Saya yakin bahwa kemenangan
Jokowi sebagai Presiden dalam Pemilu 2014, berkat dukungan sistem demokrasi
yang dikawal ketat oleh SBY sehingga memungkinkan yang bukan Jenderal,
Professor, Ulama, Elite politik bisa jadi Presiden. Kalaulah orientasi SBY
adalah kekuasaan, maka tidak sulit baginya memenangkan calon dari lingkarannya
sendiri. Karena selama 10 tahun berkuasa, jaringan politik dari ormas, partai,
sampai TNI sudah dalam cengkramannya. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Kehadiran
SBY adalah jalan berkah Tuhan menghadirkan Jokowi, seorang rakyat jelata jadi
Presiden. Dan kehadiran SBY juga berkat kerelaan Megawati memberikan kesempatan
kepada seorang Jenderal Profesional menjadi Presiden. Itulah buah dari sejak
diubahnya Pancasila seperti awal proklamasi kemerdekaan. Bahwa Pancasila itu
adalah falsafah negara, yang menjadi dasar negara kita.
Ketika Jokowi mencanangkan
revolusi mental, saya sempat bertanya tanya. Mengapa mental? Mengapa harus
revolusi? Mengapa tidak melalui reformasi mental. Saya berusaha mendapatkan
tulisan resmi dari pemerintah tentang revolusi mental ini. Tetapi tidak saya
temukan dengan tepat. Yang ada hanya retorika berkaitan dengan program Nawacita nya Jokowi. Saya berusaha mendapatkan informasi dari
situs PDIP dan buletinnya tetapi tidak ditemukan penjelasan yang kongkrit. Saya
yakin sekali bahwa Jokowi punya pertimbangan khusus sehingga mencetuskan
perlunya revolusi mental itu. Tentu itu
berdasarkan renungan dan masukan dari banyak pihak. Apa itu?
Sejarah mencatat 350 tahun
Indonesia dijajah oleh Belanda. Secara logika hampir tidak mungkin Belanda,
kerajaan Kecil yang ada di Eropa bisa menjajah Indonesia yang begitu luas.
Apalagi ketika itu di Indonesia sudah ada kerajaan Islam seperti: Samudera
pasai dan Aceh Darussalam (Sumatera), Pajang, Demak, dan Cirebon (Jawa),
Kerajaan Banjar dan Kutai (Kalimantan). Belanda tidak datang dengan pasukan
besar dan senjata berat. Tetapi datang dengan konsep bisnis. Perdagangan dan
investasi. Di awali dengan misi dagang, dan kemudian masuk ke PMA yang
dilegitimasi oleh Kerajaah yang ada ketika itu. Itu berlangsung selama 200
tahun. Dan akhirnya dikuasai sebagai sebuah koloni Belanda. Kenapa sampai
banyak kerajaan atau kesultanan tidak bisa mengusir Belanda? karena mental para
elite kerajaan sudah bobrok. Atau secara spiritual sudah bangkrut. Makanya
mereka tidak peduli dengan amanah Tuhan atas kekuasaan yang ada pada mereka.
Barulah ketika munculnya
paham nasionalisme dari kalangan pelajar dan ulama. Kekuatan itu bangkit, untuk
mengusir Belanda dari bumi pertiwi. Kekuatan segelintir para pemuda itu nothing dibandingkan dengan kekuatan
sistem dan militer yang dimiliki Belanda. Tetapi berkat kekuatan cinta yang
mereka miliki mampu memberikan inspirasi kepada rakyat seluruh nusantara untuk
Indonesia merdeka. Proklamasi kemerdekaan lahir tanpa ada ego politik aliran
atau isme. Indonesia di proklamirkan atas nilai tauhid: nilai nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab untuk lahirnya semangat persatuan, dengan mengutamakan
jalan musyawarah dan mufakat, untuk mencapai keadilan sosial bagi semua.
Apabila selama Orde Lama
kita menjadi negara gagal mengelola ekonomi dan politik. Itu bukanlah karena
kita kurang ulama hebat, kurang ekonom hebat, kurang politisi hebat. Bukan.
Apalagi ketika itu secara moral bangsa kita sedang tinggi sekali karena di
kenal sebagai bangsa yang berhasil melawan kolonalisme dan menjadi inspirasi
bagi bangsa lain untuk bebas dari penjajahan. Tetapi karena mental para elite
orientasinya kepada kekuasaan atas dasar semangat golongan dan partisan. Akibatnya
barisan nasional jadi kacau, sehingga banyak kebijakan strategis untuk
kemakmuran gagal di delivery kepada rakyat.
Begitupula selama Orde Baru,
selama 32 tahun pembangunan ekonomi seakan tiada henti. Sangking hebatnya Indonesia
pernah dijuluki sebagai macan Asia, dan Soeharto dijuluki sebagai Bapak
Pembangunan, yang mengukuhkan dia sebagai pemimpin tak tergantikan. Tetapi apa
yang terjadi? hanya karena badai moneter dari luar menyerang ASIA, rupiah
terjun bebas. Kehebatan yang dibanggakan tak nampak sama sekali. Yang ada
nampak loyo kehilangan tenaga untuk tinggal landas, seketika negara oleng dan
terjerembab. Akhirnya tahulah kita bahwa 32 tahun negara di bangun diatas
fondasi yang renta.
Apa salah kita? Padahal kita
kaya SDA. banyak orang Pintar lulusan Luar negeri. Banyak ulama hebat. Banyak
kampus dibangun. Banyak tempat ibadah di bangun. Tetapi mengapa kita gagal
makmur, bahkan terjebak dengan hutang sangat besar? Jawabanya adalah karena kita hebat membangun
secara phisik tetapi justru pembangunan phisik itu menimbulkan KKN yang
meracuni mental elite politik. Dan pada waktu bersamaan etos kerja rakyat
menurun akibat subsidi dan segala kemudahan. KIta jatuh karena mental kita
sendiri yang rusak.
Era reformasi kita berusaha
keluar dari masa lalu yang kelam. Regulasi diperbaiki agar semakin besar peran
serta rakyat dalam pembangunan. Demokrasi di buka lebar dan bebas. Pancasila di
kembalikan sebagai dasar falsafah negara. KPK dibentuk agar Korupsi, kolusi,
nepotisme dapat diperangi secara khusus. Rezim reformasi bisa berdamai terhadap
masa lalu dengan mem bail out perbankan, yang kalau di hitung sampai sekarang
nilainya Rp. 3000 Triliun.
Kitapun berhasil mendapatkan
presiden baru melalui Pemilu langsung. Harapan di pagut untuk masa depan yang
lebih baik. Tetapi apa yang terjadi? 10 tahun era SBY berkuasa negara membakar
uang Rp. 3000 triliun lewat subsidi BBM. Kalaulah uang itu digunakan untuk
membangun infrastruktur, mungkin kita sudah mengalahkan negara ASEAN. Bukan itu
saja, bisnis rente tercipta disegala sektor seperti MIGAS, Pangan, kehutanan,
Kelautan. Itu terjadi secara massive yang berdampak kepada inefisiensi nasional
dan melemahkan daya saing kita. Industri tidak tumbuh, bahkan terjadi
deindustrialisasi.
Di penghujung kekuasaan SBY,
Current account kita defisit. Mengapa
itu terjadi? padahal team Kabinet SBY adalah orang orang hebat. Ulama hebat ada
disekitar SBY. APBN kita meningkat 4 kali lipat sejak kejatuhan Soeharto.
Kitapun sudah masuk anggota G20. Mengapa?
Karena mental elite politik dan kelas menengah kita yang rakus.
Apa yang dilakukan Jokowi,
dari segi orientasi pembangunan memang sebuah reformasi total. Bahwa sudah
saatnya pembangunan itu tumbuh karena kemandirian, yang datang langsung dari
rakyat. Karenanya reformasi pajak adalah mutlak dilakukan agar semakin besar
penerimaan APBN dari Pajak Penghasilan. Pada waktu bersamaan, negara memberikan
kanal seluas mungkin agar setiap orang punya peluang yang sama dalam memberikan
kontribusinya kepada negara. Tentu setiap orang harus mau bekerja keras agar
unggul dalam persaingan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Dan
suksesnya pembangunan semacam ini sangat tergantung dari revolusi mental, bukan
hanya elite politik, birokrat tapi juga rakyat.
***
Sebagai anak bangsa dan
rakyat, saya berusaha meng explore tentang revolusi mental dari perspektif
saya. Tentu tidak seratus persen benar. Dan lagi secara ilmiah belum ada
kesepakatan antar ahli tentang definisi apa itu mental. Saya berusaha berpikir
terbuka dan membuka hati dalam membahas ini. Kata mental itu sendiri berasal
dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau metis yang memiliki
arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental ialah hal-hal
yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku
individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan
dan cerminan dari kondisi (suasana) mental.
Kalau kita menarik makna
tersurat dan tersirat dari asal kata Mental maka kita tahu pasti bahwa mental
itu berkaitan dengan jiwa. Sesuatu yang transendental. Jadi mental itu adalah manifestasi dari nilai nilai budaya dan
agama yang di imaninya. Mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. Tetapi
mengapa nilai nilai Islam itu tidak menjadi potensi besar memakmurkan bangsa
ini.? Fenomena ini diamati dengan baik oleh Gordon W. Allport, sang Ahli
Psikologi. Ia punya jawaban bahwa Islam diperkenalkan Rasul dalam keadaan utuh.
Hanya masalahnya menjadi lain ketika ia tersebar-luaskan.
Cara menerima agama inilah
yang berbeda, sehingga berbeda pula sikap dan perbuatannya. Menurut Allport, karena
umat memandang agama sebagai something to use, but not to live. Orang
berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama di politisir,
digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman
atau harga diri dan kekuasaan. Orang yang beragama dengan cara ini,
melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa, sholat, naik haji, dan
lain sebagainya, tetapi tidak di dalamnya. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa
beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu,
karena dikira sudah beragama, ternyata belum.
Allport juga bilang, bahwa
cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental.
Sehingga kesimpulannya, cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan
masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, iri hati, dan fitnah,
korup masih tetap akan berlangsung.
Sehingga bukannya kedamaian yang didapat tetapi jusru kekacauan. Bukannya
kemajuan yang didapat, malah kemunduran.
Jokowi sangat paham akan hal
itu. Menurut cerita dari media massa bahwa Jokowi adalah muslim yang taat. Dia
sudah menyempurnakan rukun islamnya jauh sebelum dia terpilih sebagai Presiden
RI. Tentu mental yang dimaksud Jokowi adalah Akhlak. Lantas apa itu akhlak?
***
Saya pernah di undang makan
malam oleh teman Yahudi. Setelah usai makan, dia bayar sendiri bill nya dan
pergi sambil mengucapkan terimakasih atas kedatangan saya. Dia tidak merasa
bersalah ketika pergi tanpa membayar bill saya. Padahal dia undang saya. Saya
tidak merasa tersinggung karena begitu etikanya. Secara moral dia tidak merasa
bersalah karena itulah kebiasaan di lingkungannya. Beda dengan di Cina, kalau
kita di undang makan malam, kening kita berkerut saja dia sudah cemas. Kawatir makanan
terhidang tidak membuat kita puas. Setelah usai makan dia akan bersegera
membayar Bill. Bagi mereka membayar makan teman adalah kehormatan. Ini etika
dan standar moral mereka.
Bila kita melakukan
perbuatan baik atau memberi sesuatu kepada seseorang, di dunia barat mereka
akan segera mengatakan Thank you very much dan kita akan segera menjawab
"Most welcome ". Etika mereka kalau di beri maka akan
mengatakan terimakasih dan dijawab dengan terimakasih kembali. Artinya ada niat
atau unsur untuk membalasnya dalam kesempatan lain. Kebaikan harus dibalas
kebaikan. Tapi orang China kalau menerima kebaikan atau pemberian, maka dia
akan berkata " Xièxiè (terimakasih) dan akan di jawab Bùyòng
xiè (tidak perlu terimakasih). Mengapa etika china, orang menerima kebaikan
tidak punya kewajban membalasnya. Ini moral mereka, sandarannya budaya.
Kalau etika lebih bersifat
teori sementara moral lebih bersifat praktis. Teorinya sederhana bahwa kebaikan
harus dibalas kebaikan. Berbuat baik hanya kepada mereka yang berbuat baik.
Bersilaturahim hanya kepada mereka yang mau bersilaturahim. Berbicara hanya
kepada mereka yang mau berbicara. Memberi makan hanya kepada mereka yang mau
memberi makan. Memuliakan hanya kepada mereka yang memuliakan kita. Bagaimana
dengan orang jahat? Orang jahat di asingkan secara sosial. Orang pelit
kehilangan komunitas. Orang sombong tidak mau bergaul kehilangan kehormatan.
Artinya keburukan dibalas dengan keburukan juga. Ini standar etika berlaku
dimana saja. Di barat maupun di timur sama saja.
Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu. Bila etika bersifat universal sementara moral
bersifat lokal (budaya). Etika di AS belum tentu sama dengan moral di
Indonesia. Dibelakang moral ada norma yang menjadi dasar berbuat. Norma itu menyangkut
aturan, pedoman yang bersifat normative. Dengan norma ini diharapkan manusia
bisa beriteraksi dengan tertip.
Bagaimana Akhlak? Akhlak
itu sendiri sebetulnya berasal dari bahasa Arab, khuluqun. Kata kata khuluqun
itu sendiri berarti kejadian yang erat hubungannya dengan khaliq yang berarti
pencipa. Singkatnya pengertian akhlak adalah perbuatan baik yang disebabkan
oleh adanya hubungan antara makhluk dengan khaliq untuk dasar berinteraksi
dengan sesama mahkluk. Sebagian orang menganggap etika itu sendiri adalah
akhlak. Memang keliatan sama karena keduanya berhubungan dengan tingkah laku
manusia. Namun ada letak perbedaannya yang principil yaitu soal kebenaran.
Kebenaran pada etika adalah kebenaran akal yang bersandar pada filsafat. Ini
kebenaran yang bersifat subjective. Yang tentu kebenaran itu tidak selalu benar
tergantung dengan tempat, situasi dan kondisi yang ada. Sementara akhlak,
sumber kebenaran itu berasal dari Tuhan. Ini bukan buah pikiran akal dan bukan
pula tesis filsafat. Ini firman Allah. Ia menembus ruang dan waktu yang tak
mungkin didebat.
Bagimana aplikasi Akhlak?
Berbuat baik bukan hanya kepada mereka yang berbuat baik kepada anda tapi juga
kepada orang yang jahat. Bersilaturahim bukan hanya kepada mereka yang
bersilaturahim tapi juga kepada mereka yang memutuskannya. Berbicara bukan
hanya kepada mereka yang berbicara tapi juga kepada mereka yeng enggan
berbicara. Memaafkan mereka yang tidak memberi kemaafan. Mereka amanah kepada
mereka yang mengkhianatinya. Memuliakan mereka yg menghinanya. Sikap ini jelas
secara etika dan moral keliatan konyol tapi itulah Akhlak.
Dengan akhlak, tak penting
bila air susu dibalas tuba, tak penting titian biasa lapuk, janji biasa ingkar,
semua dimaafkan. Yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Tidak perlu ada benci,
tidak perlu hukum sosial, tidak perlu ada eklusifitas, tidak perlu ada
pencitraan untuk menaikan gengsi. Karena semua perbuatan hanya karena Tuhan dan
semua urusan kembali kepada Tuhan. Bila kebaikan berbalas baik maka bersyukur
kepada Tuhan, dan bila kebaikan dibalas kejahatan maka bersabar. Apapun itu
bagi orang yang berakhlak, semua adalah baik. Hidupnya bahagia dan kecukupan
bukan karena simbol duniawi tapi karena Tuhan hadir dalam dirinya, untuk cinta
bagi semua.
***
Akhlak itulah yang kini
semakin memudar. Orang beragama apapun, sama saja. Akhlak dipertanyakan. Mengapa?
karena adanya dorongan prinsip free will
dan semangat berkompetisi atau Bahasa mesranya adalah Nafsu duniawi. Pengaruh dari luar disikapi dengan menerima begitu
saja. Mungkin menolak dari segi konsepsi tapi tidak bisa menghindar dari sifat individualisme,
rakus yang dibawa oleh pengaruh darl luar dengan membajirnya barang dan jasa
yang memanjakan ego. Mereka mengabaikan soal akhlak dengan alasan perubahan
zaman harus disikapi dengan smart agar indonesia bisa seperti negara maju
lainya. Tidak ada lagi ketulusan. Semua serba transaksional.
Mereka bisa saja menjelaskan
bahwa sifat transaksional itu bagus selagi sama sama happy. Mereka punya dasar
untuk menjelaskan argumen tentang apa itu Kapitalisme seperti yang diajarkan
Adam Smith dalam buku "The Theory of Moral Sentiments" (1759)
dan "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations"
(1776), yang terakhir dikenal luas sebagai The Wealth of Nations. Mereka
bisa saja beargumen lebih hebat dari Adam Smith dengan mengadobsi pemikiran
David Ricardo, yang menentang segala bentuk proteksi Pemerintah dan
menganjurkan keadilan sosial dari kebebasan pasar melalui kebijakan pajak.
Sebagaimana dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and
Taxation" (1817).
Kemudian mereka bisa saja
mengatakan Adam Smith, David Ricardo kampungan dengan mengadopsi pemikiran
Alfred Marshall yang memperkenalkan ilmu ekonomi dalam matematika, yang
berusaha menghindari ekonomi dalam ranah politik. Teorinya merupakan gabungan
dari supply and demand curva, marginal utility, dan marginal
production. Yang ditulis dalam
bukunya “Economics of Industry" (1879) dan "Principles of
Economics" (1890),
Mereka bisa saja semakin
gandrung dengan Teori Marshall setelah muncul pemikiran John Maynard Keyness,
yang mendorong agar Pemerintah aktif melakukan intervensi pada kebijakan
moneter dalam rangka mengatasi dampak buruk akibat dari resesi ekonomi. Ya
mereka lebih suka dengan pasar yang regulatedl sesuai dengan buku "General
Theory of Employment, Interest and Money”.
Kemudian muncul Milton
Friedman. Merekapun mulai berubah pemikiran. Pasar yang regulated itu
tidak sehat. Mereka terinspirasi setelah membaca buku "Capitalism and
Freedom”. Tetapi apa yang terjadi? Krisis ekonomi terjadi dari waktu
kewaktu. Seakan menjadi sejarah abadi yang terus berulang ulang. Apa sebabnya? Albert Hirschman mengatakan dalam esainya, Against
Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic
Discourse: “ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat
mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat (public spirit), dan
hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu akan
menggerogoti vitalitasnya sendiri, yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus
seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In
Defense of Greed.
Sebab vitalitas itu
berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu, sikap yang katanya
tak diakui dan dianggap penting oleh ideologi resmi kapitalisme. Terbukti Cina,
lebih berhasil dalam menerapkan sistem kapitalisme walau ideologinya sendiri
adalah komunis. Karena Cina hanya menjadikan komunis sebagai metodelogi
mengisolasi kapitalisme agar tetap dalam standar moral kebersamaan, bukan
individu.
Semua harus belajar dari
krisis di AS. Sejak Krisis Mortgage tahun 2008 sampai hari ini AS tetap
tidak bisa keluar dari krisis. Bahkan menempatkan AS dalam krisis baru yaitu
krisis utang. Artinya berbagai upaya terbaik dari para akademis terbaik lulusan
universitas terbaik di AS telah gagal. Dampaknya dunia berhadapan dengan
ketidakpastian pertumbuhan ekonomi. Bayang-bayang akan terjadi krisis baru di
kawasan emerging market seperti Indonesia dan lainnya sudah nampak.
Mengapa?
Saya teringat ungkapan dari
Jeffrey T. Kuhner, ia adalah kolumnis dari The Washington Times, yang dalam
kolomnya mengomentari bahwa krisis ekonomi terjadi karena krisis moral
kepemimpinan di AS. Ini terjadi disemua level kepemimpinan di AS, “We are now
facing more than just a financial mess; almost every other major institution is
under threat. The political system is adrift; public schools are failing; the
borders are porous; the intelligence agencies are dysfunctional; the inner
cities are infested with drugs and gangs; the family is broken; and millions
are fleeing their churches.
In most of our institutions
there is poor leadership. A survey by Harvard's Center for Public Leadership
revealed 77 percent of Americans believe the country faces a leadership crisis;
this is prevalent across 12 different institutions and leadership groupings. In
the survey, Congress, the executive branch, the business community and the
media ranked in the lower echelons. Democratic capitalism is based on widespread
social trust - especially, trust in leaders. Without this confidence, the whole
system threatens to unravel. The solution is not more government regulation; it
is moral and spiritual renewal.”
Ungkapan tersebut di atas
ingin menyadarkan publik AS bahwa krisis terjadi harus disikapi secara
fundamental terhadap akar masalah. Dana talangan tidak akan menjamin perbaikan
ekonomi AS. Ini hanya mengobati rasa sakit tapi tidak menghilangkan sumber
penyakit. Biang penyakit sebenarnya adalah ada pada kemorosotan moral para
pemimpin AS. The solution is not more government regulation; it is moral and
spiritual renewal.
Teman saya yang bekerja
sebagai Fund Manager di New York mengatakan bahwa krisis ekonomi AS dan
juga dunia saat ini lahir dari krisis mental. Sejarah modern dibangun di atas
kebohongan yang mengatakan bahwa kemakmuran, ketenaran, dan kecanduan belanja
adalah rahasia menuju kebahagiaan. Setiap hari media massa mengiklankan untuk
orang menjadi rakus dan tamak. Tidak punya uang? Kanal berutang disediakan dari
Credit Card yang sehari settled sampai dengan kredit perumahan
yang sehari juga settled. Semua rakyat terbiasa dan akhirnya terlatih
berutang untuk mendapatkan kebahagiaan melalui berkonsumsi.
Pada waktu bersamaan para
pemimpin larut dengan cara yang sama yaitu menyelesaikan masalah anggaran dan
belanja melalui berhutang. Mereka bangun citra kepemimpinan melalui pertumbuhan
ekonomi lewat berhutang sampai pada titik tidak lagi layak berutang. Karena
sudah di atas ambang kepatutan untuk menerima utang, namun ini terus dipaksakan
walau tidak rasional. Memang mereka tidak peduli.
Berabad-abad yang lalu ini
sudah dikawatirkan oleh para filsuf tentang munculnya krisis spiritual.
Deskripsi Plato dalam Republik, yang menyebutkan bahwa ada tiga bagian dari
jiwa manusia yaitu hasrat, akal, dan thymos/gairah. Ketiganya saling
bertautan dan menjadi dasar dari segala tindakan, tetapi di situ Plato lebih
menekankan pada implikasi dari hasrat. Jika kita kontekskan deskripsi Plato ini
tepat untuk mengidentifikasi beberapa persoalan seperti halnya demoralisasi
kepemimpinan, di mana para pemimpinnya seringkali memiliki ‘hasrat’ yang ‘luar
biasa’, salah satunya dalam mengendalikan negara.
Sejalan dengan deskripsi
Plato, dalam Terminologi Kant menyebutkan bahwa fungsi akal budi dalam
moralitas dipengaruhi, salah satunya, oleh konsepsi tentang kategori—atau
disebutnya sebagai ‘motif memuaskan hasrat sebanyak mungkin’. Sama seperti
penekanan Hegel tentang ‘hasrat pengakuan’, atau lebih jelasnya disebut Hume
sebagai ‘budak nafsu’. Para pemikir sekular tahu persis bahwa kalau ada yang
cacat dalam sistem yang mereka tawarkan maka itu lebih kepada mental dari
manusia itu sendiri. Agama juga sama,
tidak ada agama yang salah kecuali mental orang yang buruk. Jadi masalahnya ada
pada mental atau akhlak.
Peradaban yang di bangun di
bawah kerajaan islam sejak era Khulafaur Rasyidin sampai dengan Dinasti Turki
Ustmani mengajarkan kepada kita bahwa pada akhirnya kejatuhan dinasti islam
bukan karena ajaran islam tapi karena akhlak para elite dan umat islam merosot
sampai titik nadir. Mental baik dan buruk itu selalu bersanding walau dengan
narasi dan prinsip pengetahuan yang sama. Iman yang sama. Kiblat yang sama. Mengapa?
Nabi memang hebat, para sahabat Nabi itu hebat. Para ulama punya pemikiran
hebat. Tetapi kita bukan Nabi, bukan sahabat Nabi, bukan pula ulama hebat.
Untuk menyerupai mental mereka, tidak bisa semudah kita membaca hadith dan
firman Tuhan, dan dalil agama, tapi bagaimana kita melewati hidup dalam banyak
peristiwa sampai kita terbukti memang bermental baik.
***
Pada hakekatnya pendidikan
mental yang baik itu ada disemua agama maupun kebudayaan. Mengapa? baik agama
atau kebudayaan berasal dari Tuhan juga. Bagi yang mau berpikir, kemana saja
wajah di hadapkan ada ayat ayat Tuhan. Tetapi karena didalam diri manusia ada
sifat kebebasan berkehendak (free will) dan hasrat untuk berkompetisi. Maka
yang terjadi, tidak selalu pendidikan mental yang baik menghasilkan pribadi
yang baik, dan belum tentu suatu peradaban yang dibangun dengan idiologi hebat,
bahkan agama atas nama Tuhan sekalipun akan menghasilkan masyarakat yang
bahaagia. Bermental mulia. Mengapa?
Tidak ada yang perlu membuat
kita bingung. Ini sudah fitrah manusia. Adam keluar dari sorga karena menggunakan
sifat freewill nya itu dengan memakan buah terlarang. Putranya saling bunuh
karena berkompetisi mendapatkan wanita pilihannya. Siapapun dia, didalam
dirinya terdapat DNA yang memuat informasi lengkap tentang free will dan
kompetisi. Artinya kita tidak bisa menghindari sifat free will dan kompetisi.
Tanpa free will dan kompetisi maka value kita sebagai manusia akan hilang.
Lantas bagaimana seharusnya bersikap agar free will dan kompetisi itu dapat di kendalikan
sehingga membuat jiwa kita seimbang?
Dalam setiap acara dihadapan
khalayak, Jokowi punya kebiasaan memberikan hadiah bagi pemenang kwiz berupa Sepeda.
Ada sebagian orang menganggap bahwa itu cara Jokowi menggalakan kebiasaan naik
sepeda agar jantung sehat. Itu bisa benar. Tetapi ada yang orang lupa bahwa
sepeda itu adalah simbol dari keseimbangan Jiwa. Semua budaya, agama, sain
tidak punya teori yang jitu untuk orang bisa langsung naik sepeda, tanpa latihan,
dituntun, keberanian jatuh, keyakinan. Tuntunan, keberanian, keyakinan, itu
tiga hal untuk orang punya kemampuan alam bawah sadar menciptakan keseimbangan.
Tanpa keseimbangan, tidak mungkin orang bisa mengarahkan sepeda sesuai
tujuannya. Kendaraan roda dua adalah bukti nyata kehebatan manusia menjaga
keseimbangan. Dan itu bukan karena logika alam sadar.
Nah bagaimana membangkitkan
alam bawa sadar itu? Caranya hanya satu, untuk Indonesia orientasi hidup harus kepada
Tuhan. Kemudian berbuatlah dan belajarlah dari kenyataan tapi jangan mengutuki
kenyataan, apapun itu. Karena itulah ilmu hikmah dimana Tuhan sedang mendidik
manusia membangkitkan alam bawah sadarnya. Di sinilah mindset harus
dibangun. Bahwa manusia tidak boleh tergantung terhadap materi atas dasar
konsepsi Idiologi atau agama. Artinya, idiologi atau agama hanyalah metodelogi,
bukan tujuan. Yakinkan itu dalam diri sebagai prinsip membentuk mental yang
mandiri bersama Tuhan. Bagaimana memahami ini secara konkrit?
Analoginya begini, Anda tahu kan
jeruk? rasanya manis. Kulit, warnanya kuning dan licin. Kalau dibanting akan
terdengar suara lembek. Sekarang perhatikan. Rasa manis itu karena lidah anda.
Warna kuning itu karena mata anda. Suara lembek itu karena telinga anda. Nah
sekarang dimana jeruknya? Tidak ada. Semua:
suara, warna, rasa itu diterjemahkan oleh otak melalui gerakan saraf di
tubuh anda. Data base otak menterjemahkan warna, bunyi, rasa itu menjadi
konsepsi tentang jeruk. Lantas dimana anda? tidak ada. Yang ada hanyalah ide.
Diri anda, tubuh, harta, alam,
semua itu adalah materi. Setiap materi itu omong kosong. Kehidupan ini hanyalah
kumpulan ide tentang materi. Itu tak lain cara hebat Tuhan mengaktualkan
dirinya dalam kehidupan kita. Agar hanya Dia sebagai awal dan akhir dari semua
urusan. Kalau hal tersebut dipahami dengan benar, maka masihkah anda menjadikan
materi sebagai orientasi hidup anda? Kalau Ya, maka anda pasti sangat tolol.
Wong pepesan kosong kok di jadikan tujuan.
Mengapa? Kita terisolasi oleh
ruang dan waktu. Dan karena waktu, Tuhan tunjukan omong kosong tentang materi
itu. Perhatikan, kayu malapuk, bumi menua, kita menua, kulitpun keriput, perasa
berkurang sensitifitasnya, telinga budek, mata rabun. Hanya masalah waktu, mati
pasti terjadi. Makanya bila datang dorongan free will dan hasrat berkompetisi
sangat dominan maka ketahuilah anda sedang terjebak dalam narasi omong kosong.
Hasilnya pasti jadi bahan ketawaan Tuhan. Mengapa? karena bego.
***
Apabila kita memahami bahwa
materi itu omong kosong maka konsepsi kita harus dibangun dari nilai nilai Tuhan.
Tuhan menyediakan metodelogi memahami itu melalui kebudayaan, agama atau
pengalaman hidup. Tapi apakah cukup dengan memahami saja? tidak. Anda harus
melatih alam bawah sadar anda tentang nilai nilai tresendental itu. Mengapa?
Alam Bawah Sadar adalah bagian pikiran manusia yang tidak disadari
keberadaannya, namun pengaruhnya sangat besar. Kekuatan bawah sadar merupakan
kekuatan yang sangat hidup. Karena 90% kekuatan anda berasal dari alam bawah
sadar. Hanya 10% berasal dari alam sadar. Bawah Sadar diciptakan Tuhan sebagai
tanda KekuasanNya. Nasip anda ditentukan
oleh kekuatan alam bawah sadar itu. Atau bisa dikatakan, senang atau susah,
sukses atau gagal-nya perjalanan hidup manusia, sangat dipengaruhi oleh
"program" atau "sugesti" yang tertanam di Pikiran Bawah
Sadar.
Oleh karena itu, sangat
penting bagi siapapun juga untuk memahami Potensi Pikiran Bawah Sadar. Yang
lebih penting lagi adalah tahu menggunakan kekuatan bawah sadarnya. Bagaimana
caranya? Harus di sadari bahwa raga anda terjebak dengan ruang dan waktu. Anda
tidak akan memahami alam bawah sadar tanpa latihan melalui raga anda. Setiap
agama punya cara melatih alam bawah sadarnya itu. Contoh dalam agama Buda
disebut dengan Meditasi atau puja bhakti. Dalam islam, ritual sholat, zikir. Kristen,
melalui Kebaktian, Magnificat. Hindu punya ritual Sandhyopasana dan Samskara.
Semua agama punya aturan
melatih alam bawah sadarnya melalui ritual. Bahwa mereka harus menghilangkan
atau membersihkan pikirannya dari rasa bangga, prasangka, atau pengharapan.
Dalam islam, ketika orang sholat dia tidak lagi berada di dunia. Dia berada di
singgasana Allah. Hanya ada, dia dan Allah. Tidak ada perantara apapun. Agama
lain pun punya prinsip yang sama. Bila latihan itu dilakukan terus menerus
sepanjang usia maka alam bawah sadar akan terbentuk dengan sendirinya. Sehingga
pikiran Bawah Sadar dapat mengendalikan aktivitas fisik tanpa disadari oleh
Pikiran Sadar dan dapat mengungkapkan ide atau pikiran yang berada di luar
jangkauan persepsi sadar (Extra Perceptions).
Dengan demikian maka hidup
akan berubah, penyakit bisa tersembuhkan, kesuksesan dan kebahagiaan bisa diraih
dengan mudah. Anda tidak hanya bekerja dengan kecerdasan berpikir, melainkan
intuisi, kreativitas dan "keberuntungan" berpihak kepada Anda. Mengapa?
Cara kerja pikiran bawah sadar sangat berbeda dengan pikiran sadar. Apabila
selama ini Anda bekerja keras dan hanya mengandalkan logika atau alam sadar
saja, maka Anda pasti mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja. Atau bahkan,
untuk mencapai suatu usaha, Anda perlu banting tulang sehingga Anda kelelahan. Anda
mudah terjebak dengan cara pintas perbuatan dosa yang merugikan orang lain.
.
Nah banyak orang beragama dan
berpendidikan di era modern sekarang kurang melatih alam bawah sadarnya. Mereka
hanya sibuk melatih logika alam sadarnya melalui pendidikan dan kursus,
hasilnya hanyalah paradox. Banyak orang beragama rajin melakukan ritual
meditasi, sholat, malah potensi alam bawah sadarnya tidak muncul. Mengapa?
Karena persepsinya ketika sholat masih berada di alam sadarnya dengan harapan
akan reward pahala atau sorga atau kehormatan. Sehingga walau dia sholat rajin,
berdoa rajin, dia masih terjebak dengan alam sadarnya. Renta terhadap tantangan
hidup, mudah mengeluh dan cepat putus harapan.
Makanya perlu reorientasi
mental beragama. Bahwa agama itu harus dipahami sebagai 'comprehensive
commitment' dan 'driving integrating motive', yang mengatur seluruh
hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor).
Bukan sebagai something to use, but not to live. Orang berpaling kepada
Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Sehingga ritual agama tidak
membuat dia menjadi lebih baik secara mental. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa
beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu, karena
dikira sudah beragama, ternyata belum.
Bisa saja orang tidak memahami
agama dengan baik, tidak melakukan latihan sholat atau ritual secara intensif,
seperti bangsa China, Jepang, atau kaum atheis, aliran kepercayaan, namun mentalnya
baik karena alam bawah sadarnya menyala. Bagaimana caranya mereka melatih alam
bawah sadarnya? Ya, lewat kebudayaan. Budaya mereka mengajarkan dan melatih berkomunikasi
dengan alam dan lingkungan. Tentu tidak berkomunikasi semata dengan kata kata.
Berkomunikasi dengan "perasaan" (feeling). Perasaan adalah bahasa
jiwa. Jika ingin tahu apa yang benar tentang sesuatu, dengarlah nurani. Yang
senantiasa berbicara kepada manusia setiap waktu. Juga bisa berkomunikasi lewat
"pikiran" (thought).
Pikiran dan perasaan tidaklah sama, meskipun keduanya dapat berlangsung pada
saat yang sama. Dalam komunikasi lewat pikiran, mereka menggunakan media
imajinasi dan gambaran. Karenanya, pikiran lebih efektif daripada menggunakan
"kata" sebagai alat komunikasi.
Mereka juga menggunakan
kendaraan "pengalaman" sebagai media komunikasi, seperti melihat orang
sakit, kematian, bencana, kekecewaan, kebahagiaan. Setiap pengalaman itu menjadi pemicu untuk
memasuki alam bawah sadar. Contoh andai mereka gagal berkali kali, mereka tidak
mengeluh tapi disikapi dengan positip sebagai cara membangkitkan kekuatan alam
bawah sadarnya untuk menjadi orang sukses, kuat dan punya empati besar kepada
orang lain. Mereka paham kalau kegagalan dan penderitaan disikapi dengan negative,
penuh keluhan maka potensi alam bawah sadarnya semakin meredup dan biasanya
mereka jadi korban kehidupannya sendiri. Itu mereka hindari sekali.
Kita tidak perlu bersikap negative
terhadap orang yang tak seiman dengan kita, dan anggap mereka salah. Faktanya kadang
mereka lebih sukses membangkitkan alam bawah sadarnya dibandingkan orang yang
katanya taat beragama. Mengapa?. Pemahaman teologi mengatakan bahwa manusia
menciptakan kejadian di alam semesta ini bersama Tuhan. Bahwa manusia bekerja
sama dengan Tuhan untuk menciptakan berbagai peristiwa yang di kehendaki.
Artinya Tuhan itu sangat dekat dengan manusia. Bahkan kalangan ahli tasawuf
mengajarkan manusia harus memikirkan diri sebagai manifestasi Tuhan. God as me.
Tuhan sebagaimana saya. Sebagaimana
paham wahdatul wujud, bahwa kehendak seseorang bersatu dengan kehendak Tuhan.
Pada tingkat tertentu, menurut
pandangan itu, dalam pengalaman ruhani yang sangat tinggi, yakni paling ujung
dari seluruh perjalanan sufi, manusia tidak lagi bisa membedakan mana dirinya
dan mana Tuhan. Pada tahap ini kemampuan alam sadar tak lagi berfungsi untuk
membedakan antara khalik dan makhluk, antara Tuhan dan saya. Makanya jangan
kaget bila slogan “Nothing is impossible.
“China pada acara Olimpiade 2008, Cina setelah revolusi kebudayaan dan mulai
membangun tahun 1976. Tahun 2008 telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi nomor
dua di dunia. Tidak ada yang tidak mungkin. Manusia pegang kendali atas
nasipnya!
***
Kembali kepada ajakan Jokowi
untuk melakukan revolusi mental. Yang dimaksud mental itu adalah ruh dari
Pancasila. Jokowi tidak ingin kita terjebak dengan paham materialism. Kalau
paham ini dikedepankan maka politik kita akan menjadi politik identitas yang
tak ubahnya dengan fasisme, nazi atau komunis. Kita sebagai bangsa akan
terjajah lewat pemikiran, yang seharusnya merdeka. Karena itulah fitrah kita
sebagai manusia ciptaan Tuhan. Kita juga tidak mungkin menjadikan Pancasila
sebagai idiologi seperti paham lain. Karena kalau Pancasila sebagai idiologi
maka kita menciptakan tiran baru bernama Pancasila. Jadi apa?
Ya Pancasila itu adalah
falsafah hidup kita sebagai bangsa dalam bernegara. Pancasila bukan simbol yang
harus disembah. Tetapi sebuah kerangka berpikir atau mindset tentang bagaimana
hubungan kita dengan Tuhan, yang merupakan landasan dari semua perbuatan.
Dengan kepercayaan kepada Tuhan, maka sikap mental kita akan lebih mengutamakan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga kita tidak sulit dipersatukan
sebagai sebuah bangsa, untuk menyelesaikan semua masalah secara musyawaran dan
mufakat dengan orientasi kepada keadilan sosial bagi semua. Adil itu adalah
salah satu Sifat Tuhan. HIdup kita di awali karena Kekuasaan Tuhan dan berujung
kepada sifat Tuhan.
Mindset Pancasila inilah
yang harus menjadi konsepsi landasan bagi kita semua dalam bersikap dan berbuat
sebagai anak bangsa, sebagai negara, dan sebagai pemimpin. Semua agama ada
didalam Pancasila. Kita tidak mempermasalahkan apapuh idiologi asalkan tidak
bertentangan dengan falsafah Pancasila. Nah mengapa Jokowi mengatakan “revolusi
“? Karena Pancasila itu bukan hal yang baru. Tetapi dia sudah ada jauh sebelum
negeri ini merdeka. Pancasila lahir dari agama berkata, budaya memakai. Antara
agama dan budaya itu bagaikan gelas dengan tatakan. Seperti ketupat, antara
bungkus dan isi satu kesatuan. Jadi, ajakan revolusi mental itu adalah ajakan
hijrah pemikiran kita untuk kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa. Bangsa
religius.
Karena selama ini jalan
sudah jauh menyimpang dan kita semakin bukan diri kita lagi. Kita terjebak
dalam dunia individualisme, materialisme, simboliisme, dogmaisme, dokrinasi dan
lain sebagainya. Kita berusaha mencari keluar dan akhirnya kita tidak menemukan
apa apa, bahkan semakin membuat kita lemah dalam menggunakan free will dan
berkompetisi dengan pihak luar. Orang
bijak berkata “Jika kamu melihat keluar,
maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah. Lihatlah ke dalam. Melihat
keluar, kamu bermimpi. Melihat ke dalam, kamu terjaga. Mata memberimu
pengliatan. Hati memberimu arah.”
Latihlah alam bawah sadar untuk memahami nilai nilai transedental itu melalui ritual agama agar intelektual anda terlatih menjadi orang berbudaya yang gemar menimba ilmu untuk bekerja keras dan cerdas, juga ikhlas. Contohlah Jokowi, rajin sholat lima waktu dan puasa senen kemis. Makanya secara mental dia sehat lahir batin. Ini teraktualkan dari gaya hidupnya yang sederhana dan pekerja keras tanpa kemaruk harta. Memang hidup itu adalah jalan sepi, sebuah jalan spiritual menuju Tuhan Yang Maha Esa.
***
Sumber : Buku Jalan Sepi.
Bab : revolusi mental.
Utuk pesanan hubungi WA 081212199662