Kamis, 17 Januari 2019

Seputar debat Capres.


Indonesia beruntung tidak seperti CHina waktu melakukan reformasi ekonomi Deng. Kala itu China memberhentikan PNS  maupun honorer Partai sebanyak 25 juta orang.  Itu tidak termasuk ribuan BUMN dan BUMD yang dibubarkan karena alasan tidak efisien.  China juga memotong dana riset di lembaga penelitian baik di kampus maupun di Badan Penelitian ( China Academy Science. ). Bahkan menurut cerita para peneliti di bolehkan melakukan sendiri penelitian sesuai pesanan dari swasta namun harus bayar biaya sewa peralatan dan kantor kepada pemerintah.  Dari kebijakan itu, China bisa menghemat anggaran untuk ekspansi pembangunan infrastruktur tanpa harus berhutang ke luar negeri. Saat itulah China masuk ke sistem pengelolaan pegawai secara modern yang berorientasi kepada produktifitas.

Tahukah anda bahwa setiap tahun anggaran belanja untuk bayar gaji PNS itu tahun 2018 mencapai Rp 495,7 triliun atau hampir Rp 500 Triliun Itu mengalahkan anggaran untuk bangun infrastruktur.  Jokowi tidak mungkin bersikap seperti China. Yang dilakukan Jokowi adalah memperbaiki struktur gaji agar orientasinya bukan lagi belanja belanja tetapi produktifitas. Maka sistem rumenarasi diperbaiki. Sistem penilaian kinerja diperbaiki. Sistem rekrutmen di perbaiki. Agar apa ? agar keberadaan PNS benar benar menjadi mesin ekonomi yang tidak lagi bersifat birokrasi tetap meritrokrasi atau pelayanan. Dengan demikian akan berdampak kepada pertumbuhan investasi. 

Kalau gaji ditingkatkan tanpa melalui sistem remunerasi berdasarkan kinerja maka gaji itu akan menjadi beban belanja yang justru menbuat APBN tidak efisien. Kalau tidak efisien maka engga ada lagi orang yang mau membeli SBN kita. Oh meningkatkan Tax Ratio? kan konyol kalau tujuan peningkatan tax ratio hanya untuk meningkatkan gaji pegawai.  Seharusnya peningkatan tax ratio itu dimanfaatkan untuk perluasan infrastruktur dan memperkuat APBN dengan mengurani rasio utang.  

Tax ratio kita sekarang diatas 10% atau 10,7%. Mengapa tidak sampai 16% ? ditengah keadaan ekonomi yang sedang proses recovery tidak mungkin memaksa orang banyak bayar pajak.  Dalam jangka pendek, Jangan makan angsanya tetapi makan telornya. Angsanya dipiara dengan baik agar kelak menghasilkan telur. Artinya potensi penerimaan yang diutamakan bukan rasio  pajak diperbesar. Itu dalam jangka panjang mengarah kesana atau setidaknya mencapai ambang layak dari bank Dunia sebesar 15%.  Itu sebabnya Jokowi menaikan Batas  Penghasilan TidakKena Pajak (PTKP).  Otomatis Ratio pajak turun tetapi potensi penerimaan pajak. Silahkan liat google data penerimaan pajak terus meningkat di era Jokowi.

Membangun dengan kebijakan pragmatis adalah sikap mental diktator dan pasti  koruptip. Itulah yang disampaikan oleh Prabowo, alasan menaikan gaji pegawai dalam rangka mengurangi korupsi.  Benar benar kebijakan tidak terstruktur. 

***
Ada tiga Issue yang mudah menjatuhkan Jokowi. Pertama, issue soal SARA. Kedua, Issue soal kurs rupiah. Ketiga, issue soal Pangan. Ketiga hal ini dimanapun pernah membuat presiden terjungkal. Ketiga issue itu ibarat biang kanker. Awalnya muncul satu tetapi kalau sudah kronis akan menjadi komplikasi dengan semua issue yang ada. Jatuhnya Soeharto karena kurs rupiah yang terjun bebas. Tetapi sebelum meluas Soeharto sudah jatuh lebih dulu. Hasilnya reformasi, bukan revolusi. Soekarno jatuh karena Tritura. Pangan langka, hiperinplasi yang membuat harga melambung. Hasilnya adalah revolusi bau amis darah. Arab spring terjadi karena soal issue pangan yang melambung dan sulit didapat. Chaos terjadi dimana, sehingga menjatuhkan Presiden di Mesir dan lainya.

Menjalang Pemilu, rupiah melemah. Semua team pakar kubu BOSAN rame rame membuat statement yang menggiring opini publik bahwa akan terjadi chaos seperti tahun 1998. Saya bersama teman teman yang mendukung Jokowi berusaha melalui sosial media melawan serangan issue negatif itu. “ seorang politisi dari salah satu partai pendukung BOSAN, mengatakan bahwa Jokowi tamat. Rupiah akan terus turun, Kalau rupiah tembus diatas Rp. 17.000 engga perlu tunggu pemilu, Jokowi sudah jatuh. Referendum akan jadi wacana. Kekuatan islam akan tampil sebagai penyelamat. Ganti presiden ganti sistem. Saya hanya tersenyum. Kubu BOSAN tidak memahami geostrategis dan geopolitik soal kurs. Akhirnya semua tahu Rupiah selamat.

Nah bagaimana soal Pangan? Kekuatan inteligent BOSAN sangat hebat melobi agar ketua BULOG berasal dari kubunya atau orang yang punya link dengan kubunya. Kalau Beras langka, ada yang sudah pengalaman dibidang kebijakan pertanian yang bisa membuat distribusi beras sulit sehingga harga melambung. Dasarnya mereka tahu bahwa data soal pangan tidak valid. Tetapi Jokowi cepat tanggap dengan situasi soal pemilihan Ketua Bulog. Pilihan kepada BUWAS karena BUWAS mantan PATI POLRI yang sangat menguasai jaringan kartel Impor dan distribusi 9 bahan pokok. Dia termasuk yang dimusuhi oleh 9 Naga. Tugas Buwas hanya satu yaitu amankan stok beras nasional. Itu sebabnya BUWAS sampai sekarang juga tidak di sukai oleh elite politik. Menjelang pemilu harga beras tetap stabil. Secara politik aman.

Soal SARA, semua terkunci sejak Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Jokowi tidak menggunakan issue agama untuk menyerang lawan. Tidak juga mengarahkan massa islam. Namun semua orang tahu bahwa disamping Jokowi ada mantan ketua MUI. Serangan soal SARA kepada Jokowi sudah terpatahkan dengan sendiri.

Jadi dengan tidak adanya tiga issue tersebut diatas yang bisa di goreng untuk menjatuhkan Jokowi, maka pemilu memang benar benar PEMILU akal sehat. Apapun issue soal tiga hal tersebut diatas hanya akan berujung hoax. Dan lucunya PS percaya hoax soal Impor yang merugikan petani. Kalau benar impor beras itu merugikan petani, mengapa harga beras tidak turun di tingkat petani.? Artinya tidak ada pengaruh negatif terhadap Petani dengan kebijakan impor itu. Yang untung tetap Rakyat sebagai konsumen karena stok beras terjaga dan harga stabil. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.