Senin, 14 April 2025

Nasip IDR kedepan...?

 



Sejak pengumuman kebijakan tarif Trump yang baru pada 2 April 2025. Kemudian disusul oleh pengumuman retaliasi tarif oleh China pada 4 April 2025, Bursa utama di ASIA , Eropa , AS, crash. Yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024. IDR di pasar offshore juga melemah diatas Rp. 17.000.


Sebelumnya saya tulis status di akun Sosmed saya agar BI jangan intervensi. Memang tidak saya jelaskan secara detail. Mengapa ? Karena saat crash kan USD menguat dan harga USTreasury jadi mahal, Yield sangat rendah. Orang jadikan UStreasury sebagai safe haven. Kan seharusnya IDR kuat, kok jadi berlawan posisinya? Artinya itu tindakan spekulatif. Jadi mudah dipahami keadaan pasar  NDF itu hanya menduga bahwa Cadangan devisa BI sebagian besar dalam bentuk USD. Makanya di-hit di pasar NDF, IDR melemah. 


Tapi rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 7 April 2025 memutuskan untuk lakukan intervensi. Pasar jadi tahu, bahwa Cadangan devisa kita banyak di USD. Nah, sejak minggu lalu yield US Treasury melonjak tajam. Tertinggi sejak tahun 2001. Karena Market sale down. Penjualan US Treasury diperkirakan menembus US$ 29 triliun atau senilai dengan Rp 486.910 triliun (US$ 1=Rp 16.790). Pelemahan terus berlanjut karena market mengkawatirkan kebijakan Trump akan menyeret AS ke dalam resesi.


Nah kemarin saat Indeks Dolar AS (DXY) merosot mendekati 99,50. Semua mata uang utama seperti Yuan, Yen, Euro, dan lainnya menguat. Mengapa justru IDR melemah?. Ya karena market sudah tahu penurunan DXY, juga penurunan terhadap nilai Cadangan Devisa BI. Apalagi BI melalui pasar SRBI menarik utang untuk meningkatkan Cadangan devisa. Memang akan membantu menguatkan IDR. Namun sangat rentan dalam kondisi tervolatilitas lebar.


Kedepan, kalau Yield US Treasury terus naik menandakan semakin murahnya harga US Treasury, itu juga meindikasikan menyusutnya cadangan devisa BI. Kalau BI tidak TopUp ( tambah utang ) Cadev, maka IDR akan terancam. Indikasi itu kuat sekali. Terutama kalau pertemuan PM Jepang dengan AS gagal mencapai kesepakatan penurutan tarif resiprokal, kemungkinan Jepang akan jual US Treasury di Market. Belum lagi kemungkinan China juga akan jual US treasury. Kan konyol jadinya.


Seharusnya sejak kemenangan Trump, BI sudah lakukan diversifikasi USD. Kan jelas apa yang dikatakan Trump saat kampanye dengan jargon politik proteksionisme nya. Yang saya kawatirkan BI terjebak dalam transaksi hedging lewat RepoLine dengan the Fed. Makanya saat USD melemah, BI harus TopUp Cadev. Moga dugaan saya salah. Kalah benar. Mate dah


Rabu, 09 April 2025

Predator dibalik Trump

 




Secara ekonomi dan politik jelas sulit memahami sikap Donald Trump terhadap kebijakan Tarif resiprokal kepada negara mitra dagang AS. Mengapa? Secara ekonomi, kenaikan Tarif resiprokal itu merusak asset kemitraan yang sudah dibangun oleh AS sekian decade lewat dibentuknya WTO. Itu proses yang tidak mudah. Tanpa keterlibatan soft power kelembagaan seperti IMF dan world bank, hampir tidak mungkin AS bisa menggiring hampir semua negara tunduk dalam konsesus Washington


Sekian decade AS menikmati pertumbuhan dan kemakmuran. Ekonomi AS efisien kala bertransformasi dari Industri low tech ke industry high-tech. Negara lain seperti Korea, Jepang, China, Taiwan dan lain lain, memanfaatkan transformasi ekonomi AS. Secara system kemitraan global terjadi efektif. AS mengekspor produk high tech dan mengimpor  consumer goods dengan harga murah. Perbedaan nilai tambah produk High-tech dibandingkan consumer goods tentu jauh sekali. Tetap aja AS diuntungkan dari globalisasi.


Secara politik USD menjadi mata uang dunia. Pemerintah AS menggunakan USD sebagai alat geopolitik dan geostrategisnya  untuk menentukan arah bandul ekonomi dunia. Ada istilah, kalau the fed batuk negara lain demam. Kalau the fed demam, negara lain stroke. Begitu perkasanya hegemoni AS secara politik dengan hanya menggunakan kekuasan system financialnya. Itu fakta yang tak terbantahkan. Tentu bukan berarti kesetiaan negara lain itu tanpa syarat. Itu karena system AS memang menjaga fairness dan transfaranse.


Nah pertanyaannya adalah mengapa Trump merendahkan martabat AS sebagai negara super power, pemenang perang dunia kedua dan negara tempat universitas terbaik di dunia? Dan mengapa banyak orang pintar dan anggota kongres Partai Republik mendukung agendanya, Make American great again. Apakah mereka kehilangan logika akademis dan politis untuk menghentikan kekonyolan Trump.  Terakhir mengapa mereka mau saja diajak berjudi di meja rolet!


Sebagai orang yang akrab dengan dunia hedge fund. Menurut saya sikap Trump itu tidak aneh. Dia tidak penting salah atau benar. Tujuannya adalah create issue berskala global. Pusat perhatian orang banyak tertuju kepada tarif resiprokal. Padahal sebenarnya agenda Trump bukan soal tarif. Perhatikan, saat Trump umumkan tarif, Pasar modal di bursa utama di Eropa, AS dan Asia tumbang, dan kurs melemah. Kalau kurs melemah tentu surat utang negara jadi murah dan Yield naik. 


Agenda Trump memang membuat murah surat utang. Dan memaksa the Fed  menurunkan suku bunga. Nah kalau the fed turunkan suku bunga, itu sama saja dengan relaksasi moneter. Para trader akan pinjam uang untuk trading surat utang negara lain. Uang akan mengalir ke luar AS menjadi stimulus negara lain mengamankan cash flow nya. Kebayang, kan berapa besarnya profit yang didapat oleh Trader. Dan pada waktu bersaman ketergantungan negara lain kepada USD semakin besar. Ya American great again. Financial hegemony, artinya hegemoni dunia.


Sejak Trump mencalonkan diri sebagai Presiden dan terpilih 2017, Warren Buffett menjual portfolionya secara berlahan lahan. Sampai dengan tahun 2025 sudah mencapai US$334 miliar atau sekitar Rp5.529 triliun. Dia lebih memilih kumpulkan uang tunai daripada belanja saham. Mengapa ? dia sudah tahu siapa dibalik Donald Trumps dan apa agenda mereka. Walau buffett tahu agenda itu tidak mudah. Namun dia tahu mereka serius dan mempersiapkannya sudah lama.


Tampilnya Trump di panggung US-1 berkat tiga orang billioner. Yaitu Ken Griffin dan Paul Singer, Timothy Mellon. Semua tahu bahwa Griffin dan Singer adalah pengelola hedge fund terkemuka di dunia. Kedua orang ini tidak sepi dari skandal. Sementara Mellon adalah pewaris dari Mellon Bank. Kita semua tahu bahwa Mellon Bank adalah pengelola The Fed khusus bank Custodian, tempat asset berupa surat utang negara manapun disimpan dan diperdagangkan lewat leverage. 


Ken Griffin, Paul Singer dan Timothy Mellon adalah orang yang membesarkan Elon Musk. Walau kerajaan bisnis Musk tidak ada yang profitable, hanya future illusion namun berkat tiga orang itu, nilai sahamnya melambung di luar batas rasional. Keberadaan Elon Musk dalam kabinet Trump, hanya bertindak sebagai proxy dari tiga orang itu. Makanya sebelum tarif diumumkan Musk sudah mengatakan akan mundur setelah 130 hari menjabat. Saat itu misinya sudah selesai. Walau dalam pernyataannya Elon Musk berbeda pendapat soal kenaikan Tarif, itu hanya drama. Termasuk dia merasa dirugikan akibat Tesla jatuh di bursa.


Sudah 50 negara minta ketemu dengan Trump untuk berunding soal Tarif resiprokal, namun Trump meminta mereka menghapus non tariff barrier. Ini syarat yang tidak mudah diterima oleh negara lain. Karena menyangkut kedaulatan negara dalam mengelola kepentingan geostrategis dan geopolitiknya dalam perdagangan international. Kalau itu dihapus, ya sama saja dengan melucuti kedaulatan negara lain. 


Artinya bagi Trump, tarif itu bukan big deal. Tujuanya memang melumpuhkan moneter negara dan pada waktu bersamaan mencengkramkan hegomoni dalam bidang ekonomi dan Politik. Kalau karena itu rakyat kelas menengah AS menjerit akibat harga consumer goods melambung. Produk petani menumpuk tidak dibeli China. Inflasi terkerek naik. Yield T-Bill naik. Apa peduli Trump. Dia bukan hanya ingin menguasai dunia, tetapi juga AS. Jauh diseberang benua ada Naga merah, China. Apa dikira China engga tahu agenda Trump? Apa semua elite AS bego semua. Kan engga. Entar liat aja, siapa yang jatuh. Trump atau China.

Senin, 31 Maret 2025

Engga usah lebay, indonesia hebat,

 



Lembaga rating seperti Moody's Investor Service , S&P dan Fitch punya akses kepada data fundamental negara atau korporat. Negara atau korporasi pasti beri mereka akses. Kalau engga, surat utang tanpa rating. Pasti tidak laku  dipasar. Mengapa ? Lembaga rating dapat trust dari pasar untuk menentukan rating. Dan sikap  investor ditentukan dari rating itu, seperti A, AAA, AB, BB dan lain lain. Semakin bagus rating, semakin tinggi animo investor untuk membeli dan memperdagangkannya. 


Fitch rating SBN Indonesia pada level  Baa2 dengan prospek stabil. Itu berdasarkan  sumber daya dan kebijakan pemerintah, Resiko default kecil sekali. Artinya dalam keadaan resilience membayar. Namun bukan berarti SBN itu tingkat trust nya tinggi di hadapan pasar. Pasar punya cara sendiri menilainya melalui tingkat yield,  tentu dengan memperhatikan tingkat kupon, dan waktu jatuh tempo. Contoh Lehman sehari sebelum collapse rating AAA. Tapi keesokannya default. Jadi tidak selalu rating adalah kebenaran absolud.


Mengapa saya ulas soal rating ini? Karena saya ingin menyampaikan bahwa apa yang dikritisi oleh  ahli ekonomi ada benarnya setidaknya senada dengan laporan Moody's  18 Maret 2025. Bersama ini saya ringkas laporan Moodys dalam bahasa sederhana agar mudah dipahami.


Pertama. Walau prospek ekonomi, PDB ril tetap akan tumbuh 5% namun dengan adanya program efisiensi secara structural demi mengamankan program MSB dan Danantara, kemungkinan pertumbuhan PDB pada semester awal tahun 2025 akan agak lebih rendah. Apa artinya?, kebijakan efisiensi dan realokasi ini kontraproduktif untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Kalau cara ini jadi kebiasaan. Masa depan ekonomi jadi gelap.


Kedua. Walau ratio utang terhadap PDB tergolong rendah dibandingkan negara lain namun kemudahan berhutang tidak akan seperti sebelumnya. Apa pasal ? risiko negatif paska transisi politik berupa ketidak pastian kebijakan, dimana berpotensi melemahnya aliran investasi asing, dan dampak negative terkait pada metrik fiscal. Ya basis pendapatan yang rendah.  Terutama disebabkan batalnya kenaikan PPN 12% yang diganti dengan Barang Mewah. Ini tentu berkoleasi dengan kemampuan membayar utang.


Misal. karena kondisi defisit APBN dan kecilnya ruang fiskal, kita selama ini bayar utang pakai utang atau revolving. Sementara pembayaran utang yang jatuh tempo ditahun tahun mendatang sangat besar. Rencana akan menaikan pajak dan royalty minerba masih belum jelas pelaksanaannya. Kalau cara cara seperti ini terus dipertahankan, akan sangat beresiko default surat utang. Memang masa depan kita gelap.


Ketiga.  Keberadaan Danantara beresiko terhadap  kelembagaan dan fiscal. Mengapa? Kita sudah ada UU No. 17/2003 tentang keuangan negara dan UU No. 15/2004 tentang Perbendaharaan negara. Ini memberikam otonomi kepada kementerian keuangan untuk melaksanakan disiplin tata Kelola keuangan negara yang transfarance. Atas dasar itu selama ini kita eligible menerbitkan SBN. Dengan adanya Danantara atas dasar UU BUMN No. 1/2025 keadaan menjadi tidak pasti, terutama soal disiplin dan transfaransi.


Demikian ringkasan saya dari catatan Lembaga rating. Semoga ini bisa menjernihkan issue soal Indonesia gelap. Apakah issue itu berlebihan atau tidak, itu bukan point nya. Yang penting bagaimana kita bisa menjadikan catatan Lembaga rating itu untuk bersikap memperbaiki keadaan. Jadi engga perlu lebay sibuk membela diri dan optimis. Apalagi akan pakai data tandingan. Itu kampungan. Tanpa kerja keras dan kerja benar dengan niat baik, Indonesia gelap itu sebagai kunsekuensi logis dalam dunia kapitalis.


Jumat, 28 Maret 2025

Mungkinkah Rupiah terjun bebas ?

 




Sejak tahun 2022 Volatilitas Rupiah semakin mengkawatirkan. Mengapa? Padahal ekspor mineral tambang kita sangat besar, terutama Nikel dan batubara. Seharusnya itu lebih dari cukup memperkuat Cadev dan menstabilkan rupiah. Yang jadi masalah adalah walau DHE kita sangat besar. Namun karena alasan skema FDI, sebagian besar DHE tidak kembali ke Indonesai.  Maklum industry ekstraksi memang bertumpu kepada skema counter trade offset.


Untuk menjaga stabilitas kurs rupiah, BI terpaksa mengisi Cadev lewat operasi moneter kontraksi. Namanya RR SBN atau Reverse Repo Surat Berharga Negara. Namun dinilai tidak efektif menjaga stabilitas rupiah. Karena tidak marketable. Makanya pada tanggal 15 september 2023, BI meluncurkan outstanding Instrument bernama SRBI ( Sertifikat Rupiah Bank Indonesia.). SRBI ini sifatnya marketable, high quality liquid asset (HQLA). Tentu diminati oleh investor. Maklum BI kan otoritas issuer IDR. 


Skema SRBI ini sederhana saja. BI membeli SBN dari pasar sekunder maupun pasar perdana. Kemudian, SBN itu di-struktur menjadi SRBI. Jadi sebenarnya SRBI tak lain sama dengan sekuritisasi SBN. Ya semacam product derivative investasi portfolio. Market nya adalah Bank Umum lewat lelang terbuka konvensional dan bisa dipindah tangankan serta ditransaksikan di pasar sekunder. 


Sebenarnya dengan adanya SRBI, BI bisa lead di market untuk menjaga stabilitas rupiah. Namun tetap saja kedodoran? Ya karena utang luar negeri yang disedot pemerintah, BI, BUMN dan Swasta terus meningkat. Kita bisa lihat data PII Indonesia kwartal 4 2024, posisi KFLN ( Kewajiban Financial Luar negeri ) sebesar US$768,1 miliar. Sementara posisi AFLN ( asset financial luar negeri termasuk Cadev)  sebesar US$522,8 miliar. Jadi necara PII negative sebesar US$245,3 miliar.


Kalau berdasarkan neraca PII Indonesia yang terus negative. Band nya lebar banget, yaitu hampir dua kali dari Cadev kita. Secara fundamental IDR memang rapuh. Engga percaya? tuh lihat, walau setiap pelemahan Rupiah,  BI terus  lakukan intervensi lewat lelang terbuka SRBI di market. Namun tidak pernah efektif menstabilkan rupiah. Ya karena itu sama saja memperlebar negative PII kita. Gimana mau stabil, lah IDR dijamin valas dari utang.


Belum lagi, di pasar sekunder, SRBI itu diserap asing dan ditempatkan di bank custody Melon Bank NY, untuk dileverege lewat berbagai mata uang. Jadi walau SRBI itu Rupiah, namun ia  multiple currency. Artinya, setiap SRBI diterbitkan, itu sama saja dengan BI menambah utang luar negeri. Sementara penerimaan DHE tidak significant memperkecil Posisi Netto KFLN.  Bagaimana masa depan Rupiah? Dengan kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump. Akan sangat sulit bunga akan turun. Bahkan cenderung naik. Mengapa? 


Relaksasi pajak Trump akan meningkatkan defisit anggaran AS dan memaksa the fed menambah utang. Tentu bunga akan terkerek naik guna menyerap uang dari pasar.  Sementara tahun ini SRBI jatuh tempo pada Mei, Juni, dan Juli masing-masing diperkirakan sebesar Rp 113,1 triliun, Rp 121,7 triliun, dan Rp 126,7 triliun.  Artinya kalau Fed-rate naik, ya BI harus naikan BI-Rate. Kalau engga, engga ada investor mau beli SRBI, Terus gimana bayar SRBI yang jatuh tempo. Goes to the corner kan...mau engga mau BI rate harus naik.


Nah masalahnya spread BI-Rate dengan Fed-Rate terus melebar. Mengapa?  setiap pelemahan rupiah otomatis resiko meningkat dan yield juga akan meningkat. Costly memang.  Dampaknya terhadap sector real. Parhatikan. Walau   BI-Rate pada level 5,75%. Namun itu tidak ada kaitannya dengan suku bunga pinjaman Bank. Suku bunga bank dipengaruhi oleh likuiditas. Sementara likuiditas diserap oleh SBN dan SRBI. Jadi, bunga bank tetap akan tinggi. Ini akan mempersulit perbankan untuk ekspansi kredit meningkatkan lapangan kerja.


Inilah problem utama mengapa rupiah akan cenderung terus melemah. Jadi, pelemahan rupiah bukan karena issue distrust kepada pemerintah. Tidak ada pemerintah yang sempurna. Juga tidak ada pasar yang sempurna. Namun market mengkororeksi dan itu memang kerjaan pengelola Hedge fund, yang selalu mempencundangi pemerintah yang lemah. Mau gimana lagi? Masalahnya, IDR memang rapuh.  Memang tidak lagi sederhana masalahnya.  Ini sudah masalah struktural. Penyelesaiannya harus holistik. Engga bisa partial


Apa solusinya? 


Pertama. Yaitu meningkatkan FDI yang sehingga bisa meningkatkan DHE memperkuat Cadev.  Caranya? Perizinan investasi PMA terutama SDA harus atas dasar lelang investor. Syarat utama adalah melarang skema counter trade offset. Itu berlaku bagi asing maupun local. Artinya yang boleh berinvestasi PMA haruslah real investor yang punya financial capability. Negara maju seperti China, dan AS melakukan seperti itu. Jadi, jangan lagi ada konsesi IUP dibagi bagikan kepada pihak yang engga jelas, yang ujungnya hanya broker, yang jarah kredit bank BUMN.


Kedua. Pemerintah harus membentuk team restruktur utang luar negeri, seperti Malaysia lakukan dalam kasus 1MD. Misal, proyek Kereta Cepat, itu cash out valas setiap tahunnya untuk bayar bunga mencapai USD 260 juta. Kembalikan aja itu proyek ke China. Biarkan China yang Kelola. Kan bisa hemat valas. Begitu juga dengan proyek PLN dan Pertamina yang bersumber dari utang luar negeri. Serahkan aja ke investor asing semua. Itu bisa hemat miliaran usd. 


Ketiga. Data februari 2025, porsi ULN Pemerintah disalurkan pada Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, selanjutnya sebanyak 17,8% untuk Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib. Adapun untuk sektor Jasa Pendidikan porsi ULN Pemerintah sebesar 16,6%, kemudian sektor Konstruksi sebesar 12,1%, serta Jasa Keuangan dan Asuransi sebanyak 8,2% dari ULN Pemerintah. Skema belanja seperti itu hapus aja. Itu moral hazard ngabisin valas. Ganti dengan skema SBN rupiah. Artinya yang local konten rendah, engga usah dulu belanja.


Demikian solusi dari saya. Mekanisme operasi pasar uang BI sudah benar. Tidak perlu diubah. Karena tugas BI memang menjaga stabilitas Rupiah berdasarkan kaedah international. Yang harus diubah adalah mindset pemerintah untuk focus menjaga IDR atas dasar fiscal policy, yang berorientasi kepada creating job lewat peningkatan FDI dan mengurangi ketergantungan belaja valas. Otherwise, jangan kaget bila Rupiah akan jatuh seperti Lira di Turki atau Venezuela


Senin, 24 Maret 2025

Struktur organisasi BPI Danantara.?

 






Di bawah BPI Danantara ada Holding yang terkait dengan operasional yaitu PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI. Secara hukum PT. BKI statusnya tetap Badan Usaha Milik Negara. Dan tunduk dengan UU Perseroan. Anak perusahaan dari BKI adalah BRI, BTN,  Jasa Marga, Waskita Karya,  Bank Mandiri, Semen Indonesia, Telkom Indonesia.BI, Wijaya Karya, Itu semua BUMN yang sudah listed di Bursa. Proses pengalihan saham ke BKI melalui inbreng. Artinya penyerahah modal tidak dalam bentuk tunai. Sehingga tidak dikenakan pajak. 


Karena yang diserahkan itu saham Seri B. Sementara saham Seri A tetap dimilik oleh Negara Republik Indonesia. Walau sahamnya hanya 1 lembar. Namun berdasarkan UU PT, pemegang saham Seri A berhak untuk menyetujui RUPS. Semua perikatan legal baik merger, pengurangan modal disetor atau penambahan pada unit bisnis, berinvestasi atau pembiayaan pada proyek harus dapat persetujuan dari pemegang saham seri A. Bahkan penentuan dan  penggantian direksi dan komisaris serta bonus harus persetujuan dari pemegang saham seri A.


Apakah dengan demikian BPI Danantara bisa bebas mengendalikan BKI. Tidak. Mengapa ? karena walau BKI sebagai SPV dibawah Danantara namun tetap BUMN, yang bukan milik BPI Danantara. Danantara hanya sebagai meneger investasi melalui SPV. Artinya pengendali tetap Negara Republik Indonesia, yang harus patuh kepada UU Keuangan Negaga No. 17/2003, UU No.1/2004 tentang Perbendarahaan Negara. Jadi sebenarnya BPI Danantara ini hanya mengambil alih sebagian hak dari Meneg BUMN. 


Walaupun Presiden punya hak menentukan kebijakan soal asset  BUMN, tetap saja dasarnya adalah UU Keuangan negara dan perbendaharaan negara. Walau BPI Danantara tidak dianggap sebagai Lembaga negara sehingga tidak bisa diaudit BPK, namun kalau melanggar UU keuangan negara,  itu akan berhadapan dengan  UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. DPR bisa meminta BPK melakukan audit bertujuan khusus.  Kalau terbukti bersalah, bisa jatuh Presiden.


Kalau melihat struktur organisasi Danantara, sebenarnya bertujuan menjadikan pengelolaan investasi negara itu menjadi private company dan bersifat tertutup sebagai investment holding. Jadi tidak boleh ada pejabat atau politisi mengintervensinya kecuali melanggar UU. Itupun sudah diatur dalam No. 31/1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Jadi tidak perlu kawatir, keberadaan BPI Danantara akan seenaknya gunakan asset BUMN untuk tujuan politik.  Apalagi terkait Bank BUMN. Itu ada OJK dan BI yang awasi. Enggg mudah memang. 


Dengan demikian apa kelebihan dari Danantara dibandingkan dengan BUMN dibawah Meneg BUMN?  Ada tiga menfaatnya.


Pertama. Posisi utang BUMN non financial tahun 2025 sebesar Rp. 1.141 Triliun. BPI Danantara bisa membantu merestruktur utang BUMN. Caranya?  BPI Danantara mengundang investor strategis bermitra dengan BUMN yang akan direstrukur. Sehingga business model lebih kuat. Dengan right menegement deviden BUMN, Danantara bisa sekuritisasi itu dengan menerbitkan surat utang convertible bond melalui SPV. Hasil penjualan surat utang itu dipakai untuk lunasi hutang BUMN. Selanjutnya BUMN hutang kepada SPV. Convertible bond Sifatnya off balance sheet.  Jadi neraca clean.


Kedua. Dengan modal disetor dari APBN sebesar Rp. 300 triliun pada BPI Danantara, itu bisa jadi modal leverage atas asset BUMN. Caranya. Danantara menjadi standby buyer atas rencana BUMN right issue dengan tujuan refinancing atas utang kepada SPV. Tentu akan didapat harga saham yang bagus. Setelah utang lunas kepada SPV, struktur permodalan jadi sehat. Tentu bisa tarik utang baru untuk ekspansi kepada proyek yang sesuai dengan bisnis model. Hanya perlu cash out maksimum Rp. 30 triliun untuk mendukung skema itu.


Ketiga. Danantara bisa menjadi Central Counterply. Selama ini kan kita tahu SBN itu hanya dijual begitu saja lewat pasar uang. Yang beli hanya yang punya uang cash seperti Dapen, Perusahaan Asuransi perbankan, BI. Nah dengan adanya CCP, pembelinya beragam dan cara bertransaksi juga beragam. Sehingga likuiditas SBN jadi lancar dan tentu cost of fund jadi murah. 


Contoh Bank A, perlu duit cash untuk menjamin likuiditasnya yang tersendat. Semantara dia hanya punya stok SBN di brankasnya. SBN itu sumber fixed income bank. Kan sayang kalau dijual. Nah  lewat CCP,  bank tidak perlu jual SBN itu, tapi gadaikan atau skema Repo kepada pihak lain lewat CCP. Dia dapat uang tanpa harus menjual asset SBN nya


Karena Danantara sebagai CCP, Dia bisa structure surat utang  derivative atas nama SPV, dengan skema credit link  SBN yang punya Dapen atau perbankan.  Kemudian dia jual ke market. Karena CCP adalah juga Danantara, market percaya untuk beli. Nah uang dari jual produk derivative itu bisa dipakai untuk proyek strategis atau membantu likuiditas perbankan membiayai sector real. Kalau lihat team Danantara itu sangat mampu mereka kerjakan.


Dengan tiga kelebihan diatas, tentu ada kekurangan dari Danantara. Ada empat  kekurangannya 


Pertama. Menentukan kelayakan dan kebijakan investasi. Ini titik kelemahan dari Investment Holding dimanapun. Karena maklum duit bersumber dari market dan skema leverage. Apa jadinya kalau berinvestasi tidak pada proyek sustainable dan profitable? Atau bersifat rente dan  populis. Itu akan sangat mudah menghancurkan trust di market. Kalau investor rush surat utang SPV, bagaimanapun negara harus bailout seperti kasus 1MD Malaysia. Jadi lebih kepada moral hazard.


Kedua. Terjebak dengan skema derivative dari product investasi pengelola dana hedge fund. Misal, karena sulit jual surat utang atau dapatkan investor. Danantara undertaking instrument structure  yang di create oleh pemain hedge fund kelas dunia. Tujuanya agar mudah dapatkan investor. Biasanya hanya bagus pada tahap awal. Faktanya  hampir 99% tidak pernah performed, sementara surat utang sudah terlanjur diterbikan. Kalau sampai di call, berikutnya bisa jadi skandal.  Karena terjebak kepada skema too good to be true.  Ini soal mindset. 


Ketiga, BUMN yang sudah direstruktur hutangnya melakukan kesalahan yang sama seperti sebelumnya. Bukannya untung berlipat malah terjebak hutang lagi yang gagal bayar. Itu akan mengakibatkan derivative product investasi Danantara lewat SPV default. Dampaknya bisa menjatuhkan trust Danantara dan terpaksa Negara bailout. Kembali lagi ini soal moral hazard dari tata Kelola BUMN yang korup. 


Keempat. Menggunakan sumber daya keuangan Dinantara untuk mendukung swasta melakukan M&A scheme atas perusahaan yang value market nya volatile karena factor kompetisi dan tekhnologi. Yang tujuannya hanya untuk capital gain saat IPO. Seperti kasus Gojek dan ToKopedia. Karena kalau itu dilakukan,  akan menimbulkan distrust market. Dana standby buyer dalam bentuk convertible bisa menguap saat dikonversi dengan saham. Lagi lagi moral hazard.


Dengan kelebihan dan kekuranan Danantara, ada baiknya Danantara focus lakukan rasionalisasi BUMN lebih dulu. Setelah itu BUMN focus kepada business model yang secure terhadap pasar domestic  (barang maupun jasa) dan ketersedian SDA yang kita kuasai. Kalau BUMN focus kepada business model semacam itu, tidak sulit mendapatkan strategic partners berkelas dunia dan tentu punya value dihadapan investor. Tanpa terjebak dengan pengelola dana hedge fund. Apalagi deal dengan Dalio dan Chapman, yang keduanya termasuk insider Information di BPI Danantara. Itu akan menutup peluang deal dengan investor dan market alternatif. 




Jumat, 14 Maret 2025

Maka yang terjadi, terjadilah..

 






Pada tahun 2004, kurs IDR/USD Rp. 8400. Hari ini Rp. 16.400.  Kalau anda punya Rp. 840.000 pada tahun 2004, itu bisa dapat USD 100 namun tahun 2025, hanya dapat USD 50. Artinya uang anda menyusut. Penyusutan nilai uang itu karena pasar. Pasar bekerja karena trust. Trust terbentuk karena factor internal dan eksternal, seperti defisit anggaran yang rendah dan tingkat inflasi yang juga rendah, moneter yang lentur ditengah tekanan ketidak pastian ekonomi global dan tentu karena adanya stabilitas politik. Begitulah uang di era sekarang. Mengapa ?


Uang yang ada di dompet kita itu adalah uang fiat. Tidak ada collateral emas atau phisik lainnya dibalik uang itu kecuali trust. Pemerintah dan bank central yang punya legitimasi berkuasa atas nama rakyat berhak create uang sebagai alat pembayaran, alat menentukan harga dan nilai. Karenanya pada uang juga melekat factor psikologis, emosi dan motivasi yang sehingga setiap orang melakukan effort besar untuk mendapatkannya. Dari uang itu aktifitas sector produksi, perdagangan , jasa, berkembang. Peradaban modern terbentuk.


Esensi uang tetaplah trust. Jadi harus menjamin adanya transfaransi atas uang beredar itu. Sehingga orang banyak bisa menilai kurs. Kuat atau melemahnya kurs ditentukan oleh kinerja pemerintah dalam mengelola hukum ekonomi, demand and supply. Kalau barang lebih banyak daripada uang, itu artinya deplasi. Artinya daya beli lemah. Kalau lebih banyak uang daripada barang, itu artinya inflasi. Baik inflasi maupun deflasi, keduanya adalah toxin. Itu tidak bisa dihindari. Tugas pemerintah menjaga toxin itu agar tidak berlebihan.


Kalau sistem demand and supply berjalan dengan tertip, masalah inflasi dan deflasi terukur. Menjadi bermasalah kalau sistem itu terdistorsi akibat oligarki. Lebih banyak uang masuk kedalam sistem moneter,  lebih banyak uang mengalir ke setkor non-tradeable, yang rendah nilai produksi dan serapan angkatan kerjanya.  Yang membuat bank dalam dilemma. Antara resiko yang harus dihadapi dan bunga yang harus dibayar. Dari sinilah muncul derivative produk investasi sebagai saluran uang yang berlebih itu.


Walau inflasi bisa dikendalikan lewat operasi pasar uang terbuka oleh bank central namun bagaimanapun itu tetap distorsi terhadap sistem mata uang. Karena memaksa bank central menaikan suku bunga. Dampaknya terjadi depresiasi mata uang. Yang korban adalah rakyat yang berpenghasilan tetap. Karena barang barang jadi mahal akibat suku bunga tinggi. Kurs melemah dan daya beli melemah. Deindustrialisasi terjadi. PHK tak terhindarkan.


Penerimaan pajak drop. Akibatnya sector fiscal terganggu. Defisit! Sementara agar bisa mengcover kesenjangan antara sector real dan moneter, pemerntah terpaksa terus ekspansi. Defisit semakin melebar. Keadaan ini memaksa pemerintah meminta bank central untuk membeli SBN. Apalagi UU mengizinkan bank central membeli surat utang negara di pasar perdana. Nah ini sudah intervensi politik. Moral hazard tidak bisa dihindari. Lambat laun pemerintah akan cenderung bergantung kepada Bank cental untuk membeli SBN. Itu sama saja dalam bahasa vulgar sumber pembiayaan dari cetak uang!


Sejak 7 Mei 2024, BI  mendominasi kepemilikan surat berharga negara rupiah yang dapat diperdagangkan, itu terutama adanya fasilitas makroprudential lewat Repo. Hingga desember 2024 porsi kepemilikan BI pada SBN udah 25,4% dari total SBN Rp 6.034,52 triliun. Makanya saya hanya bisa tersenyum masam ketika baca berita, 10 Maret 2025 SBN terjual Rp 158,96 triliun, mayoritas yang beli BI.   Too risky, indeed. Fungsi bank central yang ideal jadi terganggu. 


Mengapa ? Itu akan mendorong bank central create product derivative dari surat utang negara yang dibelinya,  Ya, BI memang punya maenan narik likuiditas dari market. Namanya SRBI, itu instrument strucuture yang collateral nya adalah SBN. Dan menjualnya kepada perbankan dan Lembaga keuangan lewat OTC. Uang kesedot ke bank central. Likuiditas perbankan untuk ekspansi kredit jadi berkurang. Growth sector real jadi terhambat. Sementara bubble asset dalam sistem moneter tidak terhindarkan. Hanya masalah waktu pasti akan meletus. 


Apa yang terjadi kemudian? Asset pada Bank central dan Lembaga keuangan akan menyusut nilainya. itu akan berdampak sistemik. Mata uang terkontraksi. Krisis moneter terjadi. Kalau negara maju dengan mesin ekonomi yang besar, engga ada masalah. Bisa lakukan pelonggaran quantitative (QE) untuk menurunkan suku bunga dan membeli asset moneter di pasar untuk memompa likuiditas. Tapi untuk negara berkembang dengan Economic complexity Index yang rendah, tidak ada solusi semudah itu.


Semoga dipahami keadaan ini dan cepat kembalikan sistem uang pada jalur yang benar, sebelum semuanya sudah terlambat. Caranya? segera hentikan korupsi. Apalagi korupsi sistematis dalam skema State capture. Mengapa ? Sehebat apapun kekuasaan, politik tidak akan mampu melawan pasar. Kekuasaan pasti runtuh. Kalau itu terjadi, maka terjadilah…