Tadinya di ASEAN, BUMN yang dikenal paling besar dan sukses adalah TEMASEK ( holding BUM Singapore dengan total asset USD 321 miliar ) Bahkan masuk nomor tiga didunia. Kemudian adalah Khazanah , BUMN milik Malaysia. Tetapi sekarang, Temasek dan Khazanah dibawah BUMN Indonesia. Bahkan digabungkan dengan Khazanah masih belum bisa mengalahkan BUMN Indonesia. Mengapa ? Perhatikan, Asset kolektif BUMN Indonesia sebesar USD 538 miliar. Dari sisi pendapatan juga BUMN Indonesia sangat dahsyat, yang pada 2017 mencapai USD 151 Miliar, angka tersebut setara dengan 15 persen dari PDB Indonesia atau setara dengan 60% PDB Malaysia. 25% kapitalisasi Pasar modal berasal dari BUMN. Sementara fungsi BUMN di Singapore dan Malaysia memang business oriented. Indonesia , BUMN berfungsi sebagai agent of development. Kalau fungsinya sama dengan Singapore, saya yakin BUMN Indonesia akan jauh lebih besar. Karena tidak lagi dibebani fungsi sosial dan politik.
Kehebatan BUMN seperti sekarang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dimana tadinya yang menguasai bisinis adalah konglomerat, seperti jalan toll, pembangkit listrik tetapi sekarang hampir tidak ada artinya keberadaan konglomerat swasta maupun asing dibandingkan BUMN. Di bidang Energi dengan santainya Pertamina mengambil alih beberapa blok MInyak milik konsorsium Asing. BUMN tambang dengan penuh percaya diri mampu mengambil alih 51% saham Freeport Indonesia secara business as usual. Angkasa Pura bisa dengan cepat memperluas Bandara agar berkelas international. Pelindo mampu menjadi operator pelabuhan berkelas dunia dengan infrastruktur kelas satu. Padahal tadinya kita tahu BUMN dikelola dengan cara tradisional dan tempat parkir nya pejabat mendekati pensiun, juga sekaligus sapi perahan politik.
Tadinya tidak pernah terbayangkan bagaimana BUMN bisa menguasai modal dan tekhnologi. Mengapa sekarang BUMN leading dalam bidang bisnis dan tekhnologi ? Pertama, di era Jokowi terjadi restruktur permodalan sehingga BUMN menjadi sehat dan bankable. Restruktur ini melalui PMN ( penyertaan modal negara ) lewat APBN. Yang hebatnya itu dilakukan tahun 2015 disaat APBN dalam tekanan. Kedua, restruktur management yang berdasarkan kompetensi bisnis dan profesional. Jadi bukan lagi atas dasar politik. Makanya jangan kaget bila Direktur utama PLN tidak dipegang oleh insinyur tetapi oleh ekonom berkelas banker. Dirut Inalum Holding Tambang berasal dari mantan banker bank terkemuka di Indonesia. Ketiga, reorientasi business dengan focus pada empat pilar, yakni menciptakan sinergi di seluruh BUMN, fokus pada down streaming industri, meningkatkan konten lokal di semua proyek, mengintegrasikan bisnis pembangunan, dan kemandirian finansial.
Untuk menjadi mitra pemerintah, BUMN dikawal ketat oleh DPR. Mereka tidak boleh menjual asset tanpa izin DPR. Tidak boleh berhutang dengan menjaminkan Asset. Pemerintah tidak boleh memberikan jaminan atas utang BUMN. Walaupun begitu, setiap aksi korporat tetap harus mendapatkan izin dari Meneg BUMN sebagai pertanggungan jawab kepada DPR. Dengan kondisi tersebut diatas memang tidak bisa dirut BUMN dengan qualifikasi ala kadarnya. Mengapa ? karena harus punya kemampuan mendapatkan sumber pembiayaan diluar APBN dan diluar jaminan pemerintah. Berbagai alternatif pendanaan telah dilakukan BUMN seperti diantaranya Komodo Bonds, Global Bond, Sekuritisasi Aset, Project revenue Bonds, Perpetual Bonds, hingga Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). Ke depannya masih akan dikembangkan berbagai inovasi-inovasi pendanaan lainnya seperti KIK DINFRA dan masih banyak lainnya.Istilah ini mungkin era sebelumnya jarang terdengar, Namun kini sudah jadi makanan hari hari BUMN.
Data terbaru di Kementerian BUMN menyebutkan, total utang BUMN per September 2018 (unaudited) mencapai Rp 5.271 triliun. Total hutang sebesar Rp 5.271 Triliun tersebut didominasi oleh sektor jasa keuangan sebesar Rp3.300 triliun dimana hampir 75 persennya merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK) dari perbankan. Yang 75% itu sebetulnya bukan utang real tetapi memang jasa perbankan simpan pinjam. Utang real hanya sebesar Rp. 1971 Triliun. Besar ? Engga juga. Kalau dibandingkan dengan total aset mencapai Rp7.718 triliun pada tahun 2017 , rasio utang hanya 25% atas total asset. Artinya kondisi utang BUMN tersebut masih dalam kondisi yang aman. Bila dibandingkan dengan rata-rata industri mengacu pada data dari Bursa Efek Indonesia, bahwa rasio Debt to Equity BUMN masing-masing sektor masih berada di bawah rata-rata Debt to Equity industri.
Saat sekarang dari total total 118 BUMN, yang masih merugi sebanyak 13. Artinya kurang lebih 10% dari total BUMN. Kerugian pun tidak ada artinya. Hanya sebesar Rp. 5,3 triliun atau hanya 0,03 % dari total laba sebesar USD 14 miliar ( Rp. 173 Triliun). Bandingkan diakhir era SBY jumlah BUMN yang merugi sebanyak 30 BUMN dengan total kerugian sebesar Rp 32,6 triliun atau 0,2% atas total laba sebesar Rp. 159 triliun. Sementara total asset era SBY hanya Rp. 4.600 triliun. Bagaimana sampai begitu drastis kerugian BUMN bisa berkurang di era Jokowi ? itu karena dukungan pemerintah kepada BUMN untuk berpikir out of the box , termasuk berani membuat keputusan mengubah bisnis model yang memungkinkan bisa menarik financial resource. Itu yang terjadi yang sedang dilakukan okeh Garuda dan Merpati serta lainnya. Artinya solusi atas kerugian tidak dengan injek modal tetapi dengan perbaikan business model.
Bagaimana cara Jokowi bisa mengubah keadaan BUMN yang puritan menjadi berkelas dunia ? teman saya konsultan bisnis mengatakan, bahwa Jokowi membuat kebijakan new paradigm BUMN dari hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan hidup dari pemerintah, menjadi mandiri dalam hal kreatifitas sebagai agent of development negara. Itu saja. Namun kebijakan itu di terjemahkan oleh para menteri bawahannya secara detail dalam bentuk perencanaan jangka pendek , menengah maupun jangka panjang. Maka lahirlah reformasi BUMN. Hasilnya seperti sekarang yang kita lihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.