnis yang sangat mudah mendapatkan USD 1 miliar dalam waktu cepat. Dalam waktu paling lama 3 tahun Marcap bisa mencapai USD 10 miliar. Mengapa ? ekosistem dari ecommerce logistik itu bisa mencapai 100 juta orang. Itu data eksisting. Masalah financial garuda bisa teratasi.

Kemudian Garuda juga harus melakukan efisiensi operasional pada unit bisnis penerbangan premium. Caranya?, ubah semua skema pengadaan pesawat menjadi Limited Parnership fund (LPF). Apa itu? Garuda hanya berperan sebagai management Airline. Bahasa awamnya Garuda tawarkan trayek kepada investor dengan pola bagi hasil setelah dipotong biaya operasional dan crew. Dengan demikian misi sebagai national flag carrier tetap terlaksana dan Karyawan tetap kerja. Apa ada investor mau? Beberapa penerbangan dunia sudah terapkan skema ini dan sukses. Mengapa? Karena skema LPF itu tidak berdampak kepada neraca.Itu bukan utang tetapi bagi hasil. Namun mengharuskan transparansi.


Kalau Garuda tidak melakukan restruktur bisnis, saya yakin tahun depan 25000 karyawan Garuda bisa di PHK. Pemerintah engga mungkin bailout. Karena Garuda udah IPO. Kalau sampai Garuda bankrut, triliunan uang negara hilang, dan sebagai pemegang saham harus bertanggung jawab sesuai porsi saham atas default surat utang. Jadi cepatlah berubah. ! kasihan pak Jokowi kalau eranya justru Garuda bangkrut, Itu sama dengan record SBY yang membangkrutkan MERPATI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.