Jumat, 01 November 2019

Mengelola APBD?

Teman saya kepala Daerah, beberapa minggu menjabat , dia bingung. Karena sudah ada Rencana APBD di mejanya.
“ Bagaimana bisa secepat ini membuat rencana APBD? Tanyanya kepada Sekda.
“ itu yang susun team berpengalaman dari tahun tahun sebelumnya. Dan SOP sudah dilalui.
“ Tetapi daftar anggaran yang begini tebalnya, bisa dibuat secepat itu ?
“ Ya itu sudah biasa.”

Teman ini tidak mau tanda tangani. Dia harus pelajari R-APBD itu secara detail. Tentu awalnya tidak mungkin dia baca semua. Karena banyak sekali itemnya. Dia hanya baca secara random saja. Betapa dia terkejut. Ada mark up rata rata diatas 30%. Akhirnya terpaksa dia periksa semua item yang ada dalam R-APBD. Memang kerja berat. Tetapi engga ada pilihan. Karena dia sadar bahwa APBD itu alat politik kepala Daerah untuk melaksanakan janjinya kepada Rakyat. Kalau dia tidak bisa melakukan perubahan, lantas apa bedanya dengan kepala daerah sebelumnya.

Dari hasil penelusuran anggaran itu , dia bisa membuat kebijakan menentukan skala prioritas sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Secara system penghematan dilakukan dengan mengurangi pos anggaran software yang berkaitan dengan anggaran biaya rapat, biaya study , biaya dinas, Perjalanan dinas dan lain lain. Atau bila perlu pembangunan kantor baru atau mempercantik gedung yang ada tidak dijadikan prioritas.

Nah dana penghematan itu dialihkan kepada anggaran hardware agar setiap tahun Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pemda terus bertambah. Penambahan PMTB akan berdampak kepada PAD dan pasti bisa dirasakan oleh rakyat. Artinya harus ada mindset baru dari para birokrat untuk fokus pada peningkatan PMTB. Mereka harus professional dan amanah dalam menyusun dan melakukan penilaian atas project yang diusulkan. Disamping itu SKPD harus pula punya kemampuan diatas rata rata untuk memastikan anggaran yang diajukan user memang layak dimasukan dalam anggaran.

Apa yang terjadi ? Dia bisa meningkatkan belanja pembangunan mencapai 60% dari total APBD. Padahal tadinya 70% habis untuk belanja rutin, hanya bersisa 30% untuk pembangunan. Cukup? Belum. Dia juga menciptakan beberapa prorgam pembiayaan non anggaran yang memungkinkan proyek dapat dibangun dengan skema B2B. Untuk itu dia tanpa lelah melobi investor, mempercepat proses perizinan, mengatasi setiap kendala teknis dan legal. Melobi pemerintah pusat agar dapat bantuan VGF atas proyek non anggaran sehingga menarik bagi investor.

“ Jadi kepala daerah itu, andaikan kita kerja 24 jam saja, tetap saja rasanya belum optimal. Karena begitu banyak masalah yang berdampak kepada ketimpangan ekonomi dan rasa keadilan yang sudah berakar puluhan tahun, yang harus kita selesaikan. Sehari saja kita tidak berbenah, kotoran akan menumpuk dan menimbulkan dampak sosial yang besar. “ Katanya kepada saya pada suatu saat. Itu sebab ketika saya bertanya, mengapa rambutnya semakin banyak yang putih sejak jadi kepala daerah. Banyak pikiran, katanya
“ Tetapi kan kalau mau santai juga bisa.?” Kata saya.
“ Ya, tentu. Karena Pemda itu memang bisa bekerja secara autopilot. Hampir semua SKPD itu penjilat dan membuat kepala daerah nyaman tanpa harus kerja keras. “
“ Tetapi karena itu tidak akan ada perubahan seperti Jakarta di era Anies"
Dia hanya tersenyum.” Ya benar. Tetapi bekerja keras untuk rakyat seperti Ahok musuhnya banyak. Yang jelas musuh utama adalah ASN pemda sendiri. Musuh kedua adalah anggota DPRD. Itu juga yang saya rasakan sekarang. Menjadi pemimpin itu susah, makanya hadiahnya sorga kalau amanah. “
“ Ya benar. Kalau gampang ya hadiahnya kuaci”

***

Ada nitizen yang sempat meragukan kehebatan Walikota Surabaya itu murni karena prestasi. Tetapi lebih karena pencitraan PDIP. Saya hanya tersenyum. Ini penyakit paranoid akibat lemah wawasan dan nafsu kebencian. Anggaran yang diterima oleh Kota Surabaya secara UU dan aturan sama dengan PEMDA lainnya. Tidak beda. Lantas mengapa kota Surabaya bisa pembangunan begitu hebat dan bisa langsung dirasakan dan disaksikan oleh rakyat banyak. Apakah Kota Surabaya dapat keistimewaan dari Pusat karena walikota nya dari PDIP. Sehingga dapat uang lebih. Tidak. Semua walikota dan Kabupaten bisa meniru Kota Surabaya. Bisa sehebat Surabaya. Gampang kok. Gimana ?

Efisiensi Anggaran. Untuk bisa efisiensi tidak harus perketat anggaran. Tetapi tepat sasaran dan tepat waktu penggunaannya. Sehingga anggaran itu berdaya guna. Gimana caranya ? Kota Surabaya menerapkan IT system untuk mengelola anggarannya. Ini dilakukan awalnya pada tahun 2002, hanya sebatas e-procurement yang merupakan inisiasi Ibu Tri Rismaharini yang waktu itu masih menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan. Dengan sistem e-procurement ini tidak mungkin ada lagi mafia tender. Tapi masih belum terintegrasi degnan e-budgeting.

Tahun 2003, Pemkot membuat aplikasi e-Budgeting, yang terdiri dari e-DPA, e-Project, e-Procurement, e-Delivery, e-Payment, e-Accounting, e-inventory, e-SIMBADA, e-Controlling, e-Peformance, e-Tax, e-Audit, dan Fasum-fasos. Aplikasi yang juga pertama kalinya di Indonesia. Aplikasi ini melalui konsep GRMS (Government Resource Management System). Jadi anggaran dan pemakaian sudah terintegrasi sistemnya. Tapi aplikasi ini terus dikembangkan, agar publik dapat ikut mengawasi APBD dan dan memberikan masukan secara online. Gimana caranya ? tahun 2009 lahirlah e-Musrembang, e-DevPlan, dan e-Deployment, yang merupakan bagian dari e-planning. Tahun 2010 lahir e-performance. Dengan system yang terintegrasi ini, hampir tidak mungkin bisa terjadi kongkalikong dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD dan setiap SKPD performance nya terukur secara IT.

Bagaimana pengelolaan SDM ? Pemkot punya sistem e-SDM di dalamnya ada tes CPNS, gaji berkala, kenaikan pangkat, mutasi, dan pensiunan. Sementara e-Monitoring di dalamnya ada CCTV/SITS, penertiban reklame, pajak dan retribusi, operasi yustisi, monitoring sampah, monitoring permakanan, monitoring ketinggian air. Jadi hampir tidak mungkin PNS dilingkungan Pemkot bisa berbisik bisik melakukan konpirasi seperti mafia. Semua termonitor secara ketat untuk memastikan pelayanan kepada publik bisa memuaskan dan lagi secara sistem mereka para PNS itu diterima dengan dasar kompetensi yang jelas lewat E-test. Engga mungkin ada nepotisme.

Seiring berjalannya waktu, berbagai aplikasi lahir di lingkungan Pemkot Surabaya, hingga saat ini sudah mencapai ratusan aplikasi atau sistem, seperti e-Education, e-Office, Sistem Siaga Bencana 112, Pajak Online, e-Permit, e-Health, Simprolamas (sistem informasi program layanan masyarakat), e-Dishub, dan Media Center. Karena itu pelayanan publik semakin baik dari waktu ke waktu da rakyat semakin puas.

Karenanya jangan kaget bila Ibu Tri Rismaharini diakui dunia dan mendapatkan perhargaan international karena prestasinya. Ia mendapat piagam pengharagaan dari Lee Kuan Yew World City Prize dari Urban Development Authority (URA) dan Center Liveable Cities (CLC). Ia juga didaulat sebagai Presiden United Cities and Local Governments (UCLG) Asia Pasific (Aspac) 2018-2020. Dia menjadi pembicara pada Global Counterterrorism Forum di New York dan One Planet Summit di New York. Dalam event itu, Risma merupakan satu-satunya wali kota yang menjadi pembicara. Cukup ? Belum.

Dia juga menerima penghargaan Scroll of Honour Award dari United Nations Human Settlement Programme atau yang lebih dikenal dengan nama UN Habitat. Itu merupakan penghargaan tertinggi UN Habitat yang hanya diberikan kepada 5 tokoh atau instansi di Indonesia sejak diinisiasi tahun 1989. Seorang ibu yang tampil sederhana namun keras dalam bersikap, punya visi hebat. Kalau dia bisa sukses secara fenomenal, itu bukan karena pencitraan tetapi memang kota dikelola dengan modern dan amanah. Dia memang hebat karena kerja keras, beda dengan ABAS hebat karena retorika.

***
Orang bilang bahwa banyak relokasi pabrik dari China, Korea, Taiwan ke Vietnam. Tapi kalau mau jujur jenis industri yang masuk ke Vietnam masih jauh lebih banyak ke Jawa Tengah. Mengapa? karena relokasi pabrik yang masuk ke Vietnam itu adalah industri yang mengandalkan upah murah. Dua mitra saya dari China sudah membangun Pabrik di Indonesia, dan itu lokasinya di Jawa tengah. Begitu juga teman saya dari Korea dan Taiwan sudah lebih dulu memindahkan pabriknya dari Tanggerang dan Bekasi ke Jawa Tengah. Tahun 2014, 90 pabrik tekstil dan garmen pindah ke Jawa Tengah. Baru baru ini 140 pabrik di Jawa Barat relokasi ke Jawa Tengah, seperti Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Boyolali, Solo dan Sragen.

Tahun ini sampai tahun depan, Jawa Tengah akan dibanjiri oleh relokasi pabrik dari China. Karena upah di China sudah USD 2/jam. Sudah tidak kompetitif untuk produk yang membutuh tenaga kerja banyak. Mereka memilih Jawa tengah karena di samping upah murah, buruh di Jawa tengah engga rewel dan engga mudah demo. Berita tentang kenyaman berinvestasi di jawa tengah itu sudah jadi buah bibir dikalangan pabrikan di China. Mengapa Jawa Tengah lebih menarik dari vietnam? Menurut mereka yang saya tanya. Bahwa masyarakat jawa tengah itu ramah, dan para buruh punya etos kerja yang baik dan cepat sekali belajar. Dan yang lebih penting perizinan sangat mudah dan cepat serta hampir tidak ada pungli. Pelabuhan laut yang efisien.

Lantas mengapa Jawa Tengah sektor manufaktur terus tumbuh sementara daerah lain turun. Mengapa pertumbuhan ekonomi di jawa tengah lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan nasional? Di samping upah buruh yang murah, juga pemda berhasil mengendalikan inflasi. Dampaknya imbal hasil pekerja tetap positip. Ini bisa terjadi karena, pertama, serapan APBD diatas 95% . Kedua, PAD selalu surplus dari target yang ditetapkan. Ketiga, ekspansi pemda lewat APBD sangat efektif dan efisien menjaga keseimbangan sektor manufaktur dengan pertanian. Jadi tidak ada yang dirugikan akibat adanya relokasi industri begitu besar ke jawa tengah.

Sangat berbeda dengan DKI, Batam , Banten, Jawa barat, Sulawesi yang justru tumbuhnya industri mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan inflasi tidak bisa dihindari. Dalam jangka panjang justru terjadi deindustrialisasi? Karena pemda gagal mengelola APBD sebagai alat keadilan ekonomi dan sebagai alat distribusi pertumbuhan. Akibatnya upah buruh terpaksa terus dinaikan, yang otomotis secara berlahan tapi pasti pengusaha hengkang mencari daerah yang lebih efisien dan established ekonominya. Business as usual.

Sekarang apa penyebab Jawa Tengah sejak era Ganjar begitu hebat pembangunannya? Sama dengan Jawa Timur ( nanti saya ulas) karena mereka sudah menerapkan pengelolaan APBD secara modern dengan sistem yang transparan dari sisi belanja maupun pendapatan. Ganjar menerapakan Government Resource Management System (GRMS), yang merupakan sistem terpadu dari sistem perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Tidak lagi menerapkan per-item, dimana masing masing aplikasi tidak berada dalam satu platform. Jadi setiap sen uang pemda keluar, jelas goal nya, jelas benefit social maupun economy nya. Terukur dengam tepat karena sistem evaluasi yang terintegrasi dengan perencanaan dan anggaran.

Dengan sistem itu Ganjar sebagai gubernur dapat dengan efektif mengelola daerahnya, dan melaksanakan fungsi pengawasan sebagai wakil Pusat kepada setiap kabupaten kota. Tahun 2017 lalu Ganjar penerima penghargaan dari Presiden RI sebagai Penggerak Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Teladan. Kalau Jakarta memiliki Kartu Jakarta Sehat, Jawa Tengah telah mengeluarkan Kartu Tani. Ini sistem terbaik untuk distribusi dan kesejahteraan petani. Ia juga Gubernur terbaik dalam hal mengelola sektor perhubungan. Gubernur paling cepat memperbaiki jalan berlobang. Gubernur paling beprestasi melakukan pencegahan korupsi dan pungli. Hebatnya APDB Provinsi Jawa tengah itu hanya 20% dari APBD DKI tapi kinerjanya luar biasa walau penduduk nya 4 kali penduduk DKI. Mengalahkan pertumbuhan ekonomi nasional dan nomor tiga tertinggi di ASEAN setelah Vietnam dan Philipina. Beda dengan jakarta, APBD tertinggi tetapi rakyat masih ada yang engga punya jamban dan masih ada wilayah yang engga punya tempat penampung sampah sementara. Seharusnya Anies malu kepada Ganjar. Saya kehabisan kata kata tentang Anies kalau membandingkannya dengan Ganjar. Nyesek…

***

Kepalada Daerah, entah itu Gubernur, Bupati, Walikota, mereka bukan pemimpin politik walau mereka dipilih secara politik lewat demokrasi. Karenanya mereka tidak harus banyak bicara kepada rakyat untuk dapatkan citra politik. Tugas mereka haruslah dekat kepada rakyat dan bekerja yang bisa langsung dirasakan rakyat. Mereka adalah manager yang bertugas di garda terdepan dalam melaksanakan visi Presiden. Karenanya mereka harus punya kemampuan skill tekhnis yang cukup mengenai sistem birokrasi. Dengan itu mereka bisa melaksanakan fungsi pengawasan atas setiap program kerja Pemda. Mereka tidak mudah dibegoin staff dengan laporan asal boss senang. Mereka dekat kepada rakyat dan tahu akan kebutuhan rakyat secara detail dan mampu mendelivery nya dengan tepat.

Sistem IT yan diterapakan Surabaya, sebetulnya Jakarta juga telah menerapkannya di Era Jokowi dan kemudian di lanjutkan oleh Ahok dan terakhir Anies. Namun sehebat apapun sistem IT tetap saja harus ada pengawasan langsung dari Kepala Daerah. Karena IT itu di belakangnya adalah manusia. Sifat manusia cenderung korup bila tidak ada pengawasan langsung. Ahok sangat keras mengawasi sistem, agar sistem bekerja efektif tanpa ada celah disalah manfaatkan oleh staff. Pengawasan itupun dilengkapi dengan perbaikan sarana kerja dan termasuk gaji. Jadi perubahan untuk perbaikan juga adalah perubahan stadar gaji. Yang pada akhirnya rakyat diuntungkan.


Sayangnya ABAS dia tidak paham hal teknis birokrasi, dan tidak mau belajar secara cepat bagaimana sistem bekerja. Makanya terkesan dia bego dihadapan politisi PSI yang berusia 25 tahun, dan alasan yang dia sampaikan terhadap kisruh APBD DKI, samakin membuktikan dia dibegoin dengan mudah oleh SKPD, dan memang dia engga ngerti apa apa. Bukan hanya ABAS, kepala daerah seperti ABAS banyak di Indonesia. APBD setiap tahun terpakai dan BPK tidak melihat ada korupsi, tapi hasilnya tidak bisa dirasakan oleh rakyat.

***
Tadinya saya berprasangka baik saja bahwa tidak mungkin Abas tidak paham soal penyusunan APBD. Tidak mungkin dia tidak paham bahwa APBD itu alat politik Kepala Daerah melaksanakan visi misinya. Saya anggap perseteruan dengan DPRD dari PSI itu hanya soal cara menyusun anggaran, yang masing masing punya sudut pandang berbeda namun tujuannya sama, yaitu mengikuti UU yang ada. Tapi ketika baca berita hari ini bahwa defisit RAPBD Dki mencapai Rp. 10 triliun, saya langsung berkesimpulan bahwa ABas tidak paham sama sekali tekhnis menyusun APBD. Lebih parah lagi orang sekitarnya sengaja membuat dia nampak bodoh. Mengapa ? baik saya jelas secara sederhana.

Pertama, Defisit APBD itu sudah diatur oleh pemerintah Pusat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2019 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Nah kalau ABAS tahu aturan ini, tidak mungkin defisit APBD DKI sampai Rp 10 T atau diatas ketentuan dari PMK itu. Karena ketentuan PMK itu maksium defisit 4,5% dari pendapatan, sementara DKI lebih dari 10%. Artinya dari sejak perencanaan sudah salah. Memang engga ada niat serius mau ngurus rakyat DKI. Entah apa yang merasukinya.

Kedua, Karena defisit APBD mencapai Rp. 10 T , sementara paling lambat 30 november 2019 harus rampung, anggota DPRD tidak yakin bisa menyelesaikan sesuai target waktu yang ditetapkan Mendagri. Mengapa? Karena harus menyisir seluruh mata anggaran agar bisa dipotong sana sini sehingga defisit bisa berkurang sesuai dengan ketentuan PMK. Ini bukan soal teknis akuntasi tapi memotong anggaran sebesar 10T itu engga gampang. Karena menyangkut kepentingan rakyat, dimana masing masing anggota DPRD sudah terlanjur janji kepada pemilihnya. Untuk menyamakan persepsi saja udah butuh waktu tidak sebentar.

Anehnya Sekretaris Daerah DKI Jakarta menegaskan batas akhir penetapan RAPBD bisa mundur dari aturan 30 November. Padahal UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tidak pernah menyebutkan perpanjangan. Aturan mana yang dipakai oleh Sekda itu? Lah kalau RAPBD saja belum rampung gimana mau keluarkan Perda soal APBD itu? Membahas Raperda APBD pun engga sebentar. Jadi diperkirakan sampai akhir tahun tidak akan selesai RAPBD ini. Artinya kalau Abas tahu teknis dan aturan soal batas waktu penetapan RAPBD, engga mungkin sekda bisa ngeles tanpa dasar hukum yang jelas.

Ketiga, bisa saja Abas tidak tahu soal teknis APBD. Namun orang sekitarnya sangat paham dan sengaja dibuat telat APBD. Mengapa ? APBD yang terlambat disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut penelitian KPK ( 2008) itu modus korupsi. Caranya? yaitu dengan mengalihkan dana yang tersisa dari pelaksanaan program APBD ke dalam rekening pribadi. Dana yang tersisa berasal dari dana sisa anggaran program yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam pelaksanaan proses awal. Pengalihan dana ke rekening pribadi tersebut membuka peluang terjadi penyelewengan dana APBD untuk kepentingan pribadi sehingga terjadilah korupsi.

Keempat, Abas tidak paham dan team penyusun RAPBD memang tidak qualified. Karena latar belakang pendidikan tidak kompoten yang berdampak kinerja ala kadarnya dan ditambah lagi rendahnya komitmen terhadap tanggung jawab. Akibatnya penyusun APBD jadi terlambat.

..entahlah saya kehabisan kata kata..Jakarta ku sayang, jakarta ku malang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.