Minggu, 29 Januari 2017

Citailah aku .. (2)


Jessica namaku. Sesuai permintaan dari Dono aku harus kembali ke pangkuannya. Atau tepatnya di pekerjakannya. Dalam diam aku duduk di korsi kerja  ini. Korsi yang pernah sekian tahun aku duduki dan akhirnya aku tinggalkan. Di kursi yang sama tempat kali pertama aku membuktikan siapa aku. Bahwa aku bukan wanita murahan. Hanya bisa tangan di bawah dan tidur di bawah. Saat ini aku memakai rok berwarna biru, dan blesser berlengan panjang warna biru. Dono mampir kekantorku mengenakan celana jins hitam dengan kaus berlengan pendek warna hitam. Dono duduk disofa seakan mengharapkan aku ikut duduk disebelahnya atau di hadapannya. Apa pentingnya bagi dia. Depan atau di sisinya, itu biasa saja.,Aku memilih duduk di sisinya.  Perlahan, kusandarkan kepalaku di bahu kirinya. Pandangan kami sama, mengarah ke TV yang sedang menyiarkan berita. Perlahan dia  menundukkan kepalanya dan mengecup kuat keningku. Dan mengalirlah perintah yang harus aku dengar dan patuhi.

“ Aku minta kamu hubungi mereka yang berpotensi untuk jadi mitra kita. Ini informasi tentang mereka. “ Katanya sambil menyerahkan setumpuk dokumen. “ Pelajari itu semua. “ Lanjutnya dengan tegas.
Aku meihat sekilas dokumen itu dan membacanya dengan cepat. “ Ini artinya aku harus terbang ke Shanghai. Mungkin harus buka kantor di sana”
“ Buatlah rencana. Nanti kasih tahu aku ya. “ 
“ Baik ! Aku akan pelajari dan buat rencananya.”
“ Good.”  Dia langsung berdiri melangkah keluar kamar kerjaku.

Aku termenung sambil memandang kepergiannya. Padahal aku ingin lebih banyak berbicara tentang hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku.  Aku tahu betul tentang dia. Karena aku pendengar yang baik. Dia bercerita tentang ibunya. Kedekatannya dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya dia satu-satunya yang dibuat pening oleh ibunya.. Hanya kepada dialah ibunya suka menuntut banyak hal. Bahkan membuat dia selalu jadi kanak kanak di hadapan ibunya. Beda dengan saudaranya yang lain. Namun, dia menemukan kebahagiaan dari sikap ibunya itu. Dia terbiasa hidup seperti itu. Terbiasa dimanjakan ibunya dan juga terbiasa di omelin ibunya. Manusia memang seperti itu, katanya. Kita hidup karena terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian hidup kita. Aku hanya terdiam seolah mengiyakan.

Pernah satu kali aku di bawanya dalam business trip ke Changsa. Bagiku itu kali pertama berkunjung. Sementara dia, sudah puluhan kalinya. Karena dia punya pabrik filter knalfot kendaraan untuk mobil rendah emisi. Itu business proteksi. Tekhnologi dia dapat dari German dan ditingkatkan kecanggihannya di Wuhan. Berkat koneksinya dengan petinggi militer di China dia dapat konsesi business monopoli di kota itu. Aku terlihat takjub dengan kunjungan itu. Sepertinya dia ingin menunjukan kepadaku bahwa dimana saja kekuasaan bisa dimanfaatkan asalkan tahu bagaimana membeli jiwa orang. Hormati orang dan pastikan orang merasa nyaman untuk bersama kita. Setelah itu banyak hal bisa di lakukan. Itu nasehatnya kepadaku. 

Pada kunjungan ke Changsa itu, memang tak ingin dia buat istimewa. Hanya sekedar kunjugan business. Dan kalaupun ada selingan, maka itu hanya jalan jalan ke mal, makan, ke spa  , nonton theater, dan jika masih ada sisa waktu,  nongkrong di kedai kopi. “ Tidak. Aku ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat sulit mempercayai orang lain, sampai kau lebih merasa nyaman dengannya. Tapi, aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti hubungan kita secara akal sehat. Mitra bisnis yang lahir dari persahabatan. Engga ada masalah kan“ 
.
Di kedai kopi yang menghadap ketaman. Kami bersediam. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air kopi seharga 15 Yuan. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Dia dengan keluarganya, dan aku dengan impian-impianku. Sejak kunjungan itu aku lebih mengenal dirinya. Selanjutnya aku berharap bisa pergi bersamanya ke Eropa, Melihat keindahan Eropa seperti ceritanya. Menjelajah kota kota eropa timur. Tapi harapan itu tak kunjung datang. Dia  selalu sibuk dengan bisnisnya dan aku juga sibuk dengan tugas sebagai eksekutif dari salah satu perusahaannya.

Aku menyadari bahwa baginya pada akhirnya terlihat lebih nyaman bila aku tidak banyak menuntut untuk bertemu.  Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang dia lakukan untukku. Dia  sangat peduli dengan putriku satu satunya dari perkawinanku yang gagal. Aku merasa dia sangat sempurna sebagai ayah, dan selalu ada untuk putriku. Padahal itu bukanlah anak kandungnya. Tapi sikapnya membuat aku terperangkap dalam jiwa bahwa aku memang tak berdaya. Dia memberiku kesempatan menjadi wanita pebisnis dan memberiku kehormatan di hadapan putriku. Yang lebih penting lagi dia selalu ada untuk ku…

“ Mengapa kau tertarik denganku ? Kataku suatu waktu. 
“ Ingat engga.” Katanya sambil tersenyum”  Ketika kamu menuju mal tempat kita akan bertemu, aku kaget sewaktu kamu meneleponku bahwa kamu naik bus karena sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku lihat dari lounge hotel, kamu turun di seberang mal dan menaiki jembatan penyeberangan. Kamu bertemu denganku ekspresi khawatir. Tak kamu pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kamu setengah berlari dari pintu mal untuk bertemu denganku. Kamu segera menjabatku dan berbisik bahwa kamu khawatir pertemuan ini gagal. Karena maklum udah berkali kali kamu ingin betemu denganku.. Saat itu kamu begitu polos atau tepatnya wajah keibuan meski wajahmu basah oleh keringatmu. “
“ Dan dari pertemuan itu, aku gagal menaklukanmu sebagia konsumen. “
“ Ya. Tapi kamu berhasil menaklukan ego ku. Dan akhirnya kamu mendapat lebih dari yang kamu harapkan.”

Kini di sinilah aku berada, di kursi seorang Direktur Utama yang sama seperti tahun lalu. Kadang aku tersenyun sendiri. Bagaimana kedekatan sebagai sahabat tidak menghasil sex yang hebat. Seakan ada dinding tebal yang sengaja dia ciptakan untuk ku agar aku tidak bisa melompat ke ruang hatinya. Aku ingat saat ada kesempatan  bercinta untuk pertama kali denganya. Saat itu aku bersedekat dengannya dan bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya.  Dia sekuat tenaga mencoba menahan larva itu untuk tetap berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama. Namun aku mulai menyadari matanya mulai terpejam seakan menahan letupan magma itu. Itu tak pernah tuntas dan selanjutnya selalu gagal. 

Saat aku menyadari kenapa aku mencintainya. Jawaban itu ada di matanya. Mata yang selalu terbuka saat dia  mengarahkanku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan oleh bibirnya yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar. Melihat dan terlihat oleh matanya, membuatku selalu telanjang. Seharusnya aku ngeri. Karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.

Dia, lewat matanya, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang dia tawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang hidup tanpa beban, kebebasan yang bermoral, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada dia  dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. 

“ Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.” kataku ketika berpisah denganya tahun lalu.

“ Sesekali kamu harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah kamu harus sadar bahwa aku atau kamu tidak akan pernah saling memiliki. Karena pemilik sejati adalah Tuhan. Kita hanya menjalani lakon dari Tuhan saja. Tidak ada yang serius selain Tuhan. Jujur, sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat bercumbu denganmu. Kamu membiarkanku memasuki gerbang sorga itu, yang akan membuatku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas. Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, “ Katanya. Aku terdiam, bibirku mengerut kecut. Semudah itukah dia bersikap. Dan Diapun terpejam, membiarkan aku pergi.

Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi persahabatan , aku tak ingin membuat dia bertanya tanya jika aku benar benar menghilang darinya. Aku yakin suatu saat dia akan memanggilku kembali. Tentu akan Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara. Demi kepuasannya , aku harus menjalankan peran itu hingga selesai. Inilah takdirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.