Selasa, 19 November 2024

Dampak kebijakan Trump ..

 



Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Retorika hebat.  Proteksionisme pasar dia dengungkan terus sebagai pelangkap narasi ‘ Make American great again.” Itu yang terjadi ketika dia jadi presiden pada tahun 2017-2021. Pada Pemilu tahun ini retorika yang sama dia gunakan lagi. 


Memang disaat sebagian rakyat AS terpuruk, nasionalisme dalam jargon politik sangat laku dijual “ Seperti ungkapan dari Robert Lighthizer  di hadapan mahasiswa Harvard“ "Kita harus terus memisahkan ekonomi kita secara strategis dari Tiongkok, kata mantan pengacara perdagangan itu kepada para mahasiswa yang hadir. "Ini," tegasnya dengan suara serak, "adalah pertempuran kebijakan ekonomi utama warga Amerika yang patriotik untuk generasi mendatang."


Kalau anda pahami strutur industry AS dan sosial ekonomi AS, tentu anda bisa saja tertawa dengan jargon Trump itu. Mengapa ? Sejak AS menerapkan ekonomi berbasis comparative advance tahun 2000 an. Secara berlahan lahan Industri AS berfocus kepada design technology. Sementara pusat produksi pindah ke China, Taiwan, Korea, Jepang dan juga Eropa. Contoh sederhana. Apple tidak punya pabrik di AS tapi di China dan Taipeh. GE relokasi pabriknya ke China. Tesla, sebagian besar supply chain industrinya ada di China. Di AS hanya manufaktur. Begitu juga dengan yang lainnya.


Nah bayagkanlah. Kalau tarif tinggi ditetapkan oleh Trumps untuk produksi dari China, itu sama saja mematikan bisnis design technologi dan manufaktur korporat di AS. Dalam satu studi tahun 2024 menemukan bahwa tarif atas barang-barang Cina justru mengurangi jumlah pekerjaan manufaktur AS hingga 2,7%. Hal itu karena hilangnya lapangan kerja yang terkait dengan meningkatnya biaya input dan tarif pembalasan. Dan Presiden Biden merasakan dampaknya dari adanya perang dagang China-AS.


Kalau Trumps ingin lanjutkan perang dagang dengan lebih radikal, itu memang efektif menurunkan volume ekspor China ke AS. Yang rugi justru konsumen AS yang harus membayar tarif tersebut dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Dampaknya bisa inflasi. Dan ini akan memaksa The fed mempertahankan suku bunga  tinggi. Secara geopolitik kebijakan suku bunga tinggi ini berimbas serius terhadap ekonomi negara mitra dagang AS lainnya seperti Eropa, jepang, Korea, Taiwan dan tentu Indonesia. 


Selama masa kampanye, narasi Trump tentang peningkatan  tarif impor seperti magic word di hadapan pemilihnya. Dengan mengusulkan bea masuk setinggi 60% untuk barang-barang China, dan 10% hingga 20% untuk semua impor lainnya. Ia telah berjanji bahwa tarif tersebut akan membantu menciptakan lapangan kerja dengan adanya relokasi industry AS dari China untuk pulang kampung ke AS. 


Tetapi itu tidak mudah. Karena china melarang modal korporat asing keluar dari China, kecuali laba. Darimana duit untuk relokasi ke AS? Disamping itu, produktifitas pekerja AS tidak bisa menandingi pekerja China. Dimana mana motive business selalu  sama, yaitu lebih memilih pusat produksi yang tingkat  produktifitas nya tinggi dan secara output ekonomi tergolong murah. 


Pada akhirnya nanti Trump akan menyerah dengan sendirinya. Bukan karena tekanan China, tetapi resiko politik domestik akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakannya. Apalagi balasan china dengan menaikkan tarif impor produk pertanian. Semua tahu pemilih terbesar Trump adalah petani. Pasar pertanian AS di China seperti kedelai, gandum, daging, akan digantikan oleh Rusia. AS menghadapi dilemma antara kepentingan ekonomi domestic dan beban sejarah sebagai penyeimbang putaran USD. Masalahnya,  perubahan sosial dan budaya AS tidak siap bersikap atas dilemma itu.


***

“Saya akan katakan kami masih memiliki kemiskinan dalam skala besar, tingkat yang besar, yang saya bertekad untuk turunkan, dan kami memiliki persentase yang signifikan dari anak-anak kami yang kekurangan gizi,” kata Prabowo dalam pidato utama APEC CEO Summit di Lima Peru, pada Kamis, 14 November 2024, dikutip dari video Sekretariat Presiden.


Berbeda dengan pertemuan G20 di Bali pada November 2022. Jokowi membanggakan kesuksesan Indonesia mengatasi COVID dan menjaga pertumbuhan tetap positif. Di Lima, Prabowo membuang jauh kebanggaan itu. Dia tidak a ingin menutupi bopeng negerinya.


Menurut saya, itu politik cerdas. Bahwa fakta Indonesia dirugikan dalam globalisasi Kawasan. Janji negara maju me-write off utang negara berkembang tidak kunjung dipenuhi. Malah terus membanjiri utang yang menjerat batang leher. Yang sehingga ruang fiscal APBN semakin menyempit. Mengurangi power untuk mengeskalasi pertumbuhan yang berkeadilan.


AS dengan kebijakan moneternya memaksa negara emerging market nya untuk menguras dompet lebih banyak. Sehingga terpaksa anggaran untuk sosial dikurangi demi mengatasi volatilitas kurs mata uang. Dan China dengan stimulus nya semakin kuat daya saingnya dan membuat barang impor China jadi mahal. Pasar proteksi secara moneter membuat produk SDA negara berkembang seperti Indonesia semakin tidak bernilai harganya. Tidak cukup margin menutupi ongkos kerusakan lingkungan. Singa berbulu domba.


Satu satunya kelebihan Probowo adalah penguasaan nya terhadap geopolitk dan geostrategis. Dia tahu bagaimana bersikap secara poltik dan pada waktu bersamaan menguntungan kepentingan domestic. Dia pemain dalam arti sesungguhnya di panggung politik international. Dengan cerdas dia gunakan narasi keberpihakan dengan tegas terhadap Gaza. Begitu cara dia melawan AS. Dan kepada China, dia tidak akan mundur satu langkahpun di LCS.


Singkatnya dalam Bahasa kampung “ kalau kalian ( AS dan China) inginkan kami percaya, pastikan kami tidak dipihak yang dirugikan. “ Prabowo berani berkata begitu. Karena dia tahu arti kekuasaan sebagai presiden di negara yang sangat penting di APEC. Bayangkan,kalau selat malaka dan Lombok ditutup. AS dan China mau dagang lewat mana?

Sabtu, 09 November 2024

SDA hanya sekedar catatan saja.

 




Saya bersatire dalam postingan di DDB, “ PDB kita USD 1,3 Triliun. Marcap Apple usd 3,363 Trilion. Artinya Apple hampir 3 kali lebih kaya dari Indonesia. Padahal Apple bukan negara.” Sebenarnya ini kiasan tentang betapa timpangnya perbedaan walau esensinya dalam ekonomi sama. PDB itu persepsi terhadap financialisasi ekonomi negara dan  Marcap juga adalah persepsi terhadap financialisasi korporat. Walau dua hal keliatan berbeda namun esensinya sama, yaitu pasar. 


Dulu waktu sains belum ditemukan. Kemakmuran suatu wilayah atau negara ditentukan oleh sumber daya alamnya. Makanya terjadi kolonialisasi secara phisik. Yang kuat menjajah yang lemah. Yang kuat menguasai bangsa yang kaya akan SDA. Namun berjalanya waktu, manusia terus bertambah dan kebutuhan meningkat. Sementara sumber daya tidak berubah dan akhirnya menjadi terbatas. Maka terjadilah revolusi industry.


Peradaban modern tercipta, sains diagungkan. Hak privat dihormati. Dan korporat menjadi sumber daya tersendiri, sampai akhirnya sulit membedakan antara negara dan korporat. Karena keduanya saling mempengaruhi. Aliansi antara bisnis dan politik tak bisa dihindari terutama dalam system demokrasi dan globalisasi. Lewat ekosistem seperti itu, lahirlah oligarki.  Negara dan korporat disini, namun rakyat nun jauh disana.  Rasio GINI semakin melebar. Hasrat dan gairah kapitalisme mendapatkan fuel dari adanya laba.


1000 ton CPO itu sama dengan produksi 240 hektar kebun sawit. Nilai jualnya USD 740.000. Setara dengan harga jual 560 unit Iphone 16. CPO perlu setahun menghasilkan produksi sebanyak itu. Sementara Pabrik Foxconn di Shenzhen hanya perlu 10 menit jam kerja menghasilkan 600 unit iphone. Tahu berapa gaji buruh Foxconn per bulan? 7000 yuan atau Rp. 15 juta. Bandingkan buruh kebun sawit hanya Rp. 1,8 juta. Itulah perbedaan yang sangat timpang antara yang kaya SDA dengan industry padat modal dan sains.


Kita ekspor nikel olahan dalam bentuk Pig Iron dan Ferrosteel. Kita bangga. Sampai di China dan Jepang, ditambahkan unsur krom (Cr) dan mangan (Mn), bahkan molibdenum (Mo) dan niobium (Nb). Material katode (contoh NMC- 811). Tahu berapa perbedaan harga? 315% dari produk nikel yang kita ekspor. Di LME (harga NMC-811 sekitar US$ 29.000/ton). Itulah perbedaan value added yang sangat timpang, yang kita hasilkan dari industri yang low sains. Dan lebih timpang lagi kalau dibandingkan dengan produk high tech, seperti serbuk nikel nano (nickel nano powder), bahan dasar industri microchip dan telp selular. 


Itulah gambaran sekilas tentang perbedaan produksi berbasis sains dengan produksi berbasis SDA yang low sains. Ini bukan hanya berlaku bagi negara. Tetapi juga korporat. Saling terkait. Bisnis yang hidup dari SDA tidak akan sustain bahkan destruksi terhadap lingkungan alam, social dan moral etik negara. Sementara bisnis yang bertumpu kepada R&D akan sustain terhadap perubahah demand and supply, dan penghormatan terhadap nilai nilai kemanusiaan.


Makanya kalau negara maju mengalami krisis karena permintaan drop, secara fundamental ekonomi mereka tetap resilience. Nilai tambah yang tinggi tidak sampai membuat mereka rugi, hanya keuntungan berkurang. Beda dengan negara yang bergantung kepada SDA. Kalau permintaan drop, mudah sekali ekonomi kontraksi. Ujungnya pendapatan pajak negara juga ikut berkurang. Upaya mensejahterakan rakyat semakin sulit karena ekspansi social APBN berkurang.


Kata kuncinya agar bisa menjadi negara industry ada pada belanja riset. Riset yang terstruktur dan terprogram dengan target yang jelas. Nah perhatikan apa yang kita lakukan terhadap riset selama ini ? Pada 2017, alokasi anggaran riset sebesar Rp 24,9 triliun atau 0,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka itu pada tahun 2023 anjlok menjadi Rp 6,5 triliun atau 0,03 persen terhadap PDB. Sangat jauh dibandingkan dengan Anggaran riset Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 1,26 persen dan 2,19 persen terhadap PDB. 


Kalau anda membanggakan kekayaan SDA. Itu cara berpikir jadul. Masih terkurung di abad sebelum adanya revolusi industry dan globalisasi. Dan kalau masih berharap SDA sebagai sumber kemakmuran dan menjadi negara maju, maka yakinlah anda sudah jadi korban propaganda misleading. Itu artinya pemerintah tidak punya visi membangun secara modern dan tidak punya visi pembangunan manusia yang bermartabat. Ya, tidak visioner. Tentu juga takut keluar uang belanja riset. Mereka hanya memikirkan seusia kekuasaannya saja.  Bagaimana menikmati kemelimpahan sumber daya untuk diri dan kelompoknya saja. 

Minggu, 03 November 2024

Memahami ekonomi makro secara idiot

 





Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat  yang menyampaikan informasi ke publik kadang berserta dengan opini dia sendiri. Ya jelas absurd terhadap data yang ada. Nah kebetulan jurnalis diharuskan memberitakan apa yang ada pada jumpa pers. Dan oleh para buzzer pemerintah, berita itu dijadikan senjata membela pemerintah lewat sosial media. Padahal kita sudah ada UU keterbukaan informasi. Namun tidak semua rakyat paham membaca informasi.


Pemerintah setiap tahun membuat LKPP ( Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ). BI juga membuat laporan tahunan soal kinerja moneter. Ada juga laporan konsolidasi BUMN. Kalau kita ingin tahu apa sih kinerja pemerintah, ya baca laporan itu. Kalau ingin tahu dengan cara mudah, ya baca aja laporan audit BPK. Hanya saja BPK buat laporan telat. Sementara LKPP, BI dan BUMN itu tepat waktu. Dan data nya bisa diakses lewat situs mereka.


Laporan itu sangat rinci dan tebal banget. Bagi kita orang awam, sulit membacanya. Mungkin sekelas S3 belum tentu paham. Melototi data itu butuh waktu lama. Apalagi kalau mau dianalisa,  perlu juga mengambil data pembanding dari tahun tahun sebelumnya. Tambah rumit dah. 


Saya akan memberikan sedikit tips sederhana dalam membaca  laporan pemerintah. Anda harus pahami tiga hal. Pertama. Sistem akuntasi negara. Kedua, system pengendalian moneter. Ketiga, peran dan fungsi BUMN.


Pertama. Sistem akuntasi negara kita menganut cash basic. Artinya kalau dianalogikan ya mirip pembukuan toko. Dalam buku tebalnya hanya berisi catatan pendapatan tunai dan pengeluaran tunai. Kalau kurang disebut defisit, kalau lebih disebut surplus.  Itu tercermin dari APBN. Nah utang yang dilakukan BI dan BUMN tidak dicatat sebagai utang negara. Bahkan utang pemerintah terhadap pension PNS tidak dicatat sebagai utang. Walau faktannya setiap tahun APBN bayar uang pension PNS.


Kedua. BI bertugas langsung mengendalikan moneter namun tidak terkait langsung dengan inflasi. Pengendalian inflasi ada pada pemerintah lewat kebijakan fiskal. Nah kalau BI lakukan intervensi pasar uang, itu bukan bertujuan meredam inflasi tetapi menjaga stabilitas kurs. 


Ya mainnya di suku bunga ( BI-rate) dan tentu harus kompit di pasar agar posisi Asset  financial Luar negeri (AFLN) terhadap  kewajiban financial luar negeri (KFLN) bisa dikelola. Kalau posisi kewajiban lebih besar daripada asset ya BI naikan suku bunga. Seperti sekarang ini. Kalau engga, asset bisa pindah ke luar negeri ( Capital outflow ) dan  rupiah bisa terjun bebas. 


Ketiga. BUMN itu beroperasi seperti layaknya Perseroan yang ukuran suksesnya dihitung dari laba yang dia hasilkan. Makanya BUMN itu boleh di-privatisasi lewat IPO atau MBO. Outcome nya dalam bentuk agent of development seperti BUMN China dan Singapore, tidak ada. Jadi kalau BUMN bangun jalan toll, bandara, Pelabuhan, PLN, Telkom, refinery oil & Gas, Kereta api, dan lain lain, itu hanya bisnis. Engga ada kaitanya langsung dengan kesejahteraan anda sebagai rakyat. Karena tarifnya komersial. Engga bayar tarif, anda engga boleh nikmati infrastruktur itu. Terkait dengan pemerintah hanya  saham, pajak dan deviden doang. 


***

Dengan tiga hal tersebut diatas, kita jadi paham bahwa: Pertama. Rasio utang terhadap PDB yang dilaporkan Pemerintah, itu tidak mencerminkan utang sesungguhnya. Karena utang BI untuk  operasi pasar dan Utang BUMN untuk ekspansi, tidak dicatat sebagai utang pemerintah. Itu sifatnya off balance sheet. Tapi kalau terjadi default, maka itu akan dicatat sebagai utang pemerintah. Menjadi beban fiscal. 


Kedua. Walau negara tidak bertanggung jawab secara hukum hutang luar negeri swasta, namun neraca moneter kita mencatat asset dan utang penduduk Indonesia sebagai AFLN dan KFLN. Artinya hutang luar negeri swasta ( bank maupun non bank) menjadi resiko negara. Misal, kalau terjadi default dan negara tidak bailout , maka itu berdampak terhadap stabilitas moneter. Resikonya mata uang rupiah bisa tumbang. Jadi tetap harus di bailout. Contoh saat pandemi COVID, kan pemerintah keluarkan dana PEN dan relaksasi utang korporat. 


Ketiga. Utang itu dalam politik anggaran sudah menjadi  keniscayaan. Idiologi anggaran kita adalah liberalisme. Peran negara sangat minim terhadap pasar. Sebagian besar di tentukan oleh pasar yaitu lewat SBN, SBRI.  Pemerintah dan BI main di pasar untuk mengamankan agenda politik. Tentu yang berlaku hukum pasar uang. Semakin tinggi bunga semakin besar peluang dapatkan dana di pasar. Jadi paham ya, mengapa bunga SBN, SBRI  kita lebih tinggi dibandingkan Singapore atau philipina, atau Malaysia, atau Vietnam? Ya karena idiologinya beda. Engga bisa disandingkan dan dibandingkan.


Makanya kebijakan makro ekonomi kita selalu ekspansif atau Bahasa vulgarnya pro-pasar. Mengapa ? agar PDB meningkat sehingga ratio utang terhadap PDB bisa dijaga tidak melewati pagu utang. Sehingga layak terus berhutang. Makanya ketika krisis global negara lain rendah pertumbuhan ekonominya, bahkan mendekati 0, kita tetap dikisaran 5%. Tapi peningkatan itu bukan karena kinerja produksi, tetapi konsumsi. Belanja lebih mudah daripada  investasi u/revitalisasi industry atau pertanian yang terpuruk, yang hasilnya butuh waktu lama bisa berdampak terhadap PDB.


Kalau kita ingin bandingkan dengan negara lain, tentu harus sama system akuntasi dan moneter nya. Misal, AS , Singapore, Eropa, Jepang, mereka menganut system akuntansi akrual. Rasio utang terhadap PDB, mencerminkan utang public, bukan hanya utang pemerintah. Makanya rasio utang mereka terhadap PDB tinggi. Bahkan ada yang diatas 100%. Sedangkan kita hanya utang pemerintah dikisaran 40% tapi kalau dimasukkan off balance sheet ratio nya bisa diatas 70%. Moneter mereka dengan kurs bebas ( floating exchange rate). Mereka engga pusing ongkosi operasi moneter. Sementara kita kurs mengambang terkendali ( Manage Floating exchange ) yang ongkos moneternya mahal.


Apakah pemerinta salah ? salah atau benar itu bukan karena sisatemnya. Tetapi karena mental pengelola negara. Indikatornya adalah indek korupsi. Artinya walau system liberal atau otoriterian sekalipun, pemimpinnya bersih ya hasilnya bagus. Tapi kalau indek korupsi memburuk, jangankan liberalisme, system agama yang katanya dari Tuhan pun tetap aja buruk. Kita ambil contoh China dan Jepang. Rasio utang kedua negara ini terhadap PDB diatas 200%. Walau system berbeda, tetapi rakyatnya relative sejahtera dan kehormatannya  dalam hal ekonomi tinggi di mata dunia. Mereka jadi lender dunia.


***

Memahami asset dan utang

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan aset negara hingga 31 Desember 2023 telah mencapai Rp 13.072,8 triliun. Jadi seluruh asset negara baik itu BUMN maupun infrastruktur ekonomi, Gedung kantor , sampai alas kaki kamar kerja Menteri sudah dihitung. Segitulah nilainya. Gimana dengan SDA? Itu selagi masih di dalam bumi, tidak dicatat sebagai asset. Untuk jadi asset, harus ada modal. Engga ada modal, ya hanya cerita aja.


Nah pemerintan berhutang itu menggunakan dua skema. Skema pertama, sovereign loan. Kedua, Surat utang negara. Apa bedanya skema pertama dan kedua ? sovereign loan yang jamin kedaultan negara atau negara RI.  Makanya harus ada izin dari DPR. Kalau Surat utang negara, itu terkait dengan APBN, jaminannya asset negara yang Rp. 13.073 triliun itu. Engga ada kaitannya dengan kedaulatan negara. 


Sejak era Jokowi, memang sepertinya mengharamkan sovereign loan. Kita focus aja ke SUN.  Kalau APBN disetujui DPR, dan defisit, Jokowi tinggal perintahkan SMI, “ Cari duit di pasar “ HItungan hari uang masuk. Engga repot amat nego nya seperti sovereign loan. Mengapa ? ya karena SUN itu underlying nya asset negara. Sama seperti kamu pinjam uang ke bank bawa sertifikat rumah. Selagi asset diatas pinjaman ya credit cair.


Saat sekarang utang SBN Rp. 8000 triliun. Jaminan sebesar Rp. 13.000 triliun. Jadi masih lebih besar dari hutang. Aman lah. Nah agar bisa terus berhutang. Pemerintah terus usahakan agar APBN bisa menciptkan sebanyak mungkin BMN ( barang milik negara). ? mengapa ? agar besok bisa ngutang lagi. Begitu aja terus. Ini disebut dengan APBN ekspansiv.


Yang jadi masalah adalah SBN itu dinilai oleh market.  Nah market melihat kinerja APBN bukan hanya dari bertambahnya BMN tetapi juga dari outcome nya. Misal, pemerintah bangun bandara, Untung berapa Angkasa Pura ? Bangun jalan tol, untung berapa Waskita?. Bangun kereta cepat. Untung berapa KAI ? Kalau untung tipis, bahkan ada yang tekor. BMN itu direvaluasi sendiri oleh market. Mereka akan adjustment sendiri. Engga ada urusan soal trade off dari adanya BMN itu. Itu absurd dan bias.


Ada rumus cara ngitungnya value adjustment itu, seperti indicator ICOR,  DSR dann lainnya.  Kalau hitungan kasar saya sebagai pedagang sempak nilai BMN kita itu tidak lebih 1/3 dari nilai buku sebesar Rp. 13.000 triliun. Ya not enough collateral. High risk but okay lah.. Makanya bunga SBN diatas 6% dan SBRI diatas 7%. Tertinggi yield nya di ASIA.