Minggu, 08 April 2018

Jokowi, hope

Baru kali ini saya mendengar Jokowi bicara keras dan tegas disertai emosi dihadapan publik. Ini bukan soal orang menghinanya tetapi kepada meraka yang memberikan statement pesimis terhadap masa depan Indonesia. Mengapa sampai Jokowi emosi ? Karena semua tahu bahwa bangsa ini selama ini terpuruk karena mental para pemimpin yang sengaja menciptakan rasa takut kepada rakyat seperti ketakutan kepada PKI, takut utang, takut kafir , takut revolusi, takut bubar dll,sehingga rakyat tergantung kepada elite ba’ dewa pelindung namun menipu rakyat. Sikap mental inilah yang menjadi agenda utama Jokowi untuk mengubahnya agar Bangsa Indonesia punya sikap optimis tanpa rasa takut dan penuh passion untuk kerja keras menatap masa depan yang cerah.

Menteri di kabinet kerja Jokowi yang menakhodai bidang ekonomi adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Ada Jonan mantan banker Citibank. Ada ibu Susi pengusaha sukses. Ada Erlangga pengusaha dan asset Manager. Ada Thomas Lembong jago financial engineering. Ada SMI mantan direktur Bank Dunia, Ada ibu Rini mantan CEO Astra yang sukses dll. Mereka pekerja keras sejak usia muda. Mereka kreatif dan mandiri. Pada usia relatif muda mereka sudah mapan karena cerdas dan selalu optimis ditengah perjalanan hidup yang penuh kompetisi. Pada usia produktif bagi ukuran orang Indonesia karena belum masuk usia pension, mereka menentukan sikap. Mereka keluar dari kehidupan yang menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Dan kini Mereka bergabung dan bangga menjadi bagian mimpi Jokowi menjadikan Indonesia hebat.

Mereka ingin membentuk masa depan bangsa nya agar hidup lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan yang dimilikinya mereka bisa memberikan harapan kepada rakyat khusus yang duafa bahwa masa depan bukanlah yang mengkawatirkan. Ini merupakan langkah yang sangat ekstrim bagi ukuran manusia pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We should live and labor in our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom, and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya. Inilah salah satu berkah dari sistem demokrasi dimana orang baik akan mendapatkan ruang untuk berbuat baik dengan umur dan pontesinya, dan mereka mempu.

Bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi “keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh Jokowi dan mereka yang membantunya , yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru. Sikap mereka seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat demi rakyat , bangsa dan negara, yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah mereka capai sebelumnya.

Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, 2030 bubar. Orang optimis selalu untung kecuali orang yang selalu cemas. Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akibat rezim masalalu diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hukum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai.

Tentu kita tidak ingin itu terjadi, seperti diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) Samuel Beckett. Atau, masa depan bangsa ini seperti lentingan Bob Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he knows/that too many people have died. Setidaknya dari sosok Jokowi kita punya hope...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.