Sabtu, 22 Oktober 2016

Deal


Manusia saling bertemu dalam cara yang berbeda. Ada yang membeli, ada yang memberi. Perang dan damai karena sebuah transaksional.Hidup adalah sebuah arena tarung , sebuah rimba yang tak pernah habis. Kompetisi adalah keniscayaan. Menolak pasar, adalah kekalahan. Suka tidak suka setiap orang harus jadi pedagang. Bahkan pendeta, Dai harus menjadi pedagang yang baik agar hal yang imajiner laku di jual, sehingga stasiun TV dapat meningkatkan rating, business dapat mendatangkan uang dari komunitas yang ada. Ketika pasar jadi sebuah kekuatan yang merasuk ke-seantero planet, dan perdagangan menjamah tanpa batas. Ialah bahwa kita hidup seperti kisah Udin di sebuah bedeng

Di sebuah zona perkebunan besar. Ada sebuah perkampungan ditengahnya , yang disebut “ bedeng”. Para penghuninya disebut “ anak bedeng” Mereka , para penghuninya tentu bukanlah anak anak. Mereka adalah anak asuh dari mucikari yang memiliki bedeng. Makanya disebut dengan “anak”. Satu saat seorang pemuda krempeng bernama Udin, datang ke bedeng itu. Setelah tersenyum ragu menatap deretang anak bedeng yang duduk di teras. Diapun mengangguk kepada seseorang wanita yang tidak begitu cantik, juga tidak muda lagi. Ada keraguan yang cantik dan muda adalah mahal. Atau mungkin kurang yakin untuk menawar. Tapi , dia memang newcomer . Wanita itu mendekati Udin seakan kenal bahasa isarat.

“ Sudah tahu berapa harus bayar “ Kata wanita itu tanpa expresi apapun.

“ Eh…hm..” Udin gelagapan.

“ Kenapa ? “ wanita itu nampak kesal “ Cepatlah katakan padaku. Waktu saya terlalu berharga untuk hanya menunggu kamu menawar “ Sambung wanita itu.

“ Saya tidak punya uang. Tapi saya ada sesuatu yang bisa saya berikan kepada kamu “ Udin berkata dengan nada ragu.

“ Maaf, saya hanya kenal uang. Selain itu tidak ada !” wanita itu terus berlalu. Tapi pria itu berusaha mengejar dengan cepat “ Ini pemberian lebih dari uang” Katanya.

“ Apa itu ? Wanita itu berkerung kening.

“ Solusi.” !

“ Solusi ? wanita itu menggelengkan kepala “ Saya butuh uang bukan solusi ! Kamu hanya membuang waktu saja. “

“ Dengarlah ..”

“ Kamu yang harus dengar ! wanita itu berteriak “ Keluargaku miskin. Hidup tersengat matahari setiap hari untuk menjemur ikan busuk dikampung nelayan sana. Sekarang akupun hidup dengan cara busuk. Apalagi yang bisa kamu sarankan kepadaku, heh “

Udin terdiam. Dia sebetulnya ingin memberikan solusi pembiyaan hidup agar tidak perlu ada yang jadi pecundang. Karena penghasilannya sebagai kuli kebun miskin tidak cukup untuk bertahan. Akan lebih baik bila dia mempunyai istri dan juga bersama sama menjadi kuli kebun tentu hasilnya akan cukup untuk bertahan hidup.Bukankah satu nothing , dua adalah something. Pilihan untuk memperistri pelacur adalah financing scheme untuk penyelesaian hidupnya. Karena menikahi wanita baik baik cenderung berujung defaul karena dia engga qualified memenuhi deal yang harus di comply. Mencoba realistik daripada hidup dalam impian dan penantian yang tak sudah.

Udin tidak menyerah dengan proyek private nya. Dia tidak ingin terkubur hasrat dan birahinya di bedeng ini. Menakjubkan bahwa dia sudah mengetahui seluk beluk hidup “anak bedeng” sebelum dia datang “berkunjung”. Dia terus duduk dipojok ruangan sambil memperhatikan wanita itu. Jam berlalu dan waktu terlewati. Wanita itu tetap saja tidak ada yang menawar. Sementara yang lain keluar masuk berganti tamu yang datang. Product expired, yang di paksa di tempatkan di etalage. Dan pelanggan tidak terlalu bodoh untuk menilai mana yang fresh dan mana yang usang karena usia. Uang tidak pernah salah menilai. Malam terlewati menuju pagi. Wanita itu mulai gelisah. Apalagi sang mucikari mulai membentaknya sambil berkata “ Sejak kamu datang sampai sekarang hampir tidak pernah ada tamu untuk kamu. Besok kemasi semua barang barang kamu. Disini bukan tempat untuk makan gratis. “

Wanita itu tertunduk. Mungkin menangis. Tapi tidak. Matanya menatap keatas langit langit. Nampak berpikir keras. Kemudian dia berdiri melangkah pasti kearah Udin

“ Apa saran kamu ? Kata wanita itu dengan lembut dan mata redup.

“ Menikahlah dengan ku? Jawab Udin dengan tegas.

“ Mengapa ?

‘ Untuk bersama samaku bekerja sebagai kuli kebun. Hasilnya cukup untuk kita hidup berdua”

“Itukah saran mu ? Aku menjadi istrimu dan juga bekerja sebagai kuli sepertimu ?

“ Ya.”

“ Siapa namamu ?

“ Udin”

“ Baiklah, Mas Udin “ kata wanita itu dengan tanpa senyum “ Mulai hari ini aku letakan nasipku ditangan mu. Mulai hari ini akulah istrimu dan Mas akan menjadi suamiku. “

Deal tercipta , dan bukan membeli, disini dengan sendirinya menghasilkan kreasi. Tak ada uang yang di gunakan dalam transfer atau cek, tak ada komoditas, tetapi tetap saja sesuatu yang di kukuhkan oleh kapitalisme dewasa ini berlaku bahwa sinergi adalah kekuatan, bukan hibah, bukan sedekah. Mungkin ketika Udin menyerahkan semua penghasilan mingguannya kepada istrinya dan istrinya menyimpan rapat penghasilan dirinya sendiri, keadaan menjadi lain. Bukan lagi memberi sebagai sinergi tapi suatu institusi bernama keluarga melegalkan “kewajiban membayar “ oleh sang undertaker kepada istri. Sebuah perbudakan setua peradaban dunia yang tak terbantahkan.

Tidak akan pernah ada utopia dalam hidup ini sejak Tuhan ciptakan Setan, yang di takdirkan menolak kehadiran Adam. Hidup cerdas adalah kemampuan berdamai dengan kenyataan, bahwa semua tidak selalu seperti yang kita inginkan. Tidak perlu di pertanyakan benarkah dalam kesepakatan selalu saja ada pihak yang dirugikan? Karena begitu banyak deal dibuat dan tak pernah menghasilkan sesuatu yang sesungguhnya. Namun tidak perlu kecewa. Sebab dalam kehidupan setiap hari toh masih ada yang disebut oleh Udin sebagai “ satu satunya berkah iman" yaitu kalaulah pernikahan itu bukan karena Tuhan, memang pernikahan adalah deal yang paling dungu di dunia ini. Namun dengan itu kita bisa bernafas, setidaknya bertahan dari soal jual beli kehidupan dan dari suasana ketika benda benda memasang jaring dan tariff yang serba transaksional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.