Tahun 1995 saya pernah ikut seminar Toward global network society. Pada waktu salah satu pembicara adalah Adi Rahman Adiwoso. Dia adalah pendiri PT. Pacific Satelit Nusantara. Pada waktu itu dia masih muda. Dalam seminar itu seperti kita melihat masa depan yang serba fiksi. Betapa tidak. Dimasa depan orang bisa mendapatkan akses data, gambar, suara dan visual sekaligus. Dimana saja kapan saja orang bisa akses. Dan itu semua dengan biaya murah. Pembicara seminar bilang bahwa kalau Bisnis Telekomunikasi tidak berubah maka bisnis telpon kabel nya akan digusur digantikan dengan VOIP dan cellular. Ketika itu Microsoft sudah meluncurkan satelit teledesic, yang merupakan satelit low orbit, satelite broadband dengan kecepatan uplink 100 Mbps dan downlink 720 Mbps untuk akses multimedia. Indonesia hanya ada satelite untuk telpon dan TV saja.
Tanpa jaringan telekomunikasi yang handal dan luas, tidak mungkin tekhnologi multimedia itu dapat terealisir. Makanya Pak Harto ketika itu menggelar visi Nusantara 21 yang merupakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi sebagai pendukung jaringan IT untuk data, suara dan gambar. Banyak orang mencibir proyek Nusantara 21 itu. Karena anggaran membangun infrastruktur Telekomunikasi itu sangat besar sekali. Apalagi itu hanya dengan visi mempersatukan nusantara dalam sistem ring to ring. Kalau melihat PDB indonesia masih rendah rasanya tidak mungkin bisnis telekomunikasi dengan anggaran besar itu bisa layak. Tetapi Soeharto tetap dengan visinya. Namun sebelum impiannya jadi kenyataan, dia jatuh.
Era Habibie, Gus Dur, Megawati , dan SBY praktis tidak ada pembangunan jaringan telekkomunikasi seperti visi Pak Harto itu. Sementara perkembangan tekhnologi internet yang merupakan revolusi computer dan otomatisasi terus bergerak. Bisnis selular dan penyedian jaringan data semakin bermunculan. Sementara jaringan telekomunikasi terbatas. Makanya jangan kaget bila operator telephone menyewa bandwith ke luar negeri seperti Singapore, Malaysia, Hong kong agar dapat melayani kebutuhan akan bandwith untuk komunikasi data. Tanpa disadari terjadilah kartel penguasaan infrastruktur Telekomunikasi diantara operator. Dan ini didukung oleh regulasi yang penuh intrik membela kepentingan operator tertentu.
Pemerintah telah menetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pita Lebar Indonesia (Broadband Indonesia) 2014 – 2019 sebagai rencana strategis untuk meningkatkan daya saing bangsa. untuk mewujudkan program ini diperlukan langkah kongkrit dari seluruh stakeholder industri telekomunikasi dari informatika Indonesia. Regulasi di perbaiki dan lebih transparans. Sehingga menarik bagi investor untuk berinvestasi. Ada tiga jenis investasi infrastruktur telekomunikasi. Jaringan Telekomunikasi Internasional, Jaringan Telekomunikasi Backbone Dalam Negeri, Jaringan Telekomunikasi Akses. Saat sekarang Jaringan Telekomunikasi Internasional sudah terhubung secara global menggunakan SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) berbasis Kabel serat optic dengan kapasitas bandwidth yang sangat besar terhubung ke seluruh negara di dunia. Jaringan Backbone Dalam Negeri hampir seluruhnya sudah menggunakan Jaringan kabel serat optic yang menghubungkan kota-kota di Indonesia dengan kapasitas bandwidth yang besar,
Karena konsep pembangunan diluar APBN maka pemerintah tidak bisa memaksa swasta untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah yang rendah nilai komersialnya. Tahun 2018 Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) berganti nama. Divisi Kominfo yang mengurusi penyediaan internet di daerah terpencil itu kini bernama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan informatika (BAKTI). Tugas BAKTI adalah penyedia pemerataan jaringan IT. contoh Indonesia Bagian Timur masih mengandalkan sebagian besar transmisi microwave sehingga kapasitas lebar pita/bandwidthnya masih terbatas. Ini menyebabkan layanan konvergensi menjadi kurang optimal.
Darimana sumber dananya ? dari dana universal service obligation (USO). Dana USO dihimpun dari pendapatan kotor operator sebesar 1,25%. Kemudian, perolehan dana tersebut dikelola untuk membangun akses telekomunikasi, terutama di wilayah-wilayah terpencil, terluar, dan terdepan (3T) yang tidak digarap operator karena tidak memiliki skala ekonomi dan bisnis yang menguntungkan. Sektor-sektor yang mendapatkan akses pelayanan dari sarana telekomunikasi yang dibangun terdiri atas pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan pos lintas batas negara, serta sentra-sentra usaha kecil dan menengah (UKM). Jadi pembangunan infrastruktur bukan hanya jalan darat, bandara, pelabuhan, tetapi juga jaringan multimedia. Agar apa ? Indonesia bisa bersaing dan tampil percaya diri menghadapi perubahan tekhnologi.
***
***
Anda mungkin pernah baca berita pemerintah mencabut Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) 2,3 GHz dari tiga perusahaan yaitu PT First Media Tbk (KBLV), PT Internux, dan PT Jasnita Telekomindo. Apa sebab ? karena tidak membayar uang sewa frekwensi. Padahal ketiga perusahaan itu sudah investasi tidak sedikit. Pemerintah tidak peduli. Izin tetap di cabut. Mungkin anda orang awam agak bertanya tanya, kok frekwensi harus sewa. Emang lahan tanah ? Memang tidak keliatan. Tetapi manusia dengan ilmu pengetahuannya dapat mendeteksi keberadaannya dan manfaatnya. Untuk diketahui Frekuensi Radio merupakan salah satu gelombang frekuensi elektromagnetik yang terletak pada kisaran membentang dari bawah 3 kilohertz sekitar 300 gigahertz. Nah tampa gelombang frekuensi tidak akan ada alat komunikasi seperti Radio, TV, telepon selular transmisi satelit dan termasuk sinyal radar.
Jadi untuk apa sebetulnya frekuensi itu ? ya sebagai media transmisi nirkabel. Digunakan untuk menyalurkan informasi dari perangkat pemancar (transmitter) ke perangkat penerima (receiver). Karena sifatnya sebagai media, maka tidak bisa dipakai seenaknya. Kalau semua orang bebas menggunakannya maka akan kacau komunikasi. Mengapa ? frekuensi itu terbatas jalurnya. Makanya pemerintah perlu atur penggunannya agar frekuensi mejadi stabil sehingga dapat dimanfaatkan secama optimal. Makanya frekuensi itu disebut sebagai sumber daya negara yang terbatas. Sesuai UUD 45 pasal 33 itu dikuasai negara. Tidak bisa dijual. Namun disewakan bisa, asalkan membayar uang sewa penggunaan frekuensi.
Kalau kita analogikan Frekuensi itu adalah lahan atau tanah. Orang bisa menggunakan lahan untuk beragam kebutuhan, seperti perumahan, pertanian, pertambangan, jalan raya, termasuk kuburan. Namun karena lahan itu terbatas maka pemerintah atur pemanfaatnya sesuai dengan potensi lahan. Mengapa? Lahan itu kan sumber daya terbatas. Tuhan tidak ciptakan bumi dua kali. Walau berdasarkan UUD lahan itu sebagai daya terbatas yang dikuasai negara namun negara tentu tidak bisa pula memiliki secara langsung semua lahan itu. Kalau negara miliki semua ya itu sama dengan negara komunis. Negara kita bukan komunis. Makanya penguasaan negara bukan berarti negara harus investasi langsung tetapi mengendalikan untuk manfaat seluas luasnya bagi rakyat.
Begitupula dengan frekuensi. Walau frekuensi itu dimanfaatkan orang untuk bisnis Radio, TV, Telp selular, Satelite, dan lain lain, dengan investasi besar. Namun secara hukum frekuensi itu hak milik negara dan bisa mengambilnya kembali apabila terjadi pelanggaran. Nah anda bayangkan apa yang terjadi bila perusahaan seperti PT. Indosat, frekuensi nya di ambil negara. Semua investasi akan hancur. Karena tidak ada sinyal yang bisa diakses oleh pelanggannya. Kebijakan investasi di bidang komunikasi dan informasi adalah bagaimana memanfaatkan frekuensi itu agar terjadi investasi di bidang tekhnologi komunikasi secara luas dan efisien, yang menjadi sumber penerimaan negara untuk ongkosi biaya sosial negara. Itu sebabanya perlu visi pemimpin yang hebat agar para stakeholder merasa nyaman berbisnis dan rakyat di untungkan.
Jadi dibidang tekhnologi informatika, dikotomi swasta dan negara itu sudah tidak relevan. Bagaimanapun hak frekuensi itu ada pada negara. Swasta atau BUMN hanya sebagai penyewa yang harus bayar fee dan kalau untung harus pula bayar pajak. Orang yang masih berpikir semua harus dimiliki negara , dia masih berpikir negara ini dikelola seperti partai komunis atau seperti Raja Arab. Negara kita engga menggunakan sistem komunis atau monarki absolut. Semoga bisa dipahami.
Jadi dibidang tekhnologi informatika, dikotomi swasta dan negara itu sudah tidak relevan. Bagaimanapun hak frekuensi itu ada pada negara. Swasta atau BUMN hanya sebagai penyewa yang harus bayar fee dan kalau untung harus pula bayar pajak. Orang yang masih berpikir semua harus dimiliki negara , dia masih berpikir negara ini dikelola seperti partai komunis atau seperti Raja Arab. Negara kita engga menggunakan sistem komunis atau monarki absolut. Semoga bisa dipahami.