Senin, 06 Desember 2021

Hukum dan negara.

 





Sebelum COVID tahun 2018, di China pernah heboh. Apa pasal? Walikota Shenzhen mengingatkan wanita agar tidak pakai rok mini dan kalau pergi keluar malam hari jangan sendirian. Tujuannya agar wanita tidak jadi korban pelecehan seksual. Peringatan itu normatif. Memang begitulah seharusnya pemimpin. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Peringatan ini viral di media sosial. Rakyat protes. Yang protes bukan hanya wanita, tetapi juga pria. Ada komen warganet yang langsung menghantam jantung penguasa di Beijing. “ Kalian dibayar bukan untuk bicara tetapi bekerja. Kalau tidak bisa menerapkan hukum dan UU, tidak perlu ada pemerintah. Kembali ke hukum rimba saja.” Kata mereka.


Setelah beberapa hari viral, akhirnya Kepala Polisi Shenzhen mengeluarkan pernyataan “ Para wanita silahkan menggunakan baju yang indah sesuka mereka. Soal pelecehan seksual dari tukang mesum, itu urusan kami. Kami pastikan anda aman setiap waktu.” Keadaan seketika reda. Mengapa pemerinah China langsung merespon cepat? Karena memang reformasi Deng yang paling fenomenal adalah anti diskriminasi, terutama kepada kaum wanita. UUD China menjamin kebebasan kaum wanita. 


Dalam hal politik secara keseluruhan tidak ada lagi stigma anti Komunis. Semua dasarnya adalah Hukum dan UU. Mau pro Mao atau pro Kapitalis, kelau melanggar hukum ya dilibas. Lambat laun setelah Deng wafat, rakyat China juga focus kepada penegakan hukum. Mereka berani bersuara soal keadilan atas nama hukum. Sekeras apapun protes rakyat berkaitan dengan law enforcement, tidak akan berhadapan dengan bedil penguasa. Itu akan didengan dan ditindak lanjuti cepat oleh partai Komunis. Tetapi kalau protes karena alasan politik, ya mati.


Di Indonesia, problum utamanya adalah kurangnya law enforcement. Banyak masalah sosial dan ekonomi tidak beres karena rendahnya law enforcement. MUI hanya LSM namun punya kekuatan hukum menentukan apa dan bagaimana rakyat bersikap. Bahkan izin mendirikan pabrik yang dikeluarkan negara atas nama UU dan Hukum dapat berhenti produksi karena dicap tidak halal. UU Pemilu tidak berdaya ketika MUI ikut dalam politik Pilgub DKI. Apalagi kebiasaan pejabat TNI dan Polri yang sowan ke tokoh agama


Karena law enforcement tidak efektif, jangan kaget bila ketidak pastian hukum terjadi. Yang lebih buruk, terjadi polarisasi politik ditengah masyarakat. Yang patuh kepada sistem negara dicap SIPILIS (  sekularismepluralismeliberalisme) atau secara vulgar dianggap Cebong. Yang anti sistem, disebut dengan kadrun atau kampret.  Maka pesatuan dan kesatuan jadi berderak. Padahal sarat kuatnya negara adalah kokohnya persatuan. Dan itu bukan karena jargon atau retorika tetapi karena tegaknya hukum dan UU. 


“ Ketidak pastian hukum itu memang keliatannya by design. Agar rakyat lemah dan tidak bisa bersatu menghadapi ketikda adilan ekonomi.  Sementara elite partai dan tokoh agama serta pengusaha bergandengan tangan menjaga polarisasi itu agar rakyat habis energi berseteru diantara mereka. Sehingga mereka Lupa tentang uang APBN dibancaki lewat skema rente. Lantas siapa yang salah? Tidak ada yang salah. Yang bego ya rakyat. Kenapa mau  aja diadudomba? Padahal sama sama jadi korban dari oligarki politik dan bisnis.” Kata teman.

Wirausaha VS Salesman.

 





Saya pernah tahun 2009, berusaha dapatkan akses ke salah satu kementerian. Segala cara saya usahakan agar dapat akses tetapi selalu gagal. Saya tahu, networking politik saya lemah. Tetapi otak reptil saya kuat sekali. Saya tahu semua orang punya sisi kelemahannnya. Salah satunya bahwa menteri itu doyan cewek. Saya minta agent untuk atur saya bertemu dengan wanita yang jadi primadona menteri itu. Hanya beberapa jam, saya sudah ketemu dengan wanita itu. Saya katakan kedia. “ Saya bayar kamu 4 kali dari tarif kencan kamu. Tugas kamu hanya mesra kepada saya di depan dia. Cukup 2 menit saja “.Dia sanggupi. Kemudian Skenario saya susun.


Saya datang ke restoran tempat dia kencan dengan menteri itu, yang kebetulan di Singapore. Dia melihat saya. Dia rangkul saya dengan gaya akrab. Menteri itu tersenyum kearah saya. Seminggu kemudian , saya datangi kamar kerja menteri itu. Saya langsung todong minta dia setujui proposal saya. Seminggu kemudian, saya dapat surat bahwa prosal saya disetujuinya. Namun setelah dapat konsesi. Benar benar konsesi itu saya kerjakan sampai selesai dan dapat laba. Engga seperti orang lain yang gunakan konsesi itu dapatkan fee. Sementara yang kerja orang lain. Ini rente. Merugikan negara.


Banyak orang yang jago sekali cari peluang bisnis dan kreatif. Sebenarnya tipe orang seperti itu belum tentu dia wirausaha, bisa saja dia hanya jago komunikator bisnis atau salesman. Networking luas.  Maklum orang gaul. Kalaupun karena itu dia dapat uang, hidup hedonis, itu bukan berasal dari laba. Tetapi dari ngakalin investor, bank dan rekanan saja. Semakin lama, semakin dalam sumur dia gali. Sampai akhirnya dia tidak bisa lagi keluar dari sumur itu. Ya tak ubahnya dengan bisnis ponzy atau Jual narkoba tetapi makai juga. Kan bego.


Dia tidak paham bagaimana barang itu dibuat. Tidak mengerti business process dari sejak deal terjadi sampai print out invoice dan uang masuk ke rekening perusahaan, menghasilkan laba.  Memang keliatan remeh dibandingkan teken hutang dapat cash  atau teken broker fee kepada investor. Tetapi justru dari yang keliatan remeh itulah  point dari bisnis sebenarnya. Focus kepada business process. Process dari mendapaktan peluang, melaksanakan, mengorganisir sumber daya, dan pengawasinya sampai jadi duit. Eric jago soal komunikasi bisnis. Orang gaul, tetapi dia tidak focus ke business process