Kamis, 02 Februari 2017

Memburu harta (27)


Han memintaku menerima telephon dari Huang yang sedang berada di New York.
“Hi, Jaka,” terdengar suara Huang di seberang. “Apakah kamu merasa nyaman di sana?” 
“Sangat nyaman. Terima kasih.”
“Kami sudah mengajukan legal action di pengadilan New York kemarin.”
“Bagaimana kira-kira hasilnya?
“Masalah menjadi rumit karena tuntutan kita dilengkapi bukti fund confirmation dari US33. Mereka mempertanyakan bagaimana kita mendapatkan fund confirmation. Tapi itu bukan urusan kita. Karena sistem di US memang memungkinkan kita untuk mendapatkan fund confirmation.”
“Oh begitu. Lantas?”
“Fidelity group tetap mempertanyakan. Namun aku tahu, pihak US Treasury membenarkan akan hak kita. Semua ini adalah system. Semua berjalan secara otomatis. Anda tahu kan, bahwa kekuatan mata uang Amerika sebetulnya karena kekuatan system. Di mana The Fed sebagai pelaksana dan US Treasury sebagai regulator dan penguasa mata uang. Kedua pihak tidak pernah mencampuri urusan masing-masing. Itulah yang membuat US dipercaya. Sehingga mata uang US dollar menjadi pegangan bagi semua negara di dunia.” 
Aku mendengarkan penjelasan Huang dengan seksama sebelum akhirnya aku menyhut, “Dan lagi, US Treasury tidak pernah tahu atau terlibat dalam forfaiting aset. Itu adalah tanggung jawab The Fed sebagai administrator deposit trust. US treasury mengakui transaksi yang dilakukan di Swiss hanya berdasarkan ketentuan dari US 33. Itu saja!” 
 “Kau benar sekali. Mereka kini menyadari bahwa kita bukanlah pihak yang mudah ditaklukan.”
“Ya, aku tahu. Bagaimanapun mereka  tidak ingin menjadikan gugatan itu untuk merusak system yang mereka miliki.” Kataku girang.
“System apa?” Terdengar suara Huang setengah bertariak. “Kita tidak pernah mencoba merusak system mereka. Kita hanya mengikuti system yang mereka punya dan mendapat keuntungan dari sytem itu. Itu saja.”
“Ya! Yang aku kawatirkan bila ada kesepakatan baru antara The Fed dan US Treasury khusus tentang masalah ini.” 
“Sejak RUU Kennedy ditolak oleh senate, regulasi US tidak pernah mengakui keberadaan decade asset. Artinya US tidak pernah mendapat keuntungan apapun dari decade asset itu,” Kata Huang. “Lantas apa yang harus disepakati diantara mereka? Menurutku, kasus ini sangat besar pengaruhnya bagi kelangsungan The Fed. Kita akan mendesak pengadilan untuk memaksa The Fed mengakui keberadaan aset ini berdasarkan fund confirmation yang dikeluarkan US33,” jelas Huang yang justru membuatku semakin maklum, bahwa group fidelity sudah terjebak dengan kebohongan yang mereka buat sendiri.
“Ya, kalau begitu akui sajalah. Toh, aset itu secara hukum hanya terdaftar tapi tidak pernah settle mendukung system moneter US.” Kataku. “ Keliatanya memang rumit ya?”
“Aku mendapat informasi bahwa Madam Lyan sebagai Senior Advisory dari US Treasury. Dia telah ditugaskan untuk melobi kita secara resmi.”
“Wow, bagus! Sekarang bola ditangan Anda. Kita bisa selesaikan kasus ini diluar pengadilan. Ya kan? Kira-kira apa deal-nya?”
 “Mereka minta kita mencabut gugatan, dengan mengakui decade asset yang ditempatkan sebagai jaminan forfaiting trading program adalah illegal. Sebagai gantinya, kita akan mendapatkan dana sebanyak nilai rekening trading yang diblock. Dananya berasal dari sumber lain. Kasus selesai,” kata Huang kemudian.
“Benarkah itu? Artinya jumlah yang akan kita terima tetap sama yaitu senilai hasil transaksi?”
“Ya. Transaksi yang kemudian dinyatakan batal berdasarkan kesepakatan.  Dan semua pihak harus menandantangani Non Disclosure Agreement.” 
“Apakah Anda setuju?” kataku bingung. Kalau ini disetujui, maka tahulah aku bahwa Naga Kuning hanya berpikir soal uang.
“Baiklah Jaka, nanti kita sambung lagi.” Kata Huang menutup pembicaraan via international phone yang aman.
***
Pagi itu, Han datang ke paviliun tempatku menginap. Dia membawa kabar tenteng Lien.
“Tadi, Lien menelepon. Mereka akan mendarat di Beijing besok malam.”
Aku terkejut sambil berdiri dari tempat dudukku. “Benarkah?”
“Ya.”
“Oh. Bagus.” Aku tersenyum senang. Sudah dua minggu lebih aku berada dalam penantian di paviliun ini.
“Tapi, Anda di minta pergi ke Hong Kong hari ini.”
Aku mengernyit. “Mengapa tidak menunggu sampai mereka tiba saja? Kenapa harus buru-buru?”
“Aku tidak tahu, Pak Jaka.”
“Baiklah.”
“Nah, kalau begitu silahkan bersiap-siap,” kata Han sambil mengeluarkan telepon. Kemudian berbicara dengan seseorang. “Dalam satu jam, supir akan menjemput Anda menuju bandara. Tiga orang team kami akan mendampingi Anda selama dalam perjalanan.” 
Han menyerahkan sebuah laptop berwarna hitam. “Laptop ini terhubung dengan satelit kami. Artinya, Anda dapat menggunakan access ke Fed System dengan menggunakan laptop ini. Darimana pun Anda mengaccess, para hacker hanya dapat mengetahui IP address-nya di Beijing. Lokasi tepatnya tidak akan pernah terlacak secara pasti. Jadi Anda tetap aman dari deteksi pihak manapun,” jelas Han. Aku menerima laptop dan berlalu, namun Han segera menyergah. “Cobalah terlebih dahulu. Aku ingin memastikan, Bapak dapat mengakses LAN system kami,” kata Han tersenyum. 
Aku menghidupkan laptop dan menekan LINK ACCESS satelite. Tak berapa lama, muncul tanda berupa gambar PC dan satelit yang saling terhubung. 
“Mudah, kan?” kata Han, aku mengangguk.
Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Membawa sebuah tas yang aku kenal betul, itu adalah milikku. “Tas ini baru kami terima kemarin dari orang kami di Hong Kong,” kata Han sambil menyerahkan tas itu. Anda bisa periksa tas ini, kalau-kalau ada yang hilang.”
Aku memeriksa isi tas tersebut. Semua dalam keadaan utuh. Termasuk dokumen paspor dan yang lainnya. 
“Maaf terlambat menyerahkan. Pihak Hong Kong memerlukan waktu untuk investigasi formal.”
Aku mengangguk dan teringat peristiwa di Hong Kong. Empat nyawa melayang karena pistol Beretta Lien. Aku mengira-ngira, apa yang akan aku lakukan di Hong Kong? Tapi yang jelas, tidak ada hal sederhana. Apalagi kepergianku didampingi oleh tiga orang team Naga Kuning. Aku yakin, mereka adalah pengawal terlatih yang ditugaskan untuk menjagaku.
Di dalam kendaraan menuju Bandara, Han memperkenalkan mereka satu persatu. Aku hanya hafal nama singkat mereka, A Su, A Ming, dan A Ko. Mereka semua dapat berbahasa Inggris dengan baik. Berusia tidak lebih dari empat puluh. Kesemuanya berperawakan atletis dan sangat ramah.
“Jaga diri baik-baik, Pak Jaka,” pesan Han saat melepasku masuk ke dalam border. “Aku akan tetap di sini. Kita akan selalu berhubungan,” lanjutnya. Aku merangkul Han. “Tentu, kita akan selalu berhubungan.”
Di dalam pesawat, A Su dan A Ming duduk di kursi sebaris dengan ku, di seberangnya duduk A Ko. Aku berusaha tidur sementara ketiga orang itu asik membaca buku. Seakan mereka tidak ingin tidur untuk sekedar beristirahat. Walau penerbangan ke Hong Kong membutuhkan waktu cukup lama, sekitar empat jam.
Setibanya di Hong Kong, kami dijemput oleh seorang pria yang memperkenalkan dirinya dengan nama, Qiu. Dengan sebuah mobil Van kami melaju keluar dari bandara. Di tengah perjalanan terdengar suara A Ming berbicara melalui telepon selular dalam bahasa Mandarin.   Kemudian dia menoleh ke belakang.
“Kita diikuti,” katanya. Semua mata serentak menatap ke belakang. Nampaknya tadi A Ming dihubungi seseorang, dan memberitahu bahwa kami sedang diikuti.
Aku memperhatikan lewat kaca spion, kendaraan yang melaju di belakang kami berwarna putih jenis Merci. Berjarak tidak lebih dari 200 meter di lintasan bebas hambatan. Semua yang ada di dalam kendaraan tampak tenang, kecuali aku. Sepertinya, sesuatu hal akan segera terjadi. Firasatku berkata demikian.
Tak berapa lama, kendaraan berbelok menuju wilayah Aberden di pinggiran kota Hong Kong. Kendaraan meliuk-liuk menyusuri daerah perbukitan. Jalanan nampak sepi, tidak seramai jalan bebas hambatan tadi. Ketika kendaraan berbelok pada satu tikungan, aku memperhatikan kendaraan yang mengikuti kami  masih terlihat. Tepat di belakang Merci itu, terlihat pengendara motor  balap dengan kecepatan tinggi. Kemudian, pandanganku tertutup bukit. Dan, sekejap kemudian, BOOM!! terdengar suara ledakan hebat. Jantungku berdetak keras. Kukira, saat itu wajahku pasti telah pucat pasi. Namun ketiga pengawalku masih saja tenang dan menguasai situasi. 
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saat menoleh ke belakang, yang muncul dari balik tikungan hanya motor balap yang melesat bagai anak panah. Pengendaranya melambaikan tangan sambil mengacungkan jempol terbalik, menunjuk ke arah bawah dengan tangan kirinya ketika melewati kendaraan kami.
“Apa yang terjadi?” tanyaku gugup.
“Mobil yang mengikuti kita sudah diledakkan,” kata Qiu.
“Diledakan?”
“Ya, granat tangan.”
“Oleh siapa?”
Mereka hanya tersenyum menatapku. Tidak ada jawaban. Dalam pikirnya mereka pasti mentertawakan kebodohanku dalam hal premanisme. Ah, sial! Rutukku dalam hati. Seharusnya memang aku diam saja dan tak banyak tanya. Namun aku segera paham, kalau pelaku peledakan mobil itu adalah pengendara motor yang baru saja melewati kami.
Kendaraan kembali berbelok masuk ke jalan kecil, berkelok-kelok dan mendaki. Tak berapa lama kemudian, kami sampai di suatu tempat. Sebuah tempat peristirahatan yang luas dengan pagar tinggi. Pintu gerbang terbuka secara otomatis. 
Kendaraan berhenti ketika sampai di depan tangga. Tangga itu menempel pada tebing yang agak vertikal. Kami keluar dari mobil dan menaiki tangga. Dari atas tangga, terlihat sebuah rumah besar bercat putih. Aku melirik ke bawah, sebuah motor balap di parkir tidak jauh dari Van.
Seorang wanita keluar dari balik pintu dan, “Selamat datang, Jaka,” Lien menghambur ke arahku sambil merentangkan tangan, memelukku erat. 
“Senang ya, bisa ketemu lagi,” seru Lien dengan wajah merona. Dari jaket yang dia kenakan, aku tahu bahwa pengendara motor tadi adalah Xiau Lien. Dadaku berdesir menatap wanita yang saat ini, berdiri tegak di hadapanku dengan senyum mengembang. Aku gemas!
“Kapan kamu kembali dari Amerika?”
“Kemarin.”
“Aku pikir langsung ke Beijing.”
“Chang dan lainnya yang ke Beijing.”
“Oh, begitu?”
Lien menarik tanganku masuk ke dalam, diikuti yang lainnya. “Untuk sementara kita akan tinggal di sini,” kata Lien. 
Aku memperhatikan sikap rombongan yang lain, terlihat sangat menghormati Lien. Ketika Aku duduk bersama Lien di ruang tamu, mereka tetap berdiri tanpa suara. Sepertinya Lien adalah ketua team ini.
“Aku dapat kabar dari Han, bahwa kamu sudah memahami e-banking dengan baik. Juga sudah mampu menggunakan database Euroclear, Clearstream dan DTCC.”
“Ya. Tapi aku belum bisa mengakses secara online karena bukan member.”
“Sekarang kamu sudah bisa mengaksesnya. Kita sudah punya cukup dana untuk jadi member.”
“Oh ya?” tanyaku sambil memicingkan mata. Bingung dengan apa yang baru saja di sampaikan Lien.
“Ya. Bukalah laptopmu. Akan kuberikan password membership.”
Aku membuka laptop dan melakukan link ke satelit. Dengan cepat koneksi segera tersambung. Lien tersenyum menatapku. “Langsung ke situs Clearstream,” serunya. 
“Ya,” kataku sambil mengetik alamat Clearstream. Lien berdiri dan melangkah ke sebuah kulkas di mini bar ruang tamu. “Minum?” tanya Lien sambil melambaikan sebotol wine.
“Tidak, terima kasih. Air mineral saja.”
Lien mengambil sebotor air mineral dan menyerahkannya kepadaku. “Saatnya kamu gunakan acces code untuk masuk ke Fed System,” kata Lien.
“Acces code?” aku terperanjat dan menatap Lien untuk beberapa saat. Namun akhirnya, aku kembali memperhatikan monitor laptop. Dalam hati aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin Lien tahu keberadaanku sebagai pemegang acces code? Mungkinkah Boy yang memberitahunya? Padahal, aku sendiri tidak yakin bahwa code yang ada padaku dapat digunakan.
“Cobalah! Apapun hasilnya, kamu tetaplah si pemegang takdir. Kami percaya itu,” kata Lien tersenyum menepuk bahuku.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin bertanya lebih jauh bagaimana Lien bisa tahu. Yang jelas, aku sedang berada di sebuah lingkungan team yang kuat dan terorganisir dengan baik. Apalagi aku juga pernah mendengar dari Lien bahwa teamnya sudah bekerja sama dengan team Lady Rose dalam operasi ini.
“Access denied.” 
Kalimat itu yang nampak di layar monitor ketika aku memasukkan acces code ke dalam Fed system. Nampak kening Lien berkerut. Matanya melotot ke layar monitor. 
“Tunggu sebentar.” 
Lien kemudian mengambil-alih laptop dari tanganku. Jarinya dengan lincah mengetik sesuatu, masuk ke dalam LAN access. 
“Aku akan melacak routing melalui LAN server kami di Beijing. Mereka mem-block access kita!” Lien menatap mataku dengan mimik penuh kepanikan. 
“Kode yang kamu masukin benar. Mereka tidak mungkin mem-block access kalau kodenya salah,” sambung Lien.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” 
Telepon selularnya berbunyi. Usai menerima telepon, dia semakin terkejut dan wajahnya nampak tegang. Terdengar dia bicara kepada ketiga orang teamnya dalam bahasa Mandarin. Mereka serentak pergi ke sebuah lemari di sudut ruang tamu. Dari dalam lemari, mereka mengeluarkan sesuatu, ternyata beberapa pucuk senjata. Sepertinya situasi genting akan terjadi.
“Beijing memberitahu, bahwa keberadaan kita di sini sudah terlacak lewat satelit mereka,” kata Lien menatapku tegang.
“Bagaimana mungkin?” sergahku panik.
“Akses yang baru saja kamu lakukan, memungkinkan mereka melacak keberadaan kita. Teknologi yang kami sediakan untuk mengacak satelit mereka, berhasil mereka atasi,” kata Lien.
Lien menatap ketiga teamnya yang sedang berjaga di depan jendela, sambil sebentar-sebentar memandang keluar. 
“Mereka pasti datang dan itu tak akan lama,” Lien berkata kepadaku dengan wajah dingin. Tak nampak sama sekali rasa takut menyelimuti wajahnya. Terlihat sedikit senyum di wajahnya namun sikap siaga menghadapi segala kemungkinan buruk tetap tidak berkurang.
“Apakah kamu pernah merasa takut?” tanyaku sedikit ragu. Tiba-tiba aku sedikit menyesal karena telah melontarkan pertanyaan itu. Lien menghampiri dan duduk merapat di sampingku, menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Jak,” Lien melirik, “Sedari kecil aku tidak mengenal orang tua. Aku hidup di panti asuhan. Sedari kecil aku di latih untuk bertahan hidup. Saat remaja aku di latih untuk menjadi protector. Setelah dewasa aku di didik untuk setia membela negara. Walau aku pernah sekolah sampai ke Harvard, namun rasa cinta dan bela negaraku tak pernah lekang dalam jiwa. Bagiku, Negara adalah ibu kandung. Partai adalah ayah kandung. Kepada merekalah aku berbakti!”
“Apakah kamu percaya tentang Tuhan?”
“Tuhan?” seru Lien.
“Ya.”
“Tentu saja aku percaya! Tapi selama dalam perburuan aset ini, aku mulai belajar banyak tentang kehidupan. Banyak hal yang sulit dipahami dalam perjuangan ini. Namun berkat budaya kami yang tinggi, yang selalu membuka diri pada hal yang gaib, maka tak sulit bagiku untuk mengenal Tuhan. Apalagi setelah mengenal kamu dan terbukti kamulah orang yang terpilih,” Lien mengangkat kepalanya. Wajahnya lurus, tepat berada di depan wajahku. Beberapa detik lamanya kami salaing pandang dalam diam. Lalu kuberanikan diri untuk bertanya dengaan suara lirih,“Bukankah komunis anti Agama. Anti Tuhan?”  
“Itulah persepsi kebanyakan orang tentang Komunis. Komunisme Cina amat berbeda dengan Marx atau Lenin karena keduanya menempatkan agama sebagai sesuatu yang unmatter meski dengan jalan tak langsung. Bagi kami, agama seperti obor yang berada di luar dan tidak memasuki benda itu seluruhnya. 
Kesadaran kami dari dulu sampai sekarang secara sosiologis maupun antropologis tak mungkin menjadi materialis seperti yang dialami Barat. Yang secara tak langsung melahirkan Marxisme di dalamnya. Masyarakat Cina adalah masyarakat yang selalu percaya akan adanya kekuatan lain di luar diri, yang menguasai alam serta isinya. Dan kekuatan ini bersifat gaib. 
Ada berbagai kepercayaan di Cina seperti animism dan dinamisme. Agama Hindu, Budha, Kristen, dan Islam juga bermunculan dan dianut oleh sebagian penduduk Cina. Teori revolusi Marx hanyalah sebagai metode bukan sebagai dogma. Oleh karena itu, Marxisme bagi kami harus dipahami dalam kerangka teoritis. Dan penerapannya amat tergantung pada kondisi masyarakat di mana dia tinggal. Jadi, yang penting dari Marxisme adalah penerapan metode berpikir Marx, bukan menjalankan hasil berpikirnya. Jadi, tetaplah kami sendiri yang membumikan budaya dan keyakinan kami kepada Tuhan.”
“Oh begitu?”
“Lantas apa persepsi kamu tentang Tuhan?” tanya Lien sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.
“Mau tahu?”
“Mulailah dari hal yang sederhana. Setidaknya bagaimana pun kamu sudah bisa mengenal Tuhan. Mengenal Tuhan adalah mengenal akan kesejatian cinta. Tentang ketulusan, kesabaran, kesamaan, kebersamaan, rendah hati, keyakinan dan kepercayaan. Semua itu bila menyatu dalam diri kita, sebetulnya kita sudah mengenal Tuhan secara utuh. Bila sifat tersebut menjauh dan cinta menjadi bersyarat, maka kita tak akan pernah mengenal Tuhan.”
Lien nampak terpesona dengan kata-kataku. “Hal itu tidak mudah kan, Jak?”
“Ya, memang tidak mudah. Tapi yang harus kamu ingat bahwa di dalam diri kita sudah ada bekal kehadiran cinta itu. Kita mendapatkannya melalui transfer cinta seorang ibu dan perhatian tulus seorang ayah kepada kita. Inilah yang membentuk kita menjadi mahluk sosial sekaligus makhluk moral. 
Setiap dari kita, terlahir dengan sifat religius untuk membaca sesuatu dan mengungkapkannya secara non verbal. Ungkapan non verbal itu tak bisa dijelaskan dengan akal tapi dia menjadi bagian dasar dari diri kita. Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa itu ada. Tapi tak pernah bisa secara utuh menjelaskannya.
Sifat marah, bahagia dan lain sebagainya yang terungkap dengan bahasa tubuh, itulah spiritual kita. Maka untuk mengendalikan sifat bahagia, marah, sedih dan lainnya haruslah dengan cara-cara spiritual pula. Itulah gunanya agama untuk mendidik dan menuntun kita memahami hal yang gaib. Agar kita menjadi sempurna sebagai mahluk sosial maupun moral.”
“Hmm..” Lien berdiri dari tempat duduknya setelah melihat ketiga teamnya yang siaga setelah melihat sesuatu di luar.
“Mereka sudah datang,” kata A Kok setengah berteriak. 
Lien segera melihat ke arah jendela. Dua buah mobil van bergerak lambat sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gerbang. Delapan pria berlompatan dari dalam kendaraan. Mereka berhasil melompati pagar dan mulai masuk menuju bangunan di mana kami berada.
“Saatnya kamu melindungi dirimu sendiri,” kata Lien sambil menyerahkan sepucuk senjata FN  kepadaku. 
“Pegang erat senjata ini dan arahkan pada sasaran,” jelas Lien memberikan arahan.
Tiga orang team sudah berada di luar bangunan.  Sementara Lien tetap di ruang tamu bersamaku, menanti dengan tegang kedatangan tamu tak diundang. 
“Apakah tidak sebaiknya kita hubungi pihak kepolisian?” tanyaku.
“Tidak mungkin. Kita harus hadapi mereka sendiri,” kata Lien tegas dengan mata tetap fokus ke arah jendela.
Selang beberapa saat yang menegangkan. Terdengar teriakan A Kok. Kepalanya bersimpah darah dan jatuh tepat di teras. Sementara A Su dan A Ming segera mundur ke belakang. Sebelum akhirnya mereka berlari ke dalam rumah sambil melepaskan tembakan.
“Tiarap!” teriak Lien sambil melompat menyambarku. Kami bergulingan ke samping sofa. 
Sejenak kemudian, beberapa peluru menembus kaca dan membuatnya pecah berhamburan. Sama sekali tak terdengar suara desingan karena rupanya, mereka menggunakan peredam. Keadaan menjadi hening untuk beberapa saat. Lien menoleh ke samping, melihat A Ming dan A Su meregang nyawa sambil memegangi dada mereka yang tertembus peluru.
“Tetap di sini,” kata Lien yang masih terlihat tenang dan tersenyum kepadaku. Lalu dia berkonsentrasi pada empat orang yang berdiri tepat di depan jendela kaca lebar. Di kedua tangan kanan dan kirinya tergenggam pistol. Lien melompat keluar dari jendela kaca yang sudah pecah dengan bersalto. 
Aku memperhatikan dari balik sofa. Lien melayang sambil melepaskan tembakan ke arah empat orang yang berdiri dalam formasi sejajar. Memudahkan Lien mengarahkan tembakan untuk melumpuhkan mereka sekaligus. Benar saja, tidak satupun tembakan Lien yang mereleset. Semuanya tepat mengenai sasaran di kepala. Empat pria itu  jatuh tersungkur.
Lien berguling ke samping, lalu segera bangkit, dengan tubuh membungkuk, dia berlari ke bawah untuk menyambut empat orang lainnya.  A Qiu tiba-tiba muncul kembali dari balik tangga sambil berlari ke arahku.
“Cepat! Ikut aku!” teriaknya. Aku mengikutinya setengah berlari menuruni tangga. Di bawah, Lien sudah berada di atas motor balap dengan helm terpasang. Di sisi tangga ada emat mayat lain berserakan dengan senjata masih di tangan. Kukira, mereka jadi korban aksi Lien barusan.
Lien segera memacu motornya dengan kecepatan tinggi melewati gerbang. Sementara aku dan A Qiu, mengikuti dari belakang dengan kendaran Van. “Kamu tidak apa-apa?” tanya A Qiu.
“Ya. Aku baik-baik saja.” Jawabku dengan dada bergetar.
“Bagus,” seru Qiu. “Kita akan menuju ke perbatasan Shenzhen.”
Kendaraan kemudian berbelok ke sebuah bangunan yang masih berada di dalam komplek. Di parkiran basement sudah menanti kendaraan lain dengan mesin menyala. Seseorang keluar dari kendaraan dan berganti tempat dengan A Qiu. 
“Nyalakan laptopmu dan tinggalkan di kendaraan itu!” kata A Qiu kepadaku. Aku segera menghidupkan laptop yang dengan cepat terhubung ke satelit. 
“Mereka akan menduga kita masih berada di gedung ini. Aku harus pastikan kita selamat sampai tujuan dengan kendaraan ini,” jelas A Qiu sambil melesat keluar dengan kendaraan yang baru saja ditukar.
Lien sudah berada di tempat ketika aku dan Qiu sampai di perbatasan Shenzhen. Hari sudah menjelang sore. Tempat itu berada di resort hotel, di kaki bukit. Sebuah tempat yang sangat indah dengan panorama alam yang asri.
Lien nampak sedikit murung. Namun, di hadapanku dia berusaha terlihat tetap tenang. Lien  tersenyum ketika aku datang menghampirinya.
“Kelihatannya sedikit kacau, ya?” kataku memecah kebisuan.
“Ya.Tapi tidak ada masalah,” jawab Lien tersenyum. “Yang penting kamu tidak apa-apa, kan?”
“Yah..” aku mendesah panjang teringat akan tiga orang team yang mendampingiku dari Beijing sudah tewas. Sebuah pertaruhan yang tidak murah. Tapi team ini masih tetap sama, tenang dan santai. Seolah begitu terbiasa dengan pertarungan semacam ini.
“Kami gagal menembus access mereka. Mereka bahkan sudah melacak keberadaan kami,” kata Lien serius. “Kamu tidak aman lagi bersama kami.”
Aku menatap Lien dan melihat raut kekhawatiran di wajahnya. “Waktumu hanya sampai besok pagi untuk segera keluar dari Cina dan pergi ke Singapura,” lanjut Lien.
“Pulang ke Jakarta?”
“Ya.” Lien berlinang air mata.
“Kita tidak gagal, kan?” kataku memegang bahu Lien. Coba menjaga asa yang sedang redup setelah kejadian itu.
“Berangkatlah besok pagi. Aku akan pastikan team kami di Beijing untuk terus mengacaukan keberadaan kamu lewat satelit,” kata Lien mengabaikan pertanyaanku.
“Mereka sangat tangguh. Tapi aku yakin, kita akan menang. Team Lady Rose sudah menanti kedatanganmu di Singapura.”
Aku menduga, bahwa yang dimaksud dengan team Lady Rose adalah Boy Steward. Itu artinya Boy sekarang ada di Singapura.
“Aku sudah bicarakan masalah serangan ini pada Boy, termasuk kegagalan kami melakukan access. Mereka punya plan B untuk menyelesaikan misi ini. Beijing pun sudah menyetujui. Aku harap semuanya berjalan sesuai rencana,” kata Lien sedikit terbata. Kami saling berpelukan. 
Malam itu, Lien nampak ceria bermain kartu denganku dan Qiu. Aku minta izin untuk tidur ketika jam menunjuk pukul sebelas malam. Ketika terjaga pukul dua pagi, aku melihat Qiu tetap berjaga di ruang tamu. Sementara Lien tertidur di sofa dengan sebuah pistol tergeletak di atas meja. Seraut wajah polos dan lelah tampak di sana. Betapa, wanita itu telah menjalani hidup yang sangat keras. Sekeras karang di lautan luas. Aku menghela nafas panjang, melonggarkan dada yang tiba-tiba terasa, sesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.