Rabu, 18 Juli 2018

Sejarah freeport dan kini.

Sejarah Freeport di Papua
Tahun 1961 Soekarno di undang oleh JF Kennedy ke Washington. Ketika itu diperkenalkan kepada Soekarno seseorang bernama Augustus Long Belakangan nama ini berhubungan dengan Freeport untuk menguasai tambang Tembaga di Irian Barat. Selanjutnya Politik bergulir seperti agenda Soekarno dan JFK melalui PBB , dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang memuat "Act of Free Choice" (Pernyataan Bebas Memilih). Akhirnya Belanda kalah tanpa kehilangan muka. Tapi setelah itu, Soekarno tak pernah melaksanakan deal tersebut walau Agustus Long tak pernah lelah menagih kepada Soekarno, sampai akhirnya Soekarno dijatuhkan oleh Soeharto lewat dukungan CIA.

November 1967. Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo berkunjung ke Geneva. Mengingat pentingnya misi kunjungan ini membuat udara musim dingin itu terasa panas. Mereka datang atas undangan dari The Time-Life Corporation untuk bertemu dengan kalangan investor kelas dunia. Investor inilah yang akan menjadi undertaker kebutuhan pendanaan pembangunan indonesia menuju masyarakat sejahtera. Ketika itu yang hadir dari kalangan investor adalah General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, tak ketinggalan David Rockefeller yang menjadi tuan rumah. Kini putranya Nat Rothchild , bermitra dengan Hashim Djojohadikusumo.

Dalam pertemuan yang berlangsung tiga hari itu, pihak investor berjanji akan menanamkan dananya untuk bisnis dibidang pertambangan Migas dan Nikel ( Freeport ). Indonesia akan mendapatkan pajak, bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut. Tahun 1967 , Freeport Sulphur menandatangani KK dengan Indonesia untuk hak atas konsesi tambang tersebut.Bukan hanya AS merasa berhak atas Papua tapi juga inggeris dan Australia ( Rio Tinto ). Maklum saja kedua negara ini juga berjasa terhadap keunggulan AS memenangkan perang dunia kedua dan berperan ikut menekan Belanda untuk angkat kaki dari Irian tanpa memberikan dukungan apapun ketika konplik senjata dengan TNI merebut Irian.

SEPULUH tahun setelah beroperasi, PT Freeport Indonesia mengalami masalah. Pasalnya, kandungan bijih di Ertsberg mulai menipis. Hal ini ditambah dengan anjloknya harga tembaga di pasaran dunia karena mulai digunakannya serat optik dan alumunium sebagai pengganti kawat tembaga saat itu. Harga tembaga pun melorot berkisar 60 sen sampai 70 sen dolar AS per pon. Freeport pun gamang. Di saat pergulatan batin, perubahan terjadi di induk perusahaan. Freeport Sulphur yang telah bersalin nama menjadi Freeport Minerals Company bergabung dengan McMoRan Oil and Gas. Perusahaan yang dibentuk tahun 1967 ini, merupakan akronim dari tiga pendirinya: William Kennon McWilliams Jr (“Mc”), James Robert Moffet (“Mo”), yang merupakan geolog perminyakan dan Byron McLean Rankin Jr (“Ran”), seorang ahli pemasaran dan penjualan.

Pernikahan kedua perusahaan ini di tahun 1981, membuat namanya berubah menjadi Freeport-McMoRan Incorporated. Seiring dengan itu, tampuk kepemimpinan pun berubah. James Robert Moffet atau yang dikenal dengan Jim Bob ditunjuk sebagai chief executive officer. Mendapat posisi puncak, Jim Bob langsung memerintahkan seluruh awaknya untuk meningkatkan upaya eksplorasi. Di saat harga tembaga menukik, harga emas menunjukkan kemilaunya, yaitu USD450 per troy ons (t.oz). Freeport pun langsung demam emas. Grasberg pun menjadi emas paling besar dan paling berkilau dalam mahkota Freeport. Dan tambang Grasberg mencapai produksi dengan sangat cepat. Apalagi dengan dibangunnya Heat Road pada 1993 yang memungkinkan shovel dan truk-truk berat diangkut ke tambang. Dan awal 1995, produksi Grasberg telah berlipat ganda.

Penambangan Freeport di Indonesia menjelma menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan operasi Freeport di Indonesia telah tumbuh melebihi induknya. Freeport pun beruntung dapat melakukan eksplorasi di beberapa daerah produktif dalam wilayah Kontrak Karya. Seiring dengan cadangan tambahan dan cadangan bawah tanah di daerah yang berdekatan dan di Grasberg, Freeport-McMoRan Inc membentuk Freeport-McMoRan Copper & Gold dan mencatatkan namanya di bursa saham New York, dengan kode emiten FCX, sebagai pemilik tunggal seluruh aset di Indonesia. Potensi ini membuat Freeport pada 30 Desember 1991, melakukan Kontrak Karya kedua. Ketika itu, posisi Menteri Pertambangan dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Penandatanganan KK kedua itu untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Artinya Kontrak Karya Freeport baru habis pada tahun 2041.

Divestasi Freeport
Ada yang mempertanyakan darimana Inalum bumn holding tambang dapatkan uang. Assetnya nya aja engga cukup. Siapa yang mau kasih pinjam. Memang kalau pola berpikir konvensional itu bisa dimaklumi. Karena engga mungkin bisa dipahami gimana dapatkan uang sebesar Rp 53 triliun. Kalaupun ada bank yang mau kasih pinjam tetap saja engga mudah. Karena harus persetujuan DPR. Karena penjaminan BUMN adalah penjaminan Negara dan ini disamakan dengan PMN. Jelas ditolak oleh DPR ditengah defisit anggaran. Kalaupun inalum ada uang sebagian juga engga mudah mau cash out besar. Karena RKT nya harus persetujuan pemerintah dan itu ada SOP yang ketat berkaitan dengan rasio likuiditas yang harus ditaati. Katakanlah inalum cash out Rp 20 T , itu akan mempengaruhi rasio likuiditas nya. Engga bisa. Jadi gimana solusinya ?

Perhatikan, pertama. Inalum mendekati bank untuk membeli participation interest punya Rio Tinto. Bank tertarik. Mengapa ? Karena valuasi nya lebih pasti daripada beli langsung saham Freeport McMoran di FI. Kalau beli saham Freeport Mcmoran tentu valuasi saham termsuk deposit. Berapa harganya belum pasti. Hitungannya lebih kepada Future value market. Yang jelas harganya pasti mahal untuk menghasilkan capital gain. Tetapi kalau beli PI maka inalum otomatis dapat saham sebesar 40%. Mengapa? Karana PI itu hak Rio Tinto atas produksi tambang tanpa ada kewajiban bayar pajak. Harga 40% senilai USD 3,8 miliar itu murah dibandingkan nilai Future hak Rio atas deposit sebesar USD 20 miliar.

Penjelasan diatas di buat secara detail oleh konsultan dan Fund Manager sehingga pihak bank bisa menerimanya sebagai kajian yang workable dan bankable. Kemudian atas kajian detail itu, pihak inalum mengajukan skenario pembiayaan kepada bank kreditur. Untuk apa? Untuk mendapatkan undertaking pembelian PI itu. Kalau engga mana mungkin Rio Tinto mau negosiasi pelepasan PI. Dari sini proses negosiasi dengan bank dilakukan. Tentu menggunakan skema financial engineering. Gimana skemanya? Inalum menawarkan saham yang akan dikuasai itu atas nama SPV sebagai collateral. Artinya bukan Senior Loan bagi Inalum. Dengan demikian Inalum lolos dari kewajiban mendapatkan persetujuan pemerintah atau DPR. Ini murni bisnis to bisnis.

Kedua, mengapa bank mau biayai pembelian PI itu dengan hanya jaminan dari saham yang akan dikuasai oleh SPV? Karena setelah Inalum kuasai saham itu melalui SPV , suara inalum akan mayoritas dalam rapat pemegang saham FI yang tentu inalum akan membuat keputusan tunduk kepada UU Minerba. Mengapa ? Agar valuasi saham FI tidak hanya dihitung senilai PI Rio Tinto atau replacement cost tetapi termasuk juga reserved sebesar USD 90 miliar atau lebih sampai dengan tahun 2041. Makanya Freeport McMoran setuju swap PI dengan saham. Karena saham dia di FI juga akan terdongkrak naik. Jadi semua win to win. Semua untung. Itulah skema financial engineering yang benar dimana semua stakeholder untung.

Ketiga. Pertimbangan lain bank adalah Tekhnlogi dan buyer. Oh engga usah kawatir. Freeport McMoran akan tetap menjadi mitra inalum sebesar 49%. Artinya valuasi Saham itu didukung oleh ketersediaan tehnologi. Bagaimana dengan buyer.? Rio Tinto walau tidak lagi pegang PI , akan tetap jadi partner sebagai off taker produksi. Jadi anda perhatikan, Inalum dapat jaminan Tekhnlogi dan buyer. Juga konsesi dalam bentuk IUPK dari pemerintah dimana deposit nya sudah provent. Atas dasar itulah bank Happy untuk membiayai pembelian PI. Paham ya.

Kemudian bagaimana inalum melunasi hutang itu? FI akan otomatis menjadi anak perusahaan inalum. Sebagai holding inalum bisa melakukan refinancing melalui pelepasan saham dibursa. Tentu valuasinya meliputi deposit, Tekhnlogi dan offtake market. Kalau saya hitung bodoh dengan hanya berdasarkan deposit freeport maka valuasi saham bisa 10 kali lipat. Artinya hanya jual 10% ( dari 51% ) saham ke publik, inalum sudah bisa lunasi hutang pembelian PI Rio Tinto. Kelak kalau membutuhkan dana lagi untuk ekspansi maka inalum bisa mengeluarkan convertable Bond ( hutang yang bisa ditukar dengan saham ) di bursa. Tanpa SPV harus delusi sahamnya di FI.

Jadi kesimpulannya inalum akusisi 51% saham Freeport Indonesia melalui right issue dengan duit pinjaman 100% yang sudah di secure melalui exit strategi yang kuat dan exciting. Sehingga mudah mendapatkan financial resource. Itulah financial engineering yang membeli bukan dengan uang ditangan tertapi dengan skema. Kita bersyukur di Era Jokowi, kesalahan yang tercatat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dapat diselesaikan. Tidak dengan kekuatan politik tetapi dengan kekuatan Bisnis. Para putra putri terbaik Indonesia tidak lagi menggunakan bambu runcing dan bedil untuk merebutnya tetapi menggunakan skill dibidang Financial engineering. Freeport exist karena kapitalisme dan penjajahan terjadi karena itu. Dan kita rebut dengan cara cara kapitalis. Ya melawan sistem harus dengan sistem. Udah engga jamannya lagi melawannya dengan nasionalisme sempit seperti Venezuela yang sok nasionalis tetapi bego.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.