Sabtu, 30 November 2019

Indonesia ...

Asal nama Indonesia.
Sebelum Proklamasi kemerdekaan, nama Indonesia sebagai bangsa belum ada. Ketika itu di nusantara ini berkuasa beberapa kerajaan atau kesultanan. Masing masing kesultanan atau kerajaan itu punya nama sendiri sebagai negara. Ketika era Kolonial sebetulnya bukanlah sepenuhnya Belanda menjajah tetapi lebih kepada legitimasi kerajaan kepada Belanda untuk mengelola sumber daya Alam. Ada bagi bagi untung atara kerajaan dan Belanda. Walau faktanya akhirnya peran Belanda sengat luas sampai hak menetapkan pajak dan memungut pajak, tapi lagi lagi itu memang bagian dari hak konsesi yang belanda dapat dari kerajaan.

Nama Indonesia kali pertama diperkenalkan oleh George Samuel Windsor Earl pada tahun 1847. Ini bukan berkaitan nama negara atau bangsa tapi nama etnis. Dalam artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations, Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Menurutnya yang cocok itu bukan Indunesia tapi Malayunesia. Mengapa ? sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu. Jadi Papua dan NTT, Timor Timur tidak termasuk sebagai Indunesia.

Kemudian, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago, dia menghilangkan “u” pada indunesia , menjadi Indonesia. Kalau Earl menyebut Indunesia dengan pendekatan etnografi tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Tapi Logan menyebut nama Indonesia dengan pendekatan geografis murni. Jadi “Indonesia” itu hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia. Ya nama Indonesia bukan nama Negara atau kerajaan.

Tahun 1920an paham kebangsaan atau nasionalisme sedang hit di Eropa. Saat itu para pelajar Indonesia yang tinggal di Eropa seperti M. Hatta. Tan Malaka, Sjahrir, dan lain lain juga ikut gandrung terhadap paham nasionalisme. Tahun 1925 Tan Malaka menulis ” Naar de Republiek Indonesia ( Menuju Republik Indonesia ). Inilah kali pertama buku tentang Politik kebangsaan ditulis secara terpelajar. Karena Tan Malaka sudah menyebut nama Indonesia sebagai sebuah bangsa dan akan menjadi Republik. Pendekatan Tan bukan kepada etnis tetapi geographi. Bukuk Tan ini jadi inspirasi bagi kaum pergerakan kala itu, khususnya kaum terpelajar. Tahun 1928 keluarlah sumpah Pemuda tentang tanah air, bangsa, dan bahasa adalah satu, yaitu Indonesia.

Jadi kalau kita bicara Indonesia, itu bukan soal etnis, apalagi soal agama. Tetapi tentang geographis. Pancasila itu harus diakui sebagai bagian dari politik kebangsaan ala Indonesia yang beragam etnis, suku dan agama. Nah nilai nilai kebangsaan itu di bingkai dalam Pancasila. Sementara politik kebangsaan itu tertuang dalam UUD dan UU. Kalau orang masih saja bicara tentang perbedaan suku, etnis dan agama, sebetulnya dia tidak paham hakikat dari nasionalisme.

Bagaimanapun bicara Indonesia tidak seharusnya melupakan nama Tan Malaka yang kali pertama memperkenalkan konsep Indonesia dalam politik kebangsaan. Mungkin kalau Tan tidak pernah menulis tentang Indonesia, buku berjudul”Indonesia Vrije ( Indonesia merdeka) tidak akan pernah ditulis oleh Muhammad Hatta pada tahun 1928. Dan tidak mungkin Soekarno pada tahun 1933 menulis ” menuju Indoensia Merdeka”. Karena baik Hatta maupun Soekarno terinspirasi dari tulisan Tan Malaka. Tapi sejarah menenggelamkan Tan Malaka, hanya karena paham komunisme nya. Itulah Indonesia! Engkau ku banggakan.

Pribumi dan non Pribumi
Saya pernah dapat ticket untuk nonton konser Agnes Mo di Hong Kong. Tapi karena sibuk saya batalkan. Menurut cerita konsernya sukses sekali. Antrian panjang sekali depan loket. Kalau saya perhatikan sampai utuh wawancara Agnes mo, tidak ada bicara politik. Dia hanya berbicara tentang pilihan dia dalam menentukan aliran bermusik. Dan itu dilatar belakangi oleh persepsi dia yang sangat universal tentang kehidupan dan akhirnya menyimpulkan “ saya bukan seperti orang lain dan saya adalah saya. Orang suka tidak suka, itu engga ada masalah” kira kira begitu maksudnya.

Saya hanya ingin mengulas sikapnya soal “ Cause I actually dont have Indonesian blood whatsoever. Cause I’m actually german, japanese, chinese, I was just born in Indonesia. Artinya dengan tegas Agnes Mo mengakui bahwa dia bukan berdarah Indonesia, tapi bisa saja dari german, japanese, chinese. Menurut saya itu bukanlah berarti dia tidak mencintai Indonesia, tidak punya jiwa nasionalisme. Tetapi hanya berusaha jujur secara intelektual mengatakan siapa dia. Bahwa Indonesia adalah nama dari sebuah jiwa Pancasila. Tidak identik dengan suku, asal nenek moyang. Indonesia ya indonesia. Kalau kita anggap Indonesia berkaitan dengan asal usul kita, maka kita akan terjebak dengan istilah pribumi dan non pribumi.

Padahal kalau mengacu kepada KBBI maka yang dimaksud pribumi itu adalah penduduk yang asli lahir, tumbuh, dan berkembang berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, siapapun anda yang lahir di Indonesia, besar di Indonesia maka anda adalah pribumi. Tidak peduli orang tua atau buyut anda berasal dari Arab, China, India , Jepang atau Eropa. Anda adalah pribumi ! Nah pertanyaan berikutnya, mengapa masalah Agnes Mo ini jadi heboh?, seakan membangkitkan nasionalisime? Saya rasa itu karena terjebak dengan narasi non pribumi dan pribumi. Ini sudah politik.

Yang pertama kali mengenal berpolitik cara ini adalah kolonial Belanda. Politik diskriminasi. Belanda mengistilahkan pribumi dan non pribumi untuk membedakan mana yang warga penjajah dan terjajah. Mengapa ? Agar isolasi politik, perlakuan sosial oleh penguasa terhadap rakyat jajahan dapat dilakukan secara efektif sehingga secara sosial dan budaya para kaum pribumi itu jadi terjajah. Tapi harus ingat , bahwa istilah pribumi dan non pribumi itu bukan berdasarkan definisi kelahiran, tapi berdasarkan status sosial orang. Orang etnis china atau Arab bahkan jawa atau melayu sekalipun yang masuk kelompok feodal, menganggap dirinya bukan pribumi agar status sosialnya berbeda dengan rakyat jelata. istilah mereka “ hitam hitam , belanda juga”.

Di era Soekarno , istilah Pribumi dan non pribumi masih dipakai bukan bertujuan diskriminasi tapi tak lebih cara Soekarno melakukan revolusi mental agar kaum kaya bangsawan yang masih menganggap dirinya berbeda dengan rakyat jelata mengubah sikapnya untuk memandang semua orang itu sama. Sampai Soekarno mengkampanyekan agar kaum pribumi diberi hak istimewa di bandingkan non pribumi. Yang dimaksud non pribumi itu bukan orang china, atau arab, barat tapi orang yang masih menganggap dirinya kaum bangsawan. Mental bangsawan itu memang mental penjajah, walau dia sendiri adalah orang Indonesia asli.

Di Era Soeharto , istilah pribumi dan non pribumi dipakai lagi. Tujuannya spesifik terhadap etnis china. Maklum ini berangkat dari politk Orba yang bangkit dari akibat kemenangan melawan PKI yang pro China. Diskriminasi terhadap etnis China tak lebih politik ingatan agar umat islam sebagai musuh utama PKI dapat terus mendukung Soeharto berkuasa. Sementara secara pribadi Soeharto sendiri sangat dekat dengan etnis China, Semua sahabat Soeharto yang menggerakan ekonomi indonesia adalah etnis China dan mereka berkembang berkat konsesi bisnis yang diberikan Soeharto secara KKN. Dan terbukti belakangan Soerhato melarang penyebutan istilah pribumi dan non pribumi. Di era Reformasi amandemen UUD 45 tidak lagi menyebut istilah pribumi tapi penduduk asli indonesia dan mereka disebut WNI.

Anies waktu pelantikan sebagai Gubernur DKI, dia kembali berbicara soal pribumi dan non pribumi. Ingatan orang langsung tertuju kepada politik diskriminasi ala Soeharto yang menggunakan emosi umat islam membenci China agar berkuasa. Dan partai Gerindra juga menggunakan istilah pribumi agar dapat meraih kekuasaan dengan mudah. Mengapa ? Karena memang sebagian besar umat islam di Indonesia secara ekonomi tidak mendapatkan keadilan. Bagi Anies yang phd ilmu politik dan Gerindra yang memang basisnya idiologi Soeharto , tahu percis menggunakan issue pribumi untuk memancing emosi umat islam mendukung mereka berkuasa di Negeri ini.

Padahal ketidak adilan ekonomi itu ada bukan karena negara menciptakan diskriminasi sosial dan politik terhadapat umat islam tapi memang secara mental sebagian umat islam masih terjajah oleh pemikiran mereka sendiri, sehingga sulit bersosialisasi dan berkembang karena waktu. Apalagi sebagian ulama semakin pemberbodoh mereka agar menjadi haters demi tujuan politik dan uang. Benarkah ? Lah itu etnis china yang jelas di diskriminasi oleh Soeharto, kok mereka tetap bisa berkembang karena waktu. Dan sukses secara ekonomi. Mengapa ? Merdeka atau tidak merdeka negara, secara pribadi mereka sudah merdeka, baik dari segi pemikiran maupun budaya.

Jadi masalah ketidak adilan sosial dan ekonomi bukan karena politik negara tapi karena mental. Perbaikilah mental, jangan ada lagi istilah pribumi dan non pribumi. Semua kita adalah Indonesia darimanapun asal nenek moyangnya. Nasioalisme ? itu kalau anda bayar pajak, taat hukum, tidak korup, mandiri, dan tidak ada niat mengubah dasar negara, tidak pidah warga negara dan cinta persatuan dan kesatuan.

Penduduk Asli Indonesia?
Sebetulnya dalam catatan sejarah pada awalnya Nusantara ini tidak bertuan. Semua penduduk adalah pendatang. Alias ngekos di Indonesia. Tidak ada penduduk asli Indonesia. Kalau dilihat urutannya manusia modern di nusantara ini, pendatang pertama adalah suku melayu, Pendatang kedua adalah India, Pendatang ketiga adalah China ( Tibet) , Pendatang keempat adalah Arab dan Semit ( Yahudi ). Kan aneh aja kalau china yang datang lebih dulu di nusantara ini dan setelah 400 tahun kemudian barulah datang orang Arab , dibilang Arab lebih asli dari China. Bahkan kalau mau jujur nenek moyang kita orang melayu berasal dari Yunan ( China selatan).

Itulah dasarnya mengapa para pendiri negara kita menetapkan Bhineka Tunggal Ika, karena tidak ada satupun kita berhak mengclaim dia asli Indonesia. UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak melihat asal usul atau keturunan tetapi tempat kelahiran. Bahkan anak yang lahir di Indonesia walau kedua orang tuanya tidak jelas warga negara nya tetap diakui sebagai Warga negara Indonesia. Istilah pribumi dan non pribumi itu muncul di era kolonial Belanda sebagai bentuk dari politik adu domba. Dan anehnya setelah merdeka, istilah ini masih dipakai oleh sebagian orang.

Untuk lebih jelasnya saya uraikan secara singkat asal usul etnis yang ada di Indonesia. Tujuannya agar kita bijak menyikapi perbedaan. Jadi gimana ceritanya?

Pendatang pertama adalah Homo erectus yang melakukan migrasi panjang dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Homo erectus inilah penduduk yang paling lama tinggal di Nusantara yaitu sekitar 1,5 - 1,7 juta tahun! Mereka awalnya bermukim di Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores.

Pendatang kedua adalah Homo sapiens atau manusia modern juga berasal dari Afrika. Mereka datang dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung kira-kira 100 ribu tahun yang lalu, sedangkan gelombang kedua berlangsung kira-kira 50-70 ribu tahun yang lalu. Mereka dikenal dengan Suku Dani, Bauzi, Asmat, Amungme di Indonesia & Papua Nugini. Dari persebaran ini, diduga kuat bahwa hampir seluruh daerah Paparan Sunda dan Sahul (mencakup seluruh wilayah Indonesia) sempat dihuni oleh orang-orang berciri Melanosoid.

Pendatang ketiga adalah Homo sapiens, yaitu kelompok melayu-austronesia. Rumpun Austronesia ini merupakan rumpun yang sangat besar, mencakup suku Melayu, Formosan (Taiwan), Polynesia (Hawaii, Selandia Baru, dsb). Dari mana asalnya ? Semenjak tahun 2.000 SM sampai dengan tahun 500 SM (dari zaman batu Neolithikum hingga zaman Perunggu) telah terjadi migrasi penduduk purba dari wilayah Yunan (China Selatan) ke daerah-daerah di Asia bagian Selatan termasuk daerah kepulauan Indonesia. Perpindahan ini terjadi secara besar-besaran diperkirakan karena adanya suatu bencana alam hebat atau adanya perang antar suku bangsa.

Orang-orang Melayu yang datang ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua: Melayu yang mager dan Melayu yang bukan meger. Melayu-melayu mager telah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak diperlukan lagi mobilisasi penduduk. Keturunan Melayu golongan pertama ini bisa kita liat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan, yang juga biasa disebut sebagai “Proto Melayu”

Melayu yang bukan merger adalah golongan melayu yang karena alasan tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dll) merasa perlu untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya, bahasa, serta gen. Keturunan Melayu yang mobile ini salah satunya adalah yang berasal dari suku Minangkabau, Jawa, Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia serta biasa disebut sebagai “Deutero Melayu”

Pendatang keempat adalah Sino-Tibetan, Dravidian, dan etnis Semitic. Dalam periode kurang lebih seribu tahun setelah kedatangan etnis Melayu di Nusantara, peradaban dan kebudayaan Austronesia berkembang semakin kompleks dan mulai melakukan interaksi perdagangan dengan kebudayaan lainnya. Ternyata, interaksi perdagangan sekelompok masyarakat Austronesia di Nusantara ini berkembang menjadi sangat ramai. Sampai akhirnya Nusantara ini mengundang kedatangan banyak pedagang dari peradaban luar.

Ada tiga gelombang pendatang. Pertama orang dravida (India) memulai perjalanannya lebih dulu ke daerah Nusantara untuk berdagang sejak abad 1 masehi. Sedangkan kedua, pendatang Sino-Tibetan ( China/Tionghoa) baru melakukan eksplorasi besar-besaran diperdagangan Nusantara sejak dinasti Han runtuh awal abad 3 masehi. Sementara ketiga, itu orang Semit ( arab dan Yahudi ) mulai pertama kali berdatangan ke pulau Sumatera untuk berdagang dan menyebarkan agama pada abad 7 Masehi. Nah, sesama ngekos di nusantara ini, sebaiknya rukun sajalah. Engga usah merasa paling berhak satu sama lain. Pada akhirnya nilai kita di Indonesia ini bukan diukur paling kencang teriak nasioalisme, tetapi seberapa besar kita bermanfaatkan untuk negara dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.